Rhea 9

1577 Words
Tidak heran jika seorang Dito pulang tergesa-gesa dengan raut tegang jika itu sudah menyangkut istri tercintanya. Pria setengah abad itu berlalu melewati Rhea tanpa melirik wanita muda itu sedikitpun. Mau tidak mau Rhea tersenyum geli melihat Bapaknya. “Dela..” ucap Bapak pada Ibuk yang duduk manis di sofa. Dari nada beliau memanggil Ibu, Rhea tau betapa khawatirnya Bapak. Sedangkan Ibu, beliau tertawa kemudian menangkup wajah suaminya sayang. Kerutan pada wajah tampan ini jelas karena ulahnya. Bukan ulahnya yang tiba-tiba meminta Dito pulang tapi hal ini justru sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu sejak mereka menikah. Dito adalah pria paling sempurna untuknya. Pria yang entah kenapa bisa dengan bodohnya mencintai Dela yang tidak memiliki apa-apa dan tidak hanya menerima semua kekurangan Dela apa adanya, dia juga menerima adik semata wayang wanita itu yang jelas-jelas memiliki kekurangan. “Kenapa kamu ngos-ngosan begitu, Dit? Aku, ‘kan, cuma mau makan siang sama kamu sama Ale.” Mendengar nama palsunya disebut, Rhea langsung menegakkan punggungnya. Tapi seperti yang sudah ia prediksi, Bapak bahkan tidak menoleh padanya. Melirik saja tidak. Hal itu membuat Rhea sedikit berkecil hati karenanya. Ingin rasanya wanita tersebut mengeluh, menangis sambil merengek pada Bapak karena sikap yang beliau berikan padanya. Tapi Rhea tau bahwa ia tidak bisa melakukan hal itu. Bapak tidak bermaksud mengabaikannya, beliau hanya tidak menyukai orang asing berada di dalam keluarganya. Sama seperti dulu saat Drian- Rhea menghentikan dirinya dari memikirkan masa lalu saat tiba-tiba saja teringat dengan sang suami. Alih-alih memikirkan Drian, Rhea justru fokus pada pemandangan di depannya. Bagaimana Bapak menyentuh tangan Ibuk yang menangkup wajah beliau. Hal yang tentu juga sudah tidak bisa ia lihat leluasa di masa depan karena Ibuk sudah tiada. Rhea merasakan dadanya menjadi sesak mengingat hal tersebut. Bukan hanya dirinya yang kehilangan tapi juga Bapak. Andai Bapak bisa melihat pemandangan ini dengan mata kepalanya sendiri. Melihat bagaimana Ibuk begitu mencintainya. Mungkin Bapak tidak harus bertanya-tanya tentang apakah beliau sudah mencintai istrinya sebanyak mungkin, atau sudah mencintai istrinya dengan benar. Karena jawabannya bisa diketahui dari bagaimana cara Ibuk melihat Bapak saat ini. Rhea masih berdiri di tempatnya, mengamati kedua orang paling berarti dalam hidupnya ketika Tante Linda memukul pelan pundaknya. Wanita muda itu memberikan senyum lebarnya kemudian melebarkan kedua lengan untuk kemudian memeluk Tantenya. Rhea selalu memeluk wanita itu sejak beberapa hari terakhir. Takut jika nanti ia tidak punya kesempatan lagi untuk memeluk beliau. Linda menghela Ale menjauh dari Kakak dan Abang iparnya yang terlihat sedang sibuk berdua. Membuka pintu kamarnya, Linda kemudian menuntun Rhea untuk duduk di atas ranjangnya. Setelah itu Linda membuka lemari pakaiannya sebelum berbalik pada wanita yang mengaku bernama Ale. Linda membuka kepalan tangan Ale kemudian meletakkan kepalan tangannya di sana. “Ini untuk apa, Tan?” tanya Rhea dengan kedua mata membola saat mengetahui bahwa Tante Linda meletakkan cincin emasnya ke dalam telapak tangannya. Kini Tante membuat Rhea kembali mengepalkan telapak tangannya. Wanita itu hanya mengangguk dengan kedua mata terpejam padanya. Belum sempat Rhea mengucapkan penolakan Tante Linda sudah menggeleng seolah wanita tersebut mengetahui apa yang akan Rhea katakan. Meski dirinya sudah menjadi gembel sejak terlempar ke masa lalu, Rhea tidak akan menerima apa pun dari keluarganya. Karena Rhea tau bahwa ia tidak akan pernah bisa memberikan apa-apa pada keluarganya. Rhea bukan jenis anak yang bisa membahagiakan orang tua karena begitu tamat kuliah ia memilih untuk fokus mengejar Adrian Russel. Melupakan fakta bahwa ada orang-orang yang harusnya ia bahagiakan. Makanya jika seandainya membutuhkan sesuatu maka Rhea hanya akan menjual cincin kawinnya bersama Drian. Cincin yang ia pakai kembali setelah melemparkannya pada pria tersebut. Rhea ingat betul alasan kenapa ia memakai cincin ini lagi. Yaitu karena dirinya sudah terlanjur muak mendengar Drian dan kata-katanya. Drian selalu membuat Rhea mengingat bagaimana ia memeluk pacarnya di lift hari itu. Maksudnya bukan sengaja membuat Rhea mengingat hal tersebut. Hanya saja sejak tertangkap basah hari itu, Drian jadi mencoba menhelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan wanita itu. Drian selalu mengulang-ulang ceritanya sehingga Rhea memilih untuk berpura-pura memaafkannya dan melupakan semua yang sudah terjadi. Rhea membuang napasnya kesal, Drian lagi Drian lagi. Berbanding terbalik dengan pelajaran yang tidak pernah bisa ia mengerti, Drian selalu menempel di otaknya. Dan hal itu membuat Rhea semakin menyadari betapa bodohnya ia. “Ale, ayo makan sama Bapak,” ucap Dela pada Ale dan Linda. Wanita itu melihat benda yang berada di tangan Ale dan hanya bisa tersenyum geli. Jujur saja, sejak kedatangan Ale ke rumah mereka beberapa hari yang lalu, kerisauan nya sirna. Seolah putrinya yang hilang sudah kembali padanya. >>> Rhea memegang cermin kecil di tangan kirinya sedangkan tangan kanan menyentuh jerawat pada wajahnya. Jerawat yang tumbuhnya keterlaluan subur kalau boleh Rhea tambahkan. “Sialan! Aku ga boleh stress banget sih,” umpatnya karena semakin dilihat, jerawatnya terasa semakin besar. Drian yang mendengar u*****n tersebut melirik pada Rhea. Adrian Russel mendapati perawan miliknya itu memejamkan kedua matanya kemudian menarik napas dalam dan panjang. Jujur, ia tidak pernah melihat istrinya bertingkah seperti ini. Rhea Davina yang ini benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri. Meskipun berada di ruangan yang sama dengan Drian, gadis itu terlihat tidak peduli padanya. Padahal harusnya Rhea tergila-gila pada Adrian Russel. Drian ingat sekali bagaimana dulu Rhea-nya tidak pernah duduk tenang jika gadis itu mengetahui keberadaan Drian di sekitarnya. Mulai dari yang berlagak sok cantik, curi-curi pandang bahkan langsung menghampiri Drian atau jika sebelumnya Drian sudah menyakitinya terlalu dalam, maklumi mulut Drian yang tajam ini ya, maka Rhea akan berbicara dengan laki-laki mana pun yang menghampirinya dan memandang laki-laki tersebut dengan mata berbinar seperti sedang jatuh cinta. Pria beranak satu yang dipanggil Om sejak beberapa waktu belakangan tersebut mendengus mengingat masa lalunya bersama sang istri. Sudah lama sekali rasanya, dan kalau bukan karena perawan yang sedang stress karena jerawatnya atau justru berjerawat karena stress tersebut, mungkin Drian akan melupakan perasaan ini selamanya. Perasaan jengkel yang ia rasakan akibat Rhea yang mencuri perhatiannya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, apa pun cara Rhea untuk mendapatkan perhatian Drian selalu membuat pria tampan kita jengkel. “Om,” panggil Rhea dengan kedua mata masih terpejam tanpa mengetahui bahwa Drian masih meliriknya. Kerutan di jidat Drian kembali tercipta mendengar kata terkutuk satu itu. “Om,” ulang Rhea. Namun kali ini ia membuka kedua matanya dan melirik Drian. Beruntung Drian lebih cepat mengalihkan pandangannya ke arah tivi. Sedangkan di sisi Rhea, yang terlihat olehnya saat ini dari sepasang anak dan ayah yang sedang menonton tivi itu hanyalah antusias Ale. Ale tampak begitu tertarik dengan kartun yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional tersebut sementara Ayahnya yang meletakkan Ale di pangkuan tampak kelelahan. Padahal hari ini Om Drian tidak pergi bekerja tapi rautnya seperti sehabis jadi kuli seharian. “Aku bukan suami Tantemu.” “Memang, kasihan Tanteku kalau harus jadi istrinya Om,” cibir Rhea yang begitu serius dengan ucapannya. Tantenya adalah wanita paling baik terlepas dari keterbatasan yang beliau miliki. Dan hal tersebut tidak mengurangi apapun dari dirinya. Semua orang mungkin memandangnya tidak sempurna atau cacat tapi tidak sekalipun Rhea memiliki pemikiran yang sama. “Memang, karena aku, ‘kan, suamimu-” “-dih, pede amat!” Keduanya membuang muka dan mendengus. Tidak ada yang bicara sampai akhirnya Drian lah yang membuka suara. “Yang,” panggilnya. “Hm?” gumam Rhea sambil memandang jerawatnya yang bengkak, merah dan menyakitkan. “Hah?” Drian melongo. “Apanya?” tanya Rhea dengan tatapan polosnya. Sangat polos sampai Drian hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya dengan mulut menganga. Bukannya baru saja Rhea menyahut panggilan sayangnya Drian? Giam menggeleng-gelengkan kepala kemudian berbalik dan memandang Sian tanpa mengatakan apa pun. Meski begitu, Sian paham bahwa mereka belum bisa mencari Rhea dewasa dan meninggalkan dua orang ini. Gimana kalau nanti mereka cinlok? Makin rumit urusannya. “Kenapa?” tanya Rhea yang kali ini sudah melepaskan cermin dari kedua tangannya. Rhea tidak mendengar begitu jelas apa yang Om Drian katakan padanya barusan dan ketika ia bertanya ulang, pria itu hanya meneguk ludahnya kasar. Terlihat jelas dari gerakan jakunnya yang tegas. Pandangan Rhea beralih pada jam di samping tivi. Kali ini Rhea mendekat pada Om Drian. “Dari tadi aku mau ngomong kalo aku lapar, Om.” Omongan mereka malah jadi tidak jelas. Yang Om Drian ini suaminya Rhea lah, suami Tante juga dibahas-bahas. “Beli makan yuk, Om. Aku ga bisa tidur lebih dari jam setengah sebelas malam. Nanti jerawatku beranak pinak.” “Kamu sudah makan tiga kali hari ini, Rhe.” Drian sengaja berdeham mengingat bagaimana Rhea menyahut panggilan sayangnya beberapa saat yang lalu. Ia jadi merasa berdosa memanggil bocah ini dengan cara demikian. “Atau aku pergi beli sendiri aja ke bawah? Aku bisa kok..” “Masuk kamar sana! Jam berapa ini, Rhe? Perawan harus tidur cepat kalau ga mau berjerawat, bukannya kelayapan malam-malam.” Sedang Drian tertawa bodoh dalam batinnya. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu Rhea yang sudah harus tidur jam segini? Karena jujur saja yang ia kenal selama beberapa tahun terakhir adalah Rhea yang melakukan banyak hal bersamanya justru di saat malam semakin larut. Astaga Drian! Jangan sampai kamu macam-macam sama perawan ini. Gimana kalo nanti dia balik ke masa lalu dalam keadaan tidak perawan? Bisa-bisa Adrian Russel di masa lalu merasa dikhianati. “Lagian kamu masih bocah,” ucap Drian menyuarakan isi hatinya. “Makanya aku butuh makan, Om. Biar bisa tumbuh dengan baik,” ucapnya sambil meraba kantong celana Om Drian dimana pria itu menaruh dompetnya. Rhea hanya perlu selembar uang atau sebuah kartu dari dalam dompetnya Om Drian supaya dia bisa pergi jajan tapi tangannya dipukul oleh pria itu. “Masuk ga!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD