Suara shower membangunkan Rani dari tidurnya. Dari suaranya, ada orang yang sedang menggunakan kamar mandi di kamar tersebut. Tunggu sebentar, Rani mengerjapkan matanya dan duduk di ranjang king size itu.
Rani melihat sekitaran dan sudah pasti kamar yang dia tempati bukanlah kamarnya. Kamar siapa ini? Begitulah pertanyaan yang dibenak Rani sekarang.
Saat dia masih bingung, seorang pria keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk di area pinggulnya. "Ternyata kau sudah bangun," kata pria itu datar pada Rani. Rani sontak saja menoleh pada asal suara itu.
"AAAAHHH!!" Karma terkejut dengan pekikan Rani walau tersembunyi dalam raut wajah datar yang selalu dia tampakkan. Rani menutup wajahnya yang memerah dengan bantal karena memandang Karma yang bertelanjang d**a dan hanya memakai handuk.
"Kenapa kau berteriak?"
"Ke-kenapa kau bertelanjang d**a begitu?" Karma menatap penampilannya lalu berkata. "Biasa aku 'kan baru selesai mandi,"
"Cepat pakai bajumu," perintah Rani gugup.
"Kenapa? Santai saja lagi,"
"Santai?! Kau bilang santai?! Kita bukan pasangan bagaimana jika ada yang melihat kita dengan keadaanmu begini, bisa-bisa mereka salah paham tahu," protes Rani sambil memandang sekilas pada Karma.
Polos. Rani gadis polos, begitulah pikiran Karma melihat tingkah Rani. Bagaimana bisa seorang gadis berandalan seperti Rani bisa mempunyai sifat polos?
"Yang pertama, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali aku, kau dan Sherly yang kedua, aku ini pria terhormat mana mungkin melakukan sesuatu hal yang buruk padamu. Sudahlah, cepat bersihkan dirimu kita harus menyelesaikan proyek kita." kata Karma sambil berjalan santai menuju lemari.
Rani mendengus kesal dan menjulurkan lidahnya pada Karma yang membelakanginya. Rani secepatnya memasukkan lidahnya saat Karma menolehnya lagi.
"Tunggu apa lagi, cepat keluar dari kamarku." usir Karma. Rani menautkan alisnya tapi sama sekali tak bergeming dari tempat duduknya.
"Oh ataukah kau mau ..." Karma menggantungkan kalimatnya mendekati Rani sambil terus menatapnya.
Terus ditatap membuat Rani tak enak hati dan mengalihkan tatapannya. Dia kembali menatap Karma tapi terpaku melihat kedua mata hazel milik Karma yang sangat dekat dengannya.
Dia juga baru sadar bahwa saat ini Karma mengurungnya dengan kedua tangan kekarnya. Karma mendekati telinga Rani dan membisikkan sesuatu.
"Melihatnya." Bisikan Karma membuat Rani mendadak merinding, dia yakin saat ini wajahnya seperti kepiting rebus. Karma menatap kebawah begitu juga dengan Rani yang lebih tepatnya melihat pada handuk.
Segera saja Rani menjauh dari Karma dan berlari kecil setelah dia keluar dari Kamar Karma.
Karma yang awalnya memasang muka datar tersenyum tipis melihat Rani yang salah tingkah. Lucu juga bisa menggoda Rani, apalagi melihat sikapnya seperti itu.
"Ayo kak, kita main." pinta Sherly cemberut pada Rani yang sibuk menggambar.
"Sherly, jangan mengganggu Rani, dia sedang mengerjakkan tugasnya. Aku benar 'kan Rani-chan?" tanya Karma datar. Rani hanya mengangguk cepat tak ingin memandang Karma.
Dia masih mengingat kejadian tadi pagi. Karma kembali tersenyum tipis melihat sikap Rani. Seperti yang Karma duga, Rani belum lupa dengan kejadian tadi. Sherly yang melihat Karma tersenyum membulatkan matanya.
Dia seakan tak percaya melihat senyuman itu. Bel apartement berbunyi, Rani hendak berdiri namun dicegah oleh Karma. "Biarkan aku yang melihatnya."
Rani patuh dan duduk kembali. Karma membuka pintu dan nampaklah sesosok wanita paruh baya yang masuk dengan tatapan datar dan dingin.
Sherly menunjukan wajah tak suka pada wanita tua itu begitu juga dengan si wanita yang memandang Sherly dengan tatapan tak bersahabat.
Mereka saling membenci. "Ibu, kenapa Ibu berkunjung di sini?" Ibu? Karma memanggil wanita itu adalah Ibu? Rani tak yakin dengan wanita yang kini menatapnya tajam.
Dia sangat berbeda dengan Karma. "Apa Ibu tak bisa mengunjungi putra Ibu?"
"Bukan begitu Ibu aku ..." mata Karma menatap Rani dan Sherly yang memandang Ibu dan dirinya.
"Ayo Ibu kita bicara di ruang kerjaku." Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kedua orang itu.
Setelah keduanya pergi Rani mendekati Sherly. "Siapa wanita itu?" Sherly masih memasang muka tak suka.
"Jangan tanyakan penyihir keriput itu, aku tak suka sama dia."
"Penyihir keriput? Kenapa kau memanggilnya seperti itu? Itu nenek kamu loh." Ingin rasanya tertawa mendengar panggillan itu tapi Rani menahannya.
"Iyalah penyihir keriput, dia itu cerewet kelas kakap. Sekali buka mulut udah tak habis mengomelnya, bikin pusing saja." Rani menganggukan kepalanya mengerti.
"Ayo kak kita main," pinta Sherly lagi. Rani yang awalnya memasang muka datar tersenyum lebar. Yah selagi Karma tak mengawasinya dari pada terus-terusan bekerja.
Matanya lalu memandang beberapa foto yang pernah dia lihat. Dia mengambil satu foto yang memperlihatkan seorang gadis dan seorang pemuda yang berfoto berdua.
Mereka memakai seragam SMP Jepang. Sherly duduk di samping Rani yang memandang lama pada foto itu. "Ayah dan Ibumu terlihat bahagia di foto ini," Sherly tersenyum mendengar ucapan Rani kemudian berwajah sendu.
"Kenapa? Kok wajahmu muram begitu?" tanya Rani melihat wajah muram Sherly.
"Aku rindu sama Mommy kakak, sejak dari kecil sampai sekarang Sherly tak pernah merasakan kasih sayang sama Mommy." Perkataan Sherly membuat Rani bersimpati. Melihat Sherly yang masih kecil membuatnya teringat saat dirinya yang masih kecil.
Nasibnya lebih buruk dari Sherly. Yah sama seperti Sherly, dia hanya mengenal sang Ibu dari foto saja dan tak pernah merasakan belaian kasih sayang sang Ibu.
Hanya saja jika Sherly masih mempunyai Daddy, Rani sudah tak bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah lagi karena sang Ayah mengikuti sang Ibu saat umurnya masih 5 tahun.
Jujur, dia sangat merindukan Ayahnya. Sewaktu masih hidup, Ayahnya adalah sosok yang hangat dan selalu menyayangi kedua anaknya. Kenapa orang sebaik mereka harus pergi?
Rani menghela napas berat dan mengusap kepala Sherly sambil tersenyum mencoba menghibur Sherly. "Kakak haus, kakak mau ambil minum dulu ya,"
"Iya kak." Rani lalu beranjak dari sofa dan menuju ke dapur. Dia melewati ruang kerja Karma yang pintunya terbuka sedikit.
"Karma, kapan sih kamu nikah?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh si wanita tua itu membuat Rani tergoda untuk menguping. Alhasil dia mendekati pintu itu dan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.
"Kalau kamu tak bisa cari wanita, biar Ibu saja yang mencarikannya untukmu, Ibu yakin pasti ada yang mau sama kamu. Kamu 'kan tampan, pintar, presdir juga." Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Sherly, dia memang cerewet.
Julukan yang sangat pantas untuk wanita seperti dia. "Ibu, aku akan menikah tapi bukan sekarang, lagi pula aku ingin Sherly ..."
"Sherly, Sherly, kau selalu memikirkan anak itu. Dia itu hanya anak adopsimu bukan anak kandungmu!?" Mata Rani melebar mendengar perkataan si nenek sihir.
Adopsi, jadi selama ini Sherly bukan anak kandung Karma. Inilah yang Rani bingungkan saat pertama kali datang dan masuk ke dalam apartement Karma.
Dia merasa janggal dengan foto-foto yang di letakkan di ruang tamu begitu juga dengan kamar Karma bahwa tidak adanya foto pernikahan.