Rhea 11

1181 Words
“Om,” ucap Rhea menggoyang-goyangkan tubuh Om Drian dengan telunjuk kirinya. Remaja itu juga berusaha untuk menjaga agar suaranya tetap rendah sehingga tidak mengganggu tidurnya Ale. Tapi ini sudah yang ke sekian kalinya Rhea mencoba membangunkan Om Drian. “Om Drian,” panggilnya lagi. Kali ini Rhea memberanikan dirinya menyentuh pipi Om Drian. Rhea melakukan hal yang sama pada pipi Om Drian untuk membangunkannya. Seumur hidupnya Rhea hanya pernah bertemu dengan Bapak, Ibuk dan Tante yang mengantuk. Ketiga-tiganya akan langsung bangun jika Rhea membutuhkan mereka tapi pria satu ini berbeda. “Om Drian tidur kaya orang mati. Gawat! Bisa yatim piatu Ale kalau Bapaknya mati beneran,” ucapnya pelan. Rhea kemudian berdiri tegak dan memindai seluruh tubuh Om Drian. Mengira-ngira bagian mana yang bisa membuat beliau bangun kalau di lakukan sesuatu padanya. Kemudian secepat mungkin remaja itu berpindah pada sesuatu yang diliriknya beberapa detik yang lalu. Rhea yang menggelitik telapak kaki pria itu dengan jemarinya, eh dia pula yang berteriak kesakitan setelahnya. “Kamu ga apa-apa?” tanya Drian yang langsung duduk ketika merasakan gerakan pelan di telapak kakinya. Rhea butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa baru saja ia ditendang oleh Om Drian. Lebih tepatnya Om-Om yang mengaku sebagai suaminya. Remaja itu tidak mengeluarkan sepatah katapun, ia juga tidak berpindah dari posisinya. Hanya menatap nyalang pada pria bongsor yang baru saja menganiaya dirinya. Di depan Rhea tepatnya kurang lebih satu meter dari ujung jari pria itu, Adrian mengusap wajah gusar karena mengetahui bahwa Rhea tengah merajuk, marah atau apapun. Tidak salah lagi. Lihat saja betapa besar bukaan kelopak mata perawan itu saat ini. Tidak butuh waktu lama bagi Drian untuk mengetahui luka pada pelipis kiri Rhea akibat tendangannya. Posisi jatuhnya Rhea terlalu dekat dengan meja rendah tempat Rhea, istrinya Drian maksudnya, menaruh foto-foto mereka. Kepala perawan ini terbentur pada sudut meja kaca tersebut. Adrian Russel tidak mengatakan apa-apa ketika mengobati pelipis Rhea. Tapi ketika remaja itu beranjak menjauh darinya setelah lukanya berhasil ditutupi, Drian menyambar tangan gadis itu. “Maaf, aku ga sengaja. Lagian salah kamu juga pake gelitikin telapak kaki orang yang lagi tidur. Mana orangnya itu ga tahan geli.” Mendengar permintaan maaf bernada marah tersebut, Rhea meraung layaknya Alesha Zaneta Russel ketika bayi perempuan itu kesal. ‘Ada apa dengan perawan satu ini?’ Pekik Drian membatin. Rhea berada di usia satu tahun sebelum usia di mana ia bertemu, jatuh cinta dan tergila-gila pada Adrian Russel tapi lihat bagaimana kekanak-kanakannya bocah ini sekarang. “Rhea, Ale bisa ikutan nangis kalo kamu begini,” ucap Drian. “Biarin!” “Kenapa kamu kaya bocah banget si, Rhe?” tanya Drian yang menatap lekat pada pelipis Rhea yang sudah ia obati. Pria itu teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu di sebuah universitas negeri tempat ia dan Rhea menamatkan pendidikan terakhir mereka. Tempat di mana Drian juga melakukan hal yang sama pada Rhea. Hari itu Drian benar-benar kesal pada Rhea yang terus merecokinya dengan pernyataan cinta. Pria itu yang juga sudah kelelahan karena baru saja pulang dari acara kuliah lapangan mendorong Rhea dengan lengannya. Tidak bermaksud menyakiti, hanya ingin gadis itu pergi darinya. Tapi ternyata Drian berakhir menyakitinya. Hari itu Drian mendengar pekik kesakitan Rhea tapi ia tidak peduli. Rhea memang selalu membuat kehebohan, bbukan? Dia senang saja semua orang bisa tau apa lagi saat dirinya jatuh terjerembab di atas aspal. Rhea Davina yang Drian kenal adalah seorang perempuan yang perasaannya bisa terbaca dengan jelas layaknya sebuah buku yang terbuka halamannya. Katanya, selain luka di pelipisnya, Rhea juga merasakan sakit di pinggang belakangnya. Sekali lagi, Drian benar-benar tidak berniat melukai perempuan yang ternyata adalah seseorang yang akan menjadi istrinya itu. ‘Kenapa Rhea bisa lukanya sekarang?’ tanya Drian membatin. Bukannya yang harus melukai Rhea adalah Adrian Russel yang berasal dari masa yang sama dengannya? “Emang aku bocah, Om!” ucap Rhea ketus, memutus lamunan Drian. “Bocah yang juga udah punya anak,” celetuk Drian. Pria itu bersumpah bahwa dulu dirinya tidak sebanyak omong ini. Terima kasih pada kehadiran Rhea dalam hidupnya yang mengubah Adrian Russel si irit bicara menjadi Adrian Russel si cerewet dan asal bicara. “Kamu lagi datang bulan, ya? Atau ketakutan makanya tadi bangunin aku?” Kali ini Drian bertanya dengan nada lembut karena barusan Rhea menyentak tangannya yang berada di tangan pria itu. Drian tidak suka saat Rhea, Rhea manapun itu baik yang sudah beranak atau belum, menarik diri darinya. Perasaan ini mulai terbentuk saat Drian baru mengetahui apa yang Rhea alami karena dirinya keesokan harinya. Awalnya pria itu tidak terlalu peduli karena tindakannya itu berhasil membuat Rhea menjauh darinya. Hanya saja dua hari tidak melihat tingkah Rhea untuk mencuri perhatiannya, Adrian Russel merasa gelisah. Perasaannya semakin tidak karuan ketika Rhea yang tidak sengaja bertemu dengannya di perpustakaan kampus menarik satu langkah ke belakang menjauhinya. Seolah mendekat sedikit saja maka ia aka kembali terluka. Dan gadis bodoh di depannya ini adalah orang yang paling sering mengingatkannya pada masa lalu padahal baru beberapa hari Rhea bersamanya. “Aku tuh lapar! Sebelum tidur juga udah laporan kalo aku lapar, ‘kan? Kalo Om ga mau ngasih makan balikin aja aku ke rumah orang tuaku!” ‘Balikin aja aku ke rumah orang tuaku,” cibir Drian membatin. Tidakkah Rhea terdengar seperti istri yang ingin diceraikan? Bukannya gadis ini selalu mencibir tiap kali Drian menyebutnya istri? Atau Drian saja yang terlalu baper? Menghela napas pasrah, Drian meraih kembali satu tangan Rhea kemudian menarik remaja itu untuk maju satu langkah mendekatinya. Aslinya, tubuh Drian memang tinggi menjulang dan semakin terlihat lebih tinggi karena perbedaan tinggi Rhea yang ada di hadapannya dengan Rhea yang hilang cukup besar. Drian menunduk kemudian menyeka air mata Rhea yang menangis kesal tak ubahnya dengan Alesha saat bayi itu mengamuk. “Minum s**u mau?” tanya Drian yang kesusahan menatap wajah Rhea meskipun ia juga sudah membuat bocah tersebut menengadah. Maksudnya biar Rhea bisa lebih tinggi. Dia, ‘kan, masih dalam masa pertumbuhan. “Ale tuh yang perlu minum s**u!” Suara Rhea masih menunjukkan kekesalannya, meski begitu dengan polosnya Rhea menyerahkan saja wajahnya pada Om Drian. Tidak memikirkan hal-hal buruk seburuk dirinya yang bisa saja disosor oleh pria itu. “Iya sih, s**u kamu tuh yang harusnya diminum Ale.” “Ini pelecehan verbal namanya, Om!” “Ya sudah, kamu lapar, ‘kan? Aku masakin mie, mau?” tanya Drian yang sudah mendapatkan peringatan bahaya dari kata ‘pelecehann verbal’ yang terucap dari Rhea. “Ibuk ga suka aku makan mie.” “Ya sudah!” ucap Drian acuh tak acuh. Saat pria itu hendak berbalik ke sofa yang sudah beralih fungsi menjadi ranjangnya, Sofa yang bahkan tidak bisa menampung seluruh kakinya sehingga Drian kadang merasa kesemutan, ia merasakan tarikan Rhea pada kaos yang dikenakannya. “Iya, mau,” rengek gadis itu yang membuat Drian merasa ingin mendengar sekali lagi bagaimana Rhea mengucapkan dua kata tersebut. “Drian kenapa mandang Rhea segitunya, ya?” tanya Sian pada Giam. Dan tidak ada jawaban yang Sian dapatkan karena sama sepertinya, Giam pun tidak bisa mengetahui isi hati manusia. Tapi yang pasti Giam menatap nyalang pada Adrian Russel yang saat ini terlihat sangat meresahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD