Rhea 10

1036 Words
Kenyataannya hari itu bukan hanya cincin emas milik Tante Linda saja yang Rhea dapatkan. Tapi juga ongkos pulang dengan tujuan agar ia tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut dari Bapak. Seusai makan siang hari itu Rhea dipaksa duduk di depan bersama Bapak sedangkan Ibuk di belakang sana mencuci piring bersama Tante. Rhea tidak pernah secanggung ini dengan orang tuanya sendiri. Terancam tinggal kelas saja Bapak tidak pernah sediam ini padanya. Beberapa menit berlalu, Ibuk dan Tante masih belum muncul dan Rhea tau bahwa mereka berdua sengaja meninggalkan Rhea dan Bapak. Rhea sangat berterima kasih untuk usaha mereka mendekatkatnya dan Bapak tapi sayangnya tidak ada yang berubah bahkan setelah setengah jam duduk berhadap-hadapan. Makanya saat Bapak selesai dengan kopinya, Rhea berdiri dengan niat membawa gelas kopi tersebut ke dapur, tapi.. “Biar saya saja!” ucap Bapak yang ikutan berdiri. Bapak mengambil alih gelas tersebut dari tangan Rhea dan hal tersebut membuat matanya memanas. Kenapa Bapak sedingin ini? Pikir Rhea membatin. “Pak,” panggilnya tapi Rhea tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Satu kata saja keluar maka air matanya juga akan keluar. Sementara Alesha menahan air matanya yang sudah siap terjun bebas, Dito justru menatap anak muda itu dari atas sampai bawah. “Kamu tau kenapa kamu diterima dengan hangat di rumah ini?” tanya Dito pada Alesha. “Karena kamu begitu mirip dengan putri rumah ini yang hilang,” ucapnya sebagai jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dito tidak ingin melihat Alesha lagi di rumahnya. Orang tua mana yang akan senang dengan hal ini? Saat polisi saja sudah menyerah untuk menemukan anaknya, muncul wanita muda yang begitu mirip dengan Rhea. Kehadiran Alesha selama beberapa hari terakhir membuat istri dan adik iparnya seolah melupakan siapa yang menjadi anak di rumah ini. Seolah Rhea mereka sudah kembali melalui kehadiran Alesha yang mana hal tersebut tidak benar. Sekalipun Dito harus kehilangan putri tercintanya untuk selamanya, ia tidak akan membiarkan semua orang melupakannya. Ataupun seseorang menggantikannya. “Alesha bukan Rhea,” ucap Dito setelah menghela napas panjang. “Aku tau.” Mengangguk, “Makanya jangan membuatnya seolah-olah kamu putri saya.” “Pak, aku-” “-Kamu engga. Tapi istri dan adik saya,” Dito menjelaskan pada wanita yang pasti sangat tersinggung oleh sikapnya itu, bahwa semalam ia mendengar istrinya mengatakan niatnya untuk meminta Alesha tinggal di rumah ini. “Kamu sendiri setuju bukan bahwa Alesha bukan Rhea? Kamu juga katanya punya pekerjaan. Sudah pasti kamu juga punya tempat tinggal, ‘kan?” Rhea tidak kuasa menahan air matanya. Hanya saja begitu air matanya jatuh, Rhea cepat-cepat menyeka pipinya. Rhea sempat berpikir bahwa ia tidak boleh terlihat menyedihkan di depan Bapak. “Aku minta maaf kalau Bapak berpikir aku berniat menggantikan putri kesayangan Bapak. Aku punya rumah kok, Pak, walaupun dibeli dengan uang suami. Aku sering main ke rumah Bapak belakangan karena lagi marahan sama suami.” Oke, sebut Rhea sudah kehilangan akalnya karena sempat-sempatnya ingin curhat pada Bapak yang bahkan tidak mengenali siapa dirinya. Rhea tentu tidak berani mengadu pada Bapak yang ada di masa kininya. Masa kini maksudnya adalah waktu tempat dia berasal. Rhea tidak akan berani menambahkan beban pikiran pada Bapak. Jadi biarlah ia mengadu pada Bapak yang ada di depannya saat ini. Dito menaruh kembali gelas kopinya kemudian menatap Alesha dengan tatapan yang jauh lebih lunak dari sebelumnya. “Kalau begitu kembali lah padanya. Apa pun yang sudah suami kamu lakukan yang menyebabkan kamu semarah ini, kamu harus ingat satu hal. Bahwa dia bisa kamu sebut dengan kata suami karena dia mencintai kamu.” “Bapak sok tau,” ucap Rhea yang kembali menyeka pipinya. “Kenapa kalian bisa menjadi sepasang suami-istri? Tentu saja karena kamu dan suami lah yang menginginkannya demikian. Tanpa dorongan dari siapa pun.” Tangis Alesha semakin menjadi sejak wanita muda itu membahas suaminya sampai Dito yakin bahwa kekesalan Alesha karena perkaranya dengan suami jauh lebih besar dari pada kekesalan yang wanita ini rasakan karena pengusirannya. “Kita menikah karena aku yang mau,” ucap Rhea memberengut karena mengingat semua usahanya memikat Adrian Russel. Terasa seperti dirinya sendiri saja yang berjuang selama ini. “Menikah ga bisa sendiri, Alesha. Sekarang pulang pada suamimu,” Dan setelahnya Rhea ingat sekali bagaimana ia diberi ongkos pulang oleh Bapak. Rhea ingat bagaimana dirinya tidak pernah membelalakkan matanya pada Bapak tapi hari itu dia melakukannya. Rhea menatap Bapak seolah bola matanya akan meloncat keluar. Tapi hanya dirinya saja yang menggebu-gebu. Bapak? Jangankan marah, menoleh padanya saja tidak. Dan yang paling lucu atau justru menyedihkan di sini adalah uang yang katanya tidak akan dipakai. Uang tersebut justru sudah habis tak bersisa. Sekarang untuk tetap bisa makan mungkin Rhea harus menjual dua cincin yang saat ini dimilikinya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya di dalam hostel tempatnya menginap beberapa hari terakhir. Penyesalannya untuk semua keputusan demi keputusan yang diambil selama ini, ketidakpedulian seseorang yang selama ini berbagi duka dengannya setelah kematian Ibuk dan Tante, pemikiran tentang putrinya yang terus datang tiap kali dadanya terasa sesak pertanda saat ini putrinya sedang menangis kehausan atau kelaparan, semuanya menyatu. Kesadaran diri bahwa Rhea Davina hanya manusia yang tidak bisa melakukan apapun untuk dirinya sendiri juga merupakan hal yang paling menekan kepercayaan dirinya ke titik paling rendah yang pernah ada. Rhea bahkan berpikir, mungkin adalah hal yang wajar jika Drian memilih wanita lain. Dan dirinya lah yang salah karena jadi semarah itu pada Adrian Russel yang sudah mau menerima wanita tidak berdaya sepertinya. Bagaimana tidak? Jika bukan karena Drian, Rhea tidak yakin apakah ia bisa makan dengan benar, punya tempat berlindung dan tidak memikirkan apapun terutama tentang keuangan keluarga mereka dengan kebutuhan Rhea. Kacau. Satu kata itu lah yang bisa menjelaskan isi kepala wanita tersebut. Dan satu kata itu juga sudah sangat cukup untuk menjadi alasan kenapa saat ini Rhea berdiri beberapa meter dari Adrian Russel versi remaja. Rhea tidak yakin apakah dirinya yang begitu percaya diri karena mengetahui semua hal tentang Adrian Russel sudah menua dan pikun atau justru ternyata dia tidak tau semua hal tentang Adrian Russel. Buktinya ia sampai kebingungan mencari sekolah atau pun rumah Adrian Russel di masa lalu. Dan Rhea merasa beruntung karena ia menemukan Adrian Russel versi bocah saat langit sudah begitu mendung dan angin berhembus kencang. Tanpa ragu, Rhea berjalan lurus pada sekelompok bocah yang sedang bermain basket tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD