Rhea 25

2191 Words
Manda melambaikan tangannya mendapati Drian yang memasuki ruang serba guna fakultas mereka. Drian berjalan dengan ponsel yang menjadi pusat perhatiannya dan dia bisa berjalan tanpa menabrak mahasiswa lainnya. Almamater disampirkan asal di sebelah bahunya, membuat pacar Manda semakin terlihat tampan. Semua orang boleh melihat pacarnya sepuas hati karena pada akhirnya Adrian Russel adalah miliknya. Manda juga merasa lebih percaya diri saat semua orang menatap pacarnya. Hal itu menunjukkan bahwa dirinya adalah yang paling beruntung karena bisa memiliki Drian. Manda baru bisa melihat perempuan yang menjadi bahan omongan satu universitas setelah Drian semakin dekat dengannya. Perempuan malang yang hilir mudik mengikuti Drian. Terang-terangan mengakui perasaannya padahal Drian memberikan respon negatif. Hari itu adalah hari pertama Manda melihat Rhea dari dekat. Selama ini hanya laporan dari teman-temannya saja yang ia dengar. Manda memperhatikan Rhea dengan baik dan menyadari bahwa seharusnya gadis itu menjadi gadis yang dikejar-kejar pria alih-alih mengejar-ngejar pria. Dan Manda masih memperhatikan Rhea yang saat acara dimulai, langsung mencari tempat duduk beberapa baris di belakang mereka. Dan sepanjang seminar berlangsung, Manda mendapati Rhea tidak melepaskan pandangannya dari punggung Drian. Jujur, saat itu Manda belum kenal dengan yang namanya sakit hati. Ia justru kasihan pada Rhea yang harus melihat Drian merebahkan kepalanya ke pundak Manda selama acara berlangsung. Ya mau bagaimana dong, Manda adalah pacar Drian. Dan semua yang Rhea lihat bukan disengaja. Demikianlah interaksi Manda dan sang kekasih. Yang unik dari Rhea adalah bagaimana dia tidak melepaskan kedua matanya dari Drian. Maksud Manda adalah: bukankah Manda berada begitu dekat dengan Drian? Tapi kenapa Rhea tampak tidak terganggu sama sekali. Mungkin di mata cewek itu, satu ruangan ini kosong dan hanya ada Drian seorang. Atau mungkin Adrian Russel berhasil memonopoli pandangan Rhea. Harusnya mereka berdua tetap berada di posisi masing-masing. Rhea tetap menjadi fans fanatik Drian yang padahal pria itu bukan artis, bukan presiden mahasiswa, juga bukan seseorang yang membuat Rhea harus menggilainya sedemikian rupa. Drian bahkan mengaku tidak pernah terlibat insiden dramatis seperti menyelamatkan Rhea dari tangga ketika perempuan itu nyaris terjatuh yang membuat Rhea jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Tidak. Drian sendiri bingung, bagaimana Rhea bisa menemukannya dari begitu banyak mahasiswa? Sudah bukan rahasia lagi bahwa jurusan teknik yang pada umumnya berisi laki-laki adalah sarangnya mahasiswa tampan di seantero kampus. Tidak hanya terdepan soal wajah tapi juga dengan otaknya. Tapi kenapa Drian, gitu loh? Ada Rahman yang terkenal seantero kampus karena jago beatbox, ada Gery si gubernur BEM yang baru-baru ini putus dari kekasihnya, ada Nanda yang semua orang mengenalnya karena selalu membawa gitar kemanapun dia pergi dan masih banyak lagi. Dari semua pria tersebut, Rhea justru memilih Adrian Russel yang hanya pacar Manda. Bukan berarti Drian tidak punya point menonjol seperti pria-pria di atas, semua yang ada pada Drian adalah kelebihan pria itu. Tapi Drian tidak suka dengan perhatian seperti yang selalu didapatkan oleh Papanya. Itulah kenapa Drian tidak mengikuti organisasi apapun dan hanya berbicara dengan orang lain saat orang tersebut menyapanya padahal aslinya cerewet sama seperti Zaki. Tapi tanpa Drian sadari, dirinya yang mencoba untuk tidak terlihat justru membuatnya semakin menjadi buah bibir. Dan seharusnya Drian tetap menjadi pacar Manda. Tapi hari tersebut akhirnya tiba. Saat Drian meminta putus padahal Manda merasa tidak ada yang salah dalam hubungan mereka. “Kamu mau fokus ke karir dulu?” Dan Drian yang mengatakan lewat pesan bahwa putrinya sudah lahir bukan kali pertama pria itu mengucapkan hal yang terlalu mendadak bagi Manda. Jauh sebelumnya, Manda sudah pernah mengalami hal yang sama. “Aku mau nikahin Rhea, Mand.” Manda butuh waktu lama untuk memproses apa yang barusan ditangkap oleh daun telinganya. “Rhea hamil?” Benar bukan? Hanya itu yang bisa semua orang pikirkan ketika mendengar seorang Adrian Russel ingin menikahi perempuan itu. Adrian Russel yang anti dengan Rhea Davina, yang menganggap perempuan itu seperti penyakit, mungkin sudah menghamilinya. Karena hal ini terlalu mendadak. Dan jika ini benar, maka semuanya menjadi masuk akal. “Bukan. Aku ga mungkin begitu. Kamu tau aku, Mand.” Manda menggeleng. Tidak, Manda bahkan merasa ia tidak pernah mengenal Adrian Russel. Bagaimana mungkin Drian yang menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama Manda tiba-tiba ingin menikahi perempuan lain? Apa Drian mencurangi Manda selama ini? “Engga. Aku ga pernah punya hubungan dengan Rhea. Aku ga pernah selingkuh dari kam-” “-Terus kenapa?!” Jujur Drian sendiri bingung. Ia tidak pernah dekat dengan Rhea sehingga pria itu tidak bisa merasa jauh. Benar bukan? Bagaimana bisa kamu merasa seseorang telah menjauh saat dia tidak pernah begitu dekat? Tapi Drian merasakannya. Bahkan Rhea yang menarik satu langkah mundur seperti hari itu di pustaka saja membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Apalagi kalau gadis itu benar-benar tidak menunjukkan wajahnya lagi di hidup Drian? Dia mungkin bisa Giila. Ya, meskipun Drian akui bahwa dirinya yang menginginkan ini adalah hal yang paling gilla yang pernah ada. “Aku ga mau!” “Kalau kamu ga mau putus hari ini, aku datang lagi besok atau besoknya lagi. Aku akan datang ke kamu tiap hari.” “Boleh, Yan. Aku ga akan mutusin kamu hari ini, besok, atau besok-besoknya lagi supaya kamu nemuin aku tiap hari dan lupa sama perempuan yang kamu bilang sama semua orang adalah perempuan paling menyedihkan karena mengejar-ngejar kamu tanpa rasa malu!” Lamunan Manda buyar saat Alesha memasukkan jari telunjuk kanannya ke dalam mulut Manda. “Mama,” ucap bocah itu sambil menatap Manda. “Mama?” ulang Manda sementara di dalam sana jantungnya sudah merasa tidak aman. Manda suka, ia bersumpah bahwa satu kata barusan adalah hal yang paling membuatnya berdebar sejak tiga tahun terakhir. “Mama,” ujar Ale sekali lagi. Manda tersenyum hangat, satu tangannya menyentuh wajah Ale. “Iya, kamu boleh panggil Mama,” ucapnya sayang pada bayi itu. Bayi pertama yang membuat Manda langsung jatuh hati. Drian yang baru selesai dengan urusannya berdiri canggung di depan Ale dan Manda yang sedang menatap satu sama lain. Mama yang Ale maksud adalah makan. Mama yang keluar dari mulut Ale lebih ke mamam. Bukan Mama. Karena sejak dia bisa bicara, Mama bagi Ale adalah Yaya. Mungkin karena tidak ada yang mengajarinya memanggil Mama dan dia mendengar Drian memanggil Rhea dengan nama selama ini. Drian memang sudah menjanjikan pada putrinya itu bahwa mereka akan makan. Tapi ia tidak menyangka bahwa Ale akan menuntut janji sang Papa pada wanita yang adalah mantan pacarnya Papa. Drian langsung meminta Ale dari Manda begitu makanan Ale yang ia pesan setelah kembali dari kamar mandi sampai. Tapi Manda memaksa ingin menyuapinya. Melihat hal tersebut membuat Drian kesulitan menelan makan siangnya. Yang terjadi di depannya saat ini tidak benar. Drian tidak perlu diberitahu lagi. “Lahap banget, Yan. Mana makin banyak senyum sejak disuapin,” ucap Manda pada Drian. "Mirip kamu," tambah Manda lagi yang sebenarnya salah. Ale lebih mirip Rhea karena bisa ditaklukkan dengan mudah hanya dengan makanan. Pokoknya jika Ale besar nanti, Drian akan memastikan anaknya mendapat semua yang ingin dimakannya dari Drian sehingga tidak ada celah bagi pria muda di luar sana untuk mendapatkan hati Ale. “Kamu marah?” tanya Zaki pada Rhea yang sedang mengunyah burger dan menatap tiga orang beberapa meter dari mereka dengan muka datar. “Aku ga peduli sama Om Drian kalau itu yang Om Zaki pengen tau. Aku sebal sama Ale yang mengkhianatiku. Liat tuh matanya sampe ilang gara-gara senyumin si Manda.” Sebenarnya Rhea yang bertemu dengan Om Zaki seperti sekarang bukan hal yang aneh. Manda sering bolos dan jika uang sakunya menipis, ia akan meminta jajan pada Om Zaki. Karena tidak mungkin minta jajannya pada Om Drian yang langsung membuatnya ketahuan bolos. “Bagus. Kamu ga boleh cemburu sama Drian. Drian tau kok kalau istrinya itu kamu.” Rhea mengalihkan pandangannya dari Ale dan menatap Om Zaki marah. Dia sudah mendengar kalimat yang mengatakan bahwa dirinya adalah istrinya Om Drian ribuan kali. “Ambilin minum, Rhe, tolong.” “Ambil sendiri. Ale aja bisa ngambil botol minumnya sendiri.” “Rhea, kalau suami nyuruh itu langsung dikerjakan!” Atau. “Kamu belum setrika bajuku? Dari semalam udah diinngetin , ‘kan, Rhe?” “Aku ga bisa nyetrika baju, Om. Biasanya juga dibawa ke laundry.” “Biasanya kamu ga belanja sebanyak ini. Salah siapa yang pesan paket sebanyak itu? Seminggu aja cuma tujuh hari tapi dalam tujuh hari kamu terima lima belas paket, Rhea Davina Russel!” “Ya bilang dong kalau nyetrika itu hukuman belanja banget. Aku pasti langsung kerjain.” “Ga ada hukuman. Suami kamu cuma minta sehelai kemejanya disetrikain, Rhea. Apanya yang sulit dimengerti dari perminaan ini? Kamu ga keluar uang, ‘kan, ya, nyetrikain baju suami sendiri?” Atau “Ale aja yang dibuatin s**u?” “Loh? Om juga pengen minum susuu? Di kotaknya untuk satu tahun. Om udah terlalu tua buat ikutan minum s**u anak Om sendiri.” “Maksudku, kenapa Ale aja yang dibuatin minum? Kopiku, mana?” “Lama-lama kok aku kayak babu, ya, Om?” “Seorang istri ga serta merta jadi babu cuma karena suaminya minta bikinin kopi. Kopi doang loh ini, Rhe. Aku ada ngeluh ga sih waktu kamu minta uang tiap hari? Istriku aslinya ga-” “-Iya, iya, ah! Cerewet! Ngakunya ga ngeluh, yang barusan apaan coba?” Dan masih banyak lagi. Pokoknya semua yang Rhea dan Om Drian bicarakan akan bermuara pada Rhea yang istrinya Om Drian. Jadi Rhea harus mau disuruh-suruh. Tidak ingin membahas Om Drian lebih lama karena dalam waktu satu jam ia akan kembali berhadapan dengan pria itu, Rhea memutuskan untuk menghabiskan makanannya. Bocah itu juga mengingatkan Om Zaki untuk menyelesaikan santap siangnya karena mereka harus kembali ke tempat les sebelum Om Drian dan Ale sampai di sana. >>> “Selamat sore, Pak?” Drian mengangguk sambil membalas sapaan perempuan yang tampak seumuran dengannya itu. Pria itu sudah berada di salah satu ruangan yang ada di gedung les Rhea. Dan Ale sudah terkulai lemas dalam gendongannya. Drian tidak tega memindahkan Ale saat wanita di depannya menawarkan untuk meletakkan Ale di ruangan bayi yang memang disediakan untuk orang tua khususnya ibu menyusui yang sedang menunggui anaknya yang lain yang tengah les. Tapi Drian menolak karena bayinya bisa terbangun dan membuat kehebohan. Bahkan selama mengemudi saja Drian tetap memeluk putrinya ini di atas pangkuannya. “Rhea suka bolos ya, Bu?” tanya Drian tanpa basa-basi. “Rhea selalu punya alasan untuk kabur selama pelajaran berlangsung. Saat Kakak-Kakak pengajar bertanya kenapa dia kabur atau justru tidur saat jam pelajaran, jawaban Rhea adalah karena dia punya Om yang punya banyak uang yang bisa membiayainya.” Sampai di sini Drian merasa wajahnya memanas. Malu. Sampai kapan pun sepertinya Rhea akan tetap menganggapnya Om-Om. Tapi tidak bisa disalahkan juga. Tidak mungkin wanita yang berwujud bocah itu mengaku punya suami pada semua orang. Siapa memangnya yang akan mempercayainya? Rhea sendiri sampai sekarang bahkan masih meragukan fakta tersebut. Tapi ketika wanita di depannya itu terus bicara, panas pada wajahnya berganti. Sekarang Drian sedang sangat marah. Rhea Davina Russel dijemput oleh Om-Om? Apa bocah itu benar-benar ingin Drian menjadi Om-Om untuknya? “Barusan Rhea juga keluar dengan laki-laki ini. Apakah pria ini pacar Rhea?” tanya wanita itu yang tidak tau apa yang sedang disusun Drian dalam kepalanya untuk sang istri. “Oh..” “Oh? Jadi benar pria ini pacarnya?” Rhea memang selalu seperti ini. Dia bisa membuat Drian merasakan berbagai hal dalam waktu sekejam. Dari yang mulainya malu, marah dan sekarang lega. “Ini benar Om anak itu.” “Oh syukurlah kalau begitu,” ucap wanita yang akhirnya bisa langsung pada topik paling aneh tentang Rhea. “Masih ada lagi, Bu? Segilaa apa bocah ini sebenarnya?” tanya Drian yang mulai kesal. “Dimana Rhea belajar sebelum ini, Pak?” wanita itu kemudian mengeluarkan kertas ujian salah satu mata pelajaran milik Rhea dan jawaban dari bocah itu. Lama Drian termenung setelah mendengar penjelasan demi penjelasan dari guru lesnya Rhea. Pria itu juga mengingat hal-hal yang Rhea kerjakan padahal sebenarnya wanita itu tidak bisa mengerjakannya. Seperti dia yang bisa mengepang rambutnya, Drian tau dengan pasti bahwa Rhea selalu meminta tolong pada mendiang Tante dan mendiang Ibuk untuk melakukan itu untuknya. Dia juga selalu memakan tomatnya padahal sejak menikah Drian lah yang selalu memakan tomat Rhea. Drian tau benar hal ini karena fakta unik bahwa istri dan mantan pacarnya sama-sama membenci tomat. Bahkan hal ini menurun pada Ale. Alesha akan memakan apapun yang diberikan padanya termasuk seledri tapi dia tidak akan pernah mau memakan tomat. Rhea masih menyukai apapun yang Rhea istrinya Drian sukai tapi dia juga melakukan hal-hal yang tidak mungkin istrinya Drian lakukan. Pria itu menganggap semuanya mungkin karena ia baru mengenal Rhea dengan baik sejak tiga tahun terakhir tapi semua penjelasan yang barusan pria itu dengarkan membuat semuanya terdengar tidak baik. Ada yang salah disini. “Bapak Adrian?” “Ya? Maksud saya, maaf. Saya sedang banyak pikiran. Rhea belajar di sekolah biasa, Bu. Anak ini memang tidak mau belajar dan selalu membuat masalah. Ibu tidak perlu khawatir. Saya janji akan menegur Rhea. Kalau begitu, permisi, Bu.” Drian menemukan Rhea berdiri menunggunya di balik pintu. Ketahuan sekali ingin menguping. “Pulang!” ucap Drian sabelum satu kata saja keluar dari bibir bocah itu. “Yaah..” ucap Rhea kecewa. Kak Dewi pasti mengadu macam-macam nih pada Om Drian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD