Rhea 24

1727 Words
“Sejak kapan kamu bisa ngepang rambut sendiri, Rhe?” tanya Drian yang sedang duduk di pinggir ranjang. Memperhatikan Rhea yang duduk di depan meja rias dan mengepang rambutnya sendiri tanpa merasa kesulitan sama sekali. Tapi gadis itu mengabaikannya. “Baju kamu ganti! Ini mengundang banget bajunya, Rhe.” “Emang ada tulisan welcome nya di bajuku? Atau you’re invited!?” tanya Rhea membusungkan dadanya, menunjukkan tidak ada tulisan semacam itu di crop top yang gadis itu kenakan. “Lagian Om ngapain ikut-ikutan bangun? Tidur aja sana kaya yang biasa.” Drian frustasi karena Rhea tidak bisa dimasukkan nilai-nilai kebaikan ke dalam kepalanya itu. “Kalau ada yang nyolek-nyolek langsung telfon!” ucapnya yang sudah berbaring telungkup di ranjang. Masih sambil memperhatikan Rhea. “Om Adrian Russel,” ucap Rhea yang tak kalah frustasi. Kali ini Rhea sengaja berbalik agar matanya bisa bertemu langsung dengan mata Om Drian. Tidak seperti sebelumnya dimana mata mereka bertemu dengan perantara cermin. “Aku ini mau eles, Om. Bukan datang ke tempat esek-esek. Mau belajar iniii..” kata Rhea yang hal terakhir yang akan ia lakukan adalah belajar. Selesai menata rambutnya, Rhea berdiri kemudian berputar di depan cermin. Mengagumi penampilannya sendiri. “Cantik banget, ‘kan, Om?” ucap remaja itu meskipun Om Drian memalingkan wajahnya ke sisi kamar yang lain. “Cantik banget kalo dipamerin ke orang lain apa gunanya?” cibir Drian. “Aku di-casting gara-gara ga sengaja mamerin kecantikanku loh, Om. Lupa ya? Banyak gunanya mamerin kecantikan kita, Om,” ucap Rhea yang hatinya tetap saja berbunga-bunga meskipun tidak bisa menjadi artis korea. Drian terkekeh. Tidak sekalipun Rhea pernah mengerti dengan maksud di setiap kata demi kata yang ia lontarkan. Segitu sulitkah untuk memahami bahwa Drian tidak menginginkan jika Rhea tampil cantik untuk orang lain? Tidak salah lagi, ini alasan kenapa Drian tidak sekalipun ingin pacaran dengan wanita yang lebih muda darinya. Rhea memang lebih muda tapi rentang umur mereka hanya tiga belas bulan. Yang Drian maksud adalah seperti sekarang, dengan dirinya dan Rhea yang sedang berkacak pinggang di depan cermin. “Sudah cantik, kalau kalau kamu masih mau bergaya-gaya di depan cermin, lebih baik aku tarik biaya lesnya. Lumayan, bisa dapat setengah biaya yang dibayarkan,” sindir Drian yang langsung disambut dengan julingan bola matanya Rhea. “Iya, iya.” Menghentak-hentakkan kaki, Rhea mendekati Om Drian yang masih tiduran telungkup. Rhea sudah sangat sopan pada beliau. Dia sudah inisiatif mengulurkan telapak tangannya tapi Om Drian menaikkan sebelah alis beliau melihat uluran tangan Rhea. Apa Om Drian pikir Rhea minta uang? “Salim kali, Om,” ujarnya yang selalu salim dan cipika-cipiki sebelum sekolah pada Bapak dan Ibuk. Drian melotot mendengar salim-saliman yang Rhea ucapkan barusan. Apa di mata Rhea, Drian terlihat seperti Bapak? Jangan harap! “Kamu perlu diingatkan kalau aku suami kamu, Rhe?” tanya Drian sambil memegang pergelangan tangan Rhea. Drian tidak bicara dengan nada jenaka apalagi menggoda. Tidak, keadaannya tidak seperti novel-novel lain dimana Om-Om ‘betulan’ menggoda remaja yang disukainya lalu di beberapa bab ke depan akan ada adegan anu-anuan. Karena pertama, Drian bukan Om-Om dan kedua serta yang paling penting, perempuan dengan rambut berwarna belang ini adalah istrinya yang hanya berubah wujud. Seperti air yang menguap menjadi udara. Bentuknya saja yang berubah sedangkan kandungannya tetaplah oksigan dan hidrogen. Rhea menarik tangannya dengan sekuat tenaga, mundur satu langkah dan menatap pria yang berbaring di ranjangnya dengan kedua mata yang seperti bisa copot dari kedudukannya kapan saja. Remaja itu marah. Semua orang yang melihat caranya menatap Drian saat ini bisa mengetahuinya dengan mudah. “Matanya!” ucap drian yang terpancing emosi. “Rhea matanya!!” ucap Drian sekali lagi karena Rhea sama sekali tidak merespon. Pria itu bangkit dan duduk di pinggir ranjang. Membuat perbedaan tinggi mereka tidak sekentara beberapa saat yang lalu. Sian membenturkan kepalanya pada bingkai pintu melihat keduanya. Yang satu mengancam dan yang satu menantang. Jika Rhea dan Drian yang bersamanya bertingkah seperti ini, Sian agak ngeri membayangkan apa yang terjadi pada Rhea dan Drian lainnya. Tulus dari lubuh hati yang paling dalam, Sian berdoa supaya mereka berdua jauh lebih akur dari pada Drian dan Rhea yang ada disini. “Yaya,” panggil Ale sambil menarik hotpants milik Mamanya itu. Setidaknya, itulah yang Ale tau. Bahwa Rhea adalah Mama. Dan iya, hotpants yang dikenakan Rhea untuk pergi les. Sudahkah Drian ceritakan bahwa ia merasa hidup bersama artis sejak beberapa bulan belakangan? Rhea Davina Russel benar-benar berbaur dengan baik dengan trend anak-anak zaman sekarang. Lebih tepatnya anak-anak zaman sekarang yang menjadi tontonannya setiap hari. Oh dan tentu saja keduanya melewatkan Alesha Zaneta Russel berjalan untuk pertama kalinya. Seminggu terakhir, Ale yang sudah bisa berdiri dan berjalan dengan berpegangan pada dinding atau perabot rumah memang mulai melangkahkan kakinya tanpa memegangi apa pun meski harus berkali-kali menghantamkan pantatnya ke lantai. Mengalihkan pandangannya ke bawah, pada tangan mungil yang memegangi celananya, “Ale.. jalan?” Diberi pertanyaan seperti itu membuat Alesha Zaneta Russel memberikan ekspresi yang ditunjukkan remaja di depannya saat Guru matematika memintanya menyelesaikan persamaan kuadrat dengan rumus abc. Sedangkan Rhea, ia melupakan Adrian Russel sekejap mata, melepaskan tangan Ale dari celananya dan mundur dengan cepat sebelum berjongkok pada kedua kakinya. “Ayo, come to Yaya!” ucapnya sambil bertepuk tangan dua kali. Putri Adrian selalu menganggap lucu ketika Yaya-nya bertepuk tangan untuknya. Dengan tawa renyah seperti biasa, Ale melangkahkan kaki menuju Rhea yang langsung disambut dengan teriakan heboh Rhea. Remaja itu maju menyongsong Ale untuk kemudian menggendong bayi perempuan tersebut dan menghujani wajahnya dengan ciuman. Sedangkan Drian yang melihatnya menghela napas lega. Lega karena emosinya mulai reda melihat interaksi Rhea dengan Ale. Beberapa detik kemudian pria itu ikut tertular senyum Ale yang sedang menangkup wajah Rhea. “Ayo Om!” ajak Rhea dengan nada seolah-olah dia tidak pernah mempelototi Drian beberapa saat yang lalu. “Kemana?” Dan sepertinya, begitu pula dengan Drian. “Berenang.” “Kamu les. Aku udah bayar mahal-mahal biayanya.” “Tapi ini hari pertama Ale bisa jalan. Kita harus rayain, Om!” “Engga dengan berenang juga Rhea. Dan jangan cari-cari alasan buat bolos.” “Tapi hari ini harus banget bolos Om. Ayo berenaaangggg...” pekik Rhea sambil meninju udara di atas kepalanya yang dengan mudah dicontoh oleh Ale. Dan terima atau tidak, sabtu itu Rhea bolos di hari pertamanya. Dan weekend selanjutnya tetap diisi dengan perdebatan seputar pakaian yang Rhea kenakan. Drian menganggap penting untuk mengoreksi pakaian-pakaian Rhea. Sedangkan bagi Rhea, Om Drian hanya terlalu senang merusak kebahagiaannya untuk bertemu teman-teman baru. Om Drian bahkan sengaja ikutan bangun pagi padahal selama ini beliau selalu bangun agak siangan di hari libur. >>> Manda melambaikan tangannya pada pria yang dari jauh sekalipun langsung bisa ia kenali. Pria itu seharusnya adalah miliknya, dan bayi di gendongannya seharusnya juga milik Manda. Manda pernah bertanya-tanya kenapa hidupnya berjalan terlalu baik. Ia memiliki sepasang orang tua yang sangat mencintainya, prestasi yang gemilang, dan Adrian Russel yang begitu memujanya. Namun Tuhan membalikkan keadaan tepat saat Manda merasa hidupnya terlalu sempurna. Tuhan mengambil Drian saat Manda memegangi pria tersebut dengan erat. Harusnya hati Drian tidak berubah. Hanya dengan demikian Manda bisa tetap mendekapnya. Tapi Drian sendiri yang ingin lepas. “Kamu cepat,” ucap Manda senang. “Aku kebetulan memang lagi di daerah sini,” jawab Drian yang memang sedang menunggu Rhea selesai dengan kelas terakhirnya. Ada alasan kenapa Drian tidak bisa berhenti menemui Manda. Satu bulan sebelum Rhea melahirkan, ketika Drian tidak bisa tenang melihat istrinya itu mondar mandir dengan perut besarnya, ia mencari Manda. Untuk pertama kalinya Drian menghubungi Manda lagi setelah mengakhiri hubungan dengan cara baik-baik. Drian tidak tenang jika harus bekerja dan meninggalkan Rhea sendirian dan untungnya pria itu mendapat izin untuk mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Tapi kenyataannya, bekerja dari rumah layaknya disuruh belajar saat jam pelajaran kosong. Ini adalah perumpamaan yang Drian pilih karena semua orang pasti bisa memahaminya. Rhea semakin manja dan tidak ingin jauh darinya sedangkan Drian tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Putri mereka yang akan lahir butuh Papanya untuk memiliki pekerjaan untuk memenuhi semua kebutuhannya dan sang Mama. Ide gila juga tidak tau malu akhirnya tercetus. Manda. Drian menghubungi Manda lagi dan meminta tolong tanpa mengatakan keadaan yang membuatnya tidak bisa bekerja. Sebulan penuh Manda membantunya. Aslinya wanita ini memang sebaik itu. Dan Drian rasa, dirinya juga terbiasa untuk bergantung pada Manda. Lalu putrinya lahir dan Drian bisa kembali pada pekerjaannya. Dan begitu saja, Drian meninggalkan Manda dengan kata terima kasih lewat Line. Me: Makasih Mand. Makasih banyak. Aku ga tau gimana jadinya kalo ga ada kamu. Manda: Sama-sama, Yan. Me: Mand Manda: Ya? Me: Putriku sudah lahir Manda: Oh ya? Kapan? Kapan istri kamu hamil? Jenis kelaminnya apa? Namanya siapa? Boleh aku lihat? Tapi Drian tidak membalas lagi pesan Manda. Entah karena dia yang sudah tidak butuh Manda atau mungkin terlalu jatuh cinta pada bayi merah kesayangannya. Lalu beberapa bulan belakangan dia mendapat satu pesan dari Manda yang membuatnya merasa bersalah. Perasaan bersalahnya ditambah dengan sikap Rhea yang terasa menjauh sehingga semuanya menjadi jauh lebih rumit. Manda: Kamu cuma nyari aku saat kamu butuh, ya, Yan. Aku paham sekarang. Sederet kata itulah yang membuat Drian merasa tertampar. Pesan terakhir Manda padanya yang ia abaikan bahkan berisi bentuk perhatian mantan kekasihnya itu untuk keluarga kecil Drian. Lalu suami Rhea itu menyengajakan untuk bertemu Manda beberapa kali sampai akhirnya ia mengetahui kondisi kesehatan Manda. Yang membuatnya lebih memperhatikan Manda lagi dari yang pernah ada. “Ale, ya, namanya,” tanya Manda pada bayi yang memiliki mata indah. Semua yang ada pada bayi Adrian sejujurnya adalah bentuk keindahan. Entahlah, Rhea selalu menyukai semua yang ada pada Drian. Termasuk bayi perempuan tersebut. “Kamu udah pesan makan?” “Aku udah pesan untuk kamu juga. Seperti biasa, ‘kan?” Drian mengangguk, memberikan persetujuan. “Yang biasa aja,” karena cuma Rhea yang selalu bereksperimen dengan makan siangku, sambung pria itu dalam hati. “Boleh titip Ale sebentar, Mand? Aku mau ke toilet.” Drian langsung memberikan Ale ke gendongan Manda begitu mendapat anggukan cepat dari wanita itu. “Hai,” ucap Manda pada bayi yang menengadah menatapnya. Matanya mengerjap pelan meneliti wajah Manda. Sedangkan wanita yang adalah mantan pacar Papanya Ale itu matanya memanas. Manda sempat berharap jika istri Drian meninggal dunia. Maka ia akan dengan senang hati menggantikan tempatnya. Manda bersumpah akan menjadi ibu tiri yang sangat mencintai anak tirinya. Tapi beberapa bulan kemudian ia mengetahui bahwa sepertinya, Manda lah yang akan mati lebih dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD