Kenangan Pahit Karma

1035 Words
"Ibu jangan bilang seperti itu, walaupun Sherly bukan anakku tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri." Clarisha Wynne, Ibu Karma memutar matanya bosan. Selalu saja Karma terus membela anak adopsi itu. Dia terlalu naif. "Sudah jangan terlalu membela anak angkatmu itu dan dari tadi siapa gadis yang menatap aneh pada Ibu, apa jangan-jangan kau mengadopsi lagi seorang anak tanpa sepengetahuan orangtuamu lagi?" "Maksud Ibu Rani, dia itu ada di sini karena bekerja sama denganku membuat desain. Gadis itu adalah cucu Ikabayashi Kazuha." "Baguslah, pokoknya Ibu tak mau ya kamu harus menikah secepatnya. Ibu ini sudah tua ingin gendong cucu." "Sabar Ibu, aku juga sekarang berusaha untuk mencari pasangan yang tepat untukku begitu juga untuk Sherly," "Sherly lagi, Sherly lagi, biarkan saja anak yatim piatu itu!?" katanya dengan suara tinggi. "Ibu!" hardik Karma. Dia berjalan menutup pintu yang terbuka sedikit, Karma tak ingin kedua orang di ruang tamu mendengar percakapan mereka. Rani bernapas lega saat dia kira Karma akan keluar dan didapati sedang menguping, ternyata dia hanya menutup rapat pintu ruang kerjanya. Dari pada berlama-lama, dia menuju ke ruang tamu. Rani memutuskan untuk bermain bersama Sherly agar Rani tak dicurigai. Setelah Clarisha pergi, apartement kembali tenang. Tak ada suara cemprang yang terus berbicara. Rani merasa lega dengan ketentraman yang dia rasakan. Dia pikir hanya Abangnya yang cerewet tapi karena dari tadi dia terus mendengar suara Clarisha yang memekakan telinganya. Sekarang Abang Daninya itu turun satu peringkat dan tempatnya di tempati oleh Clarisha sekarang. Karma terus saja mengusap rambut Sherly yang kini tertidur dengan lelapnya di paha pria berumur 32 tahun itu sambil melihat seksama pada buku gambar Rani. "Ini bagus, terima kasih sudah mau mendesain proyek ini dengan begini kerja sama antara perusahaanku dan perusahaan kakekmu akan berlangsung dengan baik." Rani hanya tersenyum simpul tapi kemudian pikirannya kembali beralih pada pembicaraan Karma dan Ibunya. Inginnya memanggil tapi panggilan apa yang pantas untuk Karma, Rani baru ingat akhir-akhir ini dia sering berbicara dengan Karma dengan memanggilnya 'kau'. Jika dia kembali memakai panggilan 'Paman', rasanya jadi agak aneh tapi masa iya sih dia memanggilnya Karma, tak ada sopannya. Tak sadar, Karma menatapnya lama. Seakan tahu kalau Rani ingin membicarakan sesuatu padanya. "Rani-chan," Rani menatapnya sekarang. "Dari tadi aku melihat kau sedang bingung, ada apa?" Rani mengerjapkan matanya. Dia tak berani sekarang mengutarkan apa yang dia ingin katakan terlebih ada Sherly. "A- apa boleh kau mengantarku pulang? Abangku sedang sibuk sekarang." jawab Rani berdalih. Tentu saja Karma menerima permintaan Rani. Setelah dia meletakkan Sherly di kamarnya, pria itu mengambil kunci mobil. Rani menarik napas dan mengeluarkannya secara perlahan. Dia berahli pada Karma yang berkonsentrasi dengan jalan. "Aku ingin bicara padamu," "Tentu silakan," "Ini tentang Sherly ... maaf jika aku menyinggungmu tapi aku butuh penjelasan. Apa yang dikatakan oleh Ibumu, apa itu benar? Tentang Sherly yang sebenarnya bukan anakmu." Karma mengerem mendadak membuat Rani terdorong ke depan. Beruntung saat itu dia masih memakai sabuk pengaman. Karma menatap pada Rani, kali ini dia tak memandang Rani dengan pandangan datar melainkan murka. "Kau menguping pembicaraanku dan Ibuku?" tanya Karma dengan nada dingin. "Aku tak sengaja mendengarnya, maafkan aku tapi memang sejak awal aku heran kalau kau sudah menikah pasti ada foto pernikahanmu." jawab Rani berusaha setenang mungkin. Jujur, dia gugup melihat mata Karma yang menatapnya tajam. Dia tak pernah segarang ini pada Rani. Karma membuang napas kasar dan menjalankan kembali mobilnya, tapi jalan yang dilewati oleh keduanya bukanlah jalan menuju rumah Rani. "Kau mau membawamu kemana?" "Sesuatu tempat, bukannya kau meminta penjelasan padaku?" Rani pun diam, tak memprotes Karma sama sekali. Mereka akhirnya tiba di sebuah kafe yang selalu menjadi tempat nongkrong Karma sewaktu masih SMA. Dia pun memesan segelas cappucino dan milkshake untuk Rani. Rani mengetahuinya dan mau tak mau Karma harus menceritakkannya. "Memang Sherly bukan anakku, dia adalah anak Keiko, sahabat atau lebih tepatnya cinta pertamaku. Keiko adalah gadis yang baik. Dia cantik, ramah dan ceria. Dia adalah temanku sejak kecil dan kami selalu bersama-sama sampai SMA." "Dia sangat natural, selalu jujur dan tak menyembunyikan apapun. Itu sebabnya aku jatuh cinta padanya. Akhirnya setelah lulus dari SMA, orangtuaku mengirimku ke luar negeri untuk kuliah di sana," "Aku berjanji padanya akan pulang dan dia menungguku. Setelah beberapa tahun aku menghabiskan waktu di sana dan pulang kembali untuk meneruskan perusahaan Ayahku. Aku mencarinya." "Sampai aku mendapat kabar bahwa dia berada di rumah sakit. Awalnya sulit sekali mendapat informasinya karena setelah aku pergi, keluarganya pindah. Aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya." "Kupikir dia sakit tapi bukan itu, aku menemukannya di sana tapi ..." Karma mengepalkan tangannya sebelum akhirnya membuang napas. Dia menatap pada Rani. "Aku melihatnya wajahnya begitu bahagia menggendong seorang bayi di tangannya, di tambah dengan seorang pria yang berada di sampingnya." "Dia sudah menikah dan berkeluarga. Aku hanya terpaku melihat kejadian itu, yang awalnya aku sangat bersemangat untuk menemuinya aku urungkan dan pergi dari tempat itu dengan rasa kecewa." "Tapi itu memang salahku, aku tidak mengutarkan perasaanku dan akhirnya dia menikah dengan pria lain." "Lalu bagaimana dengan dia? Apa yang terjadi?" "Kebakaran terjadi di rumah sakit itu seminggu kemudian, Keiko berusaha menerobos masuk demi mencari bayinya yang dia kira masih berada di ruangan bayi dan suaminya mengikutinya." "Mereka akhirnya menjadi korban kebakaran itu. Aku mendapat kabar itu datang mengambil mayat mereka dan menguburkannya dengan layak karena menurut kabar tak ada dari pihak keluarga yang mengambil mereka dan di situlah aku bertemu dengan Sherly, aku mengangkatnya sebagai seorang anak adopsi." Rani terpaku mendengar cerita Karma. Salut sekali dengan tindakan Karma yang segera mengadopsi Sherly walau dia kecewa karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Rani menepuk pundak Karma. Dia memberikan senyuman manis pada Karma, "keputusanmu tepat sekali mengadopsi Sherly, jika kau tak mengambilnya entah bagaimana keadaan Sherly sekarang." Karma merasa sedikit terhibur dengan ucapan Rani. Tapi kemudian dia melihat raut wajah Rani yang tersenyum mendadak hilang berganti dengan raut wajah cemas. "Lalu, sekarang bagaimana? Jujur, aku khawatir dengan Sherly apa kau mau dia tahu tentang Ayah dan Ibunya? Bagaimana kalau dia tahu berita ini dari orang lain?" "Jangan cemas, selama aku berada di sampingnya. Tak ada satu pun orang yang akan mengatakan hal ini kepadanya." 'Maksudku Ibumu bodoh, bagaimana jika suatu hari dia keceplosan di depan Sherly?' gerutu Rani jengkel. "Ayo pergi, aku akan mengantarmu pulang," kata Karma sambil bangkit berdiri menuju kasir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD