Rhea 23

1215 Words
“Sejak kapan kamu tau kalo waktu cuma berjalan satu arah?” Sian tidak perlu memberi alamat untuk pertanyaannya karena hanya Giam seorang yang bisa mendengarnya. “Sejak kamu menukar dua Rhea,” jawab Giam ketus. Tapi jujur saja ia sudah memiliki firasat bahwa waktu hanya berjalan satu arah. Maju. Karena jika waktu bisa bergerak mundur, akan ada kekacauan luar biasa di bumi ini dan surga atau neraka menjadi tidak ada gunanya untuk beberapa orang. Karena mereka bisa membatalkan apa yang telah terjadi dan juga sebaliknya. Tapi jika yang Sian tanyakan adalah sejak kapan Giam mengetahui bahwa ada begitu banyak planet dengan kehidupan nyaris sama di dalamnya, Giam akan menjawabnya dengan benar. Giam mengetahui hal ini jauh sebelum ia bertemu dengan Sian. Sian tidak bisa mengelak lagi bahwa selama ini ia berusaha menolong beberapa manusia yang membutuhkan sedikit bantuan. Beberapa, okey? Sedikit saja dari begitu banyaknya manusia di bumi. Seperti saat anak kecil yang layangannya tersangkut di dahan pohon. Sian akan melepaskan layangan yang jelas-jelas tersangkut tersebut dan memberikannya pada anak kecil itu tapi tidak dengan cara yang menyeramkan tentu saja. Bagi Sian, setidaknya anak kecil itu sudah berusaha meski lemparan batu atau ranting yang diarahkannya ke layangan sama sekali tidak mendekati benda persegi empat yang tersangkut tersebut. Atau mengeluarkan uang dari saku pejalan kaki yang tidak tersentuh sama sekali hatinya melihat orang tua yang meminta-minta. Bukan hal yang sulit bagi Sian untuk melakukan hal-hal seperti itu. Dan yang membuatnya ketagihan melakukan hal-hal tersebut adalah saat ada perasaan geli setelahnya. Seperti listrik bertegangan sangat rendah menjalar di sepanjang tubuhnya. Tapi ketika ia melakukannya untuk Rhea, bukan listrik bertegangan rendah tapi seluruh energi seperti disedot paksa dari dalam badannya. Bahkan sampai saat ini, Sian hanya bisa melakukan hal-hal mudah seperti memindahkan kunci kamar dari daun pintu ke bawah bantal Rhea malam itu. Hanya hal-hal kecil pada objek yang juga kecil saja yang bisa ia lakukan, karena tenaganya belum kembali. Atau mungkin tidak akan pernah kembali. Dan untuk mengembalikan Rhea ke tempatnya masing-masing, Sian membutuhkan Giam untuk melakukannya. Satu jam empat puluh lima menit berkendara akhirnya mobil yang ditumpangi Giam dan Sian sampai di apartemen. Keduanya yang bersandar ke jok mobil menipirkan bibir mereka melihat Drian mengelus puncak kepala Rhea. Membangunkan bocah yang pria itu kira istrinya tapi sebenarnya bukan. Dan bukan salah Drian juga karena tidak bisa membedakan Rhea-nya dan Rhea yang saat ini bersamanya dalam waktu beberapa bulan. Karena pertama, wajah keduanya yang bagaikan pinang dibelah dua. Dan kedua, kalau masih ingin mencari salah ya salah ini milik Sian. Lalu terakhir, jika Drian bisa sebaik ini pada Rhea berarti pria ini masih memiliki rasa sayang kepada istrinya sendiri. “Rhe.” “Hm?” “Bangun. Udah sampai.” “Nanti lah, Om,” rengek Rhea sambil mengeratkan pelukannya pada Ale yang juga sedang tidur. Mengabaikan usapan Om Drian di puncak kepalanya. Rhea bahkan sengaja mengalihkan wajahnya yang semula menghadap ke sebelah kanan menjadi ke arah kiri saking tidak ingin diganggu. Sian dan Giam masih memperhatikan wajah Drian yang terlihat sempat menghela napas pelan tapi kemudian pria itu kembali mengemudikan mobil keluar dari parkiran. Sengaja membawa anak dan istri remajanya berkeliling kota karena Rhea belum ingin bangun. >>> Rhea tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamarnya semalam tapi ia ingat bahwa kakinya sendirilah yang membawanya ke dalam apartemennya Om Drian. Saat bangun, remaja itu sudah tidak menemukan Om Drian karena pria itu tentu saja bekerja. Apalagi Rhea bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Lalu seperti biasa, Rhea akan membuatkan s**u untuk Ale dan mengambil s**u strawberry miliknya. Keduanya akan meminum s**u mereka sambil memandangi tivi yang padam. Begitu cara Rhea dan Ale memulai hari. Satu jam kemudian setelah keduanya puas berbaring di karpet depan tivi, jadwal mereka berikutnya adalah mandi. Alesha Zaneta Russel sudah bisa berdiri pada kedua kakinya. Rhea dan Om Drian bahkan sudah mulai membantunya berjalan. Hal itu mempermudah Rhea untuk memandikan Ale. Pokoknya, semua jadi lebih mudah sejak Ale bisa berdiri sendiri. Meskipun masuk ke dalam kamar mandi pada pukul setengah sebelas, keduanya baru selesai mandi pukul dua belas. Setelah mandi biasanya mereka akan makan. Apa pun yang Rhea kerjakan dengan Ale membuatnya membutuhkan waktu lebih lama. Tapi remaja istimewa satu itu tetap menikmatinya. Bagaimana tidak disebut istimewa karena mungkin hanya dia sendiri saja yang bisa berada di planet yang bukan miliknya di alam semesta yang luas ini. Dan setelah makan, keduanya akan tidur. Atau pilihan lainnya adalah Rhea sibuk dengan segala tontonan atau aplikasi belanja online nya sedangkan Ale tidur. Selalu seperti itu, tidak ada yang acak dalam keseharian keduanya kecuali jika Om Drian tidak bekerja. Rhea terbangun karena suara tawa Ale dan Om Drian. Dia bisa mendengar tawa sepasang ayah dan anak itu karena tadi keduanya, Ale dan Rhea, maksudnya memang tidur di depan tivi. “Makan sana, aku udah beli makan malam buat kamu,” ucap Drian pada Rhea yang mengucek-ngucek kedua matanya. “Kecepetan banget makan malamnya,” ucap Rhea dengan suara khas bangun tidur. Membawa dirinya berdiri, Rhea kemudian duduk disamping Om Drian dan membawa kepalanya untuk bersandar di bahu Om Drian. “Kalo lapar lagi nanti kamu boleh pesan apapun lagi. Yang penting makan nasi dulu,” ucap Drian pada Rhea. Remaja satu ini selalu, seolah-olah, hilang kontrol akan dirinya sendiri disaat bangun tidur seperti sekarang. Saat sadar seratus persen mana ada Rhea Davina Perawan Russel yang mepet-mepet padanya seperti ini. “Om, aku mau les.” Jawaban yang Drian berikan bukan untaian kata tapi gerakan memutar sejauh yang kepalanya bisa. “Tapi aku mau les di hari-hari liburnya Om Drian.” “Maksud kamu apa?” “Mana makan malamnya?” jawab Rhea dengan pertanyaan lainnya. Sedangkan tujuan Rhea les bukan untuk lebih pintar saat ia kembali ke masa lalu tapi agar ia tidak semakin terbiasa dengan Om Drian. Sejak berada di tempat Mamanya Ale seharusnya berada, bisa dibilang Rhea bergangung seratus persen pada Om Drian. Tapi semalam gadis itu tau bahwa tidak seharusnya ia terbiasa. Sedangkan di sisi lain, Drian yang mengetahui Rhea sendiri yang setuju dengan permintaannya beberapa waktu yang lalu padahal Zaki bahkan sudah membujuk Rhea tapi gagal, langsung punya beberapa syarat yang harus Rhea ikuti. Karena Rhea akan berbaur dengan orang lain, sisi protektifnya kembali muncul. “Sudah tau tempat les yang kamu mau?” tanya Drian yang tidak keberatan dengan satu syarat dari Rhea karena hal itu menguntungkan Ale. Putrinya jadi tidak akan pernah sendirian. Saat Drian bekerja ada Rhea yang menemaninya dan saat Rhea belajar Drian pasti bersama Alesha. “Om yang carikan,” jawab Rhea acuh tak acuh. “Oke. Tapi kamu ga boleh diajak kemana-mana sama anak cowok. Ga boleh pulang bareng anak cowok. Ga boleh terima makanan dari sembarangan orang. Ga boleh asal kasih senyum sama sembarangan orang apalagi itu cowok. Kalau ada yang nakal sama kamu langsung telfon aku dan yang paling penting, ga boleh pacaran.” “Kenapa?” “Karena kalau sempat kamu diapa-apain sama teman les kamu nanti, Rhea Davina Russel, itu sama aja kamu dilecehkan sama anak bayi. Bulan depan umur kamu dua puluh delapan Rhea.” “Aku ga janji.” “Kalau gitu say good bye sama les-lesan!” “Ckckck.. tapi beliin tiket konser BTS ya!” “Oke.” (soal sian sama giam, ga usah diambil pusing. Mereka berdua cuma entitas fiksi HAHAHAHAHAH)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD