Rhea 6

1954 Words
“Om,” panggil Rhea ragu-ragu. “Hm?” “Hm?” sahut Drian dan Zaki bersamaan. Hanya Drian saja yang menunjukkan wajah terganggunya ketika menyadari bahwa barusan sang sahabat juga ikutan menyahut. Melirik pada pria yang duduk di sampingnya, Drian cukup kaget karena mendapati sebagian rambut Zaki mencuat ke udara karena dijambak oleh pria itu sendiri. Drian tidak tau saja bagaimana Rhea mencoba untuk mengalihkan pandangan dari temannya yang memandang gadis itu seperti bocah yang belum pernah memandang anjing laut seumur hidupnya. Iya benar, Rhea merasa seperti hewan laut yang sedang di pamerkan di depan Om Zaki yang sudah membayar mahal-mahal untuk masuk ke kebun binatang atau apapun nama tempat yang memamerkan anjing laut dan atraksi lucunya. “Lapar,” ucap Rhea lagi namun kali ini dengan suara yang jauh lebih pelan dari beberapa saat yang lalu ketika ia memanggil Om Drian. Sedangkan Zaki yang baru bisa mengenali perbedaan istrinya Drian setelah dijelaskan oleh temannya itu langsung meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi ojek online dan menyuguhkannya pada Rhea. “Ini.. apa?” tanya Rhea pada Om yang dari tadi hanya memandanginya saja. “Pilih sendiri makan malam yang kamu suka,” terang Zaki sambil mengulurkan sekali lagi ponselnya pada Rhea yang duduk di seberang meja makan. “Kali ini biar gue yang traktir,” kali ini Zaki bicara pada Drian yang terlihat sangat terganggu dengan apa pun yang bisa keluar dari mulutnya. Drian sudah seaneh ini sejak pria itu sendiri yang mengatakan kalimat ambigu sehingga Zaki harus menanyakan apa dari tubuh Rhea yang terlihat kecil. Sedangkan di sisi Zaki, pertanyaan tersebut adalah hal yang sangat normal untuk ditanyakan. Dia sudah tidak bertemu Rhea selama beberapa bulan, model potongan rambutnya juga tidak kelihatan bedanya karena remaja itu menguncirnya asal-asalan, dan yang paling penting adalah Rhea yang ia temui hari ini bukan yang memakai seragam olahraga atau pramuka, pakaiannya normal saja tuh. Drian mendengus kemudian membuang muka. Di situasi seperti ini kenapa dirinya menjadi sangat kekanak-kanakan? Benar-benar bukan dirinya sekali. “Om Drian,” panggil Rhea. Kali ini ia menyebut nama Om yang ia inginkan agar Om aneh ini berhenti melakukan hal aneh padanya. “Apa lagi, Rhea?” “Aku lapar,” rengek Rhea. “Zaki sudah meminta kamu memilih makan malammu sendiri, bukan?” “Aku ga akan kenyang karena memilih gambar sebanyak yang kuinginkan, Om!” Kedua alis Zaki terangkat begitu mendengar komentar Rhea barusan. Pria itu berdiri kemudian memutari meja makan untuk kemudian menarik kursi di samping Rhea dan berakhir duduk di sana. Tidak menyadari bahwa kedua alis Drian kembali menyatu melihat tingkahnya atau lebih tepatnya melihat seberapa dekat Zaki dengan perawan Rhea saat ini. Lama-lama begini mungkin tidak akan ada celah antara alis kiri dan kanannya Adrian Russel. “Kamu ga tau kalo di masa depan makanan bisa dipesan lewat ponsel?” Kerutan di jidat Drian hilang seketika karena menyadari Rhea datang dari beberapa tahun yang lalu. Melihat bagaimana takjubnya perawan satu itu mendengar penjelasan Zaki membuat Drian semakin yakin bahwa yang berada di hadapannya saat ini adalah istrinya dari masa lalu. Sementara itu, di tempat yang sama tapi dengan nuansa yang sedikit berbeda. Juga perbedaan waktu yang sepertinya agak lebar, Rhea yang sedang dicari oleh Adrian Russel merasakan detak jantungnya melambat saat wali kelasnya yang dulu mengatakan bahwa dirinya yang seharusnya ada di sekolah, atau lebih tepatnya tidur di dalam kelas sudah tidak hadir tanpa keterangan selama dua minggu. “Kamu Kakaknya Rhea?” tanya Bu Guru tersebut pada Rhea. “Bu-bukan, Bu,” jawabnya sebelum cepat-cepat pergi. Ada yang salah, ucap Rhea membatin. Ia tidak merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi begitu mendapati dirinya di tempat bernama masa lalu. Setidaknya demikian Rhea mempercayai semua ini. Bahwa dirinya terlempar ke masa lalu. Antara terlempar atau justru diselamatkan dari suaminya yang sudah menghancurkan pernikahan mereka. Tapi ketika mengetahui bahwa Rhea, dirinya yang seharusnya mengenakan seragam SMA kekecilan karena dengan keras kepala menolak dibelikan seragam baru agar Ibu tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuknya, menghilang selama dua minggu, tidak salah lagi. Sesuatu yang aneh memang sedang terjadi. Setelah mendapati dirinya di tempat asing yang juga familiar, Rhea memutuskan untuk tidak mengganggu Adrian Russel. Lebih baik pria itu tidak pernah mengenal Rhea Davina dalam hidupnya bukan? Untuk itu, Rhea harus memastikan dirinya versi lebih muda untuk tidak pernah mendekati Adrian. Sama seperti dirinya yang sempat bingung saat berada di sini, Rhea versi lebih muda mungkin juga akan bingung sesaat. Tapi Rhea yakin ia bisa memastikan dirinya sendiri, maksudnya Rhea versi muda, untuk percaya pada semua yang dikatakannya. Bahwa menikah dengan Adrian Russel mungkin adalah penyesalan paling dalam bagi mereka berdua. Rhea akan membuat dirinya versi muda untuk tidak terlibat apa-apa dengan orang yang di masa depan menjadi suami juga ayah dari putri cantiknya. Makanya hari ini Rhea langsung menuju sekolahnya dulu, menemui dirinya yang lain, yang dia pikir tetap ada di dunia ini. Tapi lihat yang ia temukan. Apakah dirinya versi muda sudah lenyap dari bumi? Dan apakah Ale juga sudah lenyap? Maksud Rhea adalah jika dirinya yang akan menjadi istri Adrian Russel sudah tidak ada di bumi ini bagaimana dengan pernikahan yang menghadirkan Alesha Zaneta Russel? Wanita yang sangat sering menangis selama beberapa bulan belakangan itu kembali sesenggukan. Beberapa saat kemudian setelah terpaku melihat tanah yang dipijakinya, Rhea menggeleng pelan. “Mungkin Rhea sakit,” ucapnya dan tanpa ragu, wanita itu melangkahkan kakinya ke rumah tempat ia dibesarkan. >>> Rhea tidak yakin apakah yang sedang ia ketuk adalah rumah kedua orang tuanya karena seingatnya mereka tidak punya gazebo seluas ini. “Permisi...” ucap Rhea tanpa tenaga. Menangis di pinggir jalan dan di bawah terik matahari, belum memakan apa-apa sejak berada di tempat yang mulai sekarang mungkin harus ia beri nama masa lalu dan jalan kaki dua setengah jam untuk bisa sampai di rumah ini. Seseorang yang tentu sangat dikenali oleh Rhea membukakan pintu kemudian menunjukkan wajah kaget. Itu Tantenya, adik sang Ibu yang selalu menemaninya begadang mengerjakan PR atau lebih tepatnya memastikan Rhea mengerjakan PR. Meskipun tantenya itu terlahir gagu, tapi beliaulah yang paling Rhea sayangi. Ibu dan Tante adalah dua orang yang kalian tidak boleh menjadikan keduanya pilihan kemudian memaksa Rhea memilih satu di antara mereka. Mendapati pemilik wajah tersebut dalam keadaan sehat dan yang paling penting bernyawa, tidak seperti terakhir kali ia melihatnya, membuat Rhea menghambur memeluk Tantenya tanpa pikir panjang. Sementara itu, Linda kaget bukan main menemukan wajah ponakan kesayangannya ada pada wanita muda ini ditambah si wanita muda memeluknya seolah telah mengenalnya lama. Linda kemudian mengelus-elus punggung wanita itu, ia tidak tau apa masalah yang tengah wanita itu hadapi. Ingin bertanya tapi ia paham keterbatasannya. Kemudian Linda melerai pelukan mereka dan menangkup wajah cantik yang benar-benar mirip dengan ponakannya, Rhea. Linda menyeka air mata wanita itu dan menggeleng pelan. Ia ingin wanita itu berhenti menangis. “Ma-maaf, Te.. Ibu sama Bapak ada?” tanya Rhea berusaha menghentikan tangisnya. Ada alasan lain kenapa tangisnya semakin menjadi-jadi ketika Tantenya menangkup kedua pipinya. Karena di masa depan Rhea tidak akan menemukan Tante dan Ibunya lagi. Mimpinya tidak pernah senyata ini semenjak dua orang terkasihnya meninggal dunia. Dalam hatinya Rhea berkata bahwa mungkin dia akan betah berada di sini. Tapi sedetik kemudian ia kembali teringat dengan Ale. Detak jantungnya kembali terasa tidak menyenangkan dan perutnya kembali terasa melilit. Tante Linda kemudian membukakan pintu dan membawa Rhea terus ke dalam rumah sampai keduanya berada di dapur, tempat dimana sang Ibu sedang memasak. Mencoba memasak tepatnya karena saat ia dan Tante sampai disana, Ibu berhasil mengiris jarinya sendiri. Jika bapak tau bahwa diam-diam Ibu berusaha belajar memasak, Bapak pasti marah besar. “Ibu..” teriak Rhea dan segera mengambil kotak P3K di atas kulkas. “Rhea?” tanya Ibunya saat Rhea mengobati lukanya. Seketika Rhea menyadari kesalahannya. Seharusnya ia datang sebagai orang asing yang ingin mengetahui keberadaan Rhea Davina, bukan orang yang mengetahui letak kotak P3K dan mengobati Ibu seperti sekarang. Tidakkah ini akan membuat semua orang bingung? Meneguk ludahnya, Rhea segera bangkit kemudian berkata, “Sa-saya,” kembali Rhea menelan salivanya, “Nama saya Alesha, pelayan di cafe yang sering Rhea datangi saat belajar kelompok dengan teman-temannya,” ucap Rhea berusaha meyakinkan. Wajah Ibu langsung murung begitu mengetahui siapa yang sedang berhadapan dengannya. Mata Rhea memanas, wanita itu sengaja mengalihkan pandangannya ke langit-langit agar air matanya tidak kembali tumpah. Dari ekspresi Ibu, Rhea sudah tau bahwa dirinya yang lain juga tidak ada di rumah. “Waktu pertama ketemu sama Rhea,” ucap Rhea sambil terus mengamati perubahan air muka Ibunya. “Kami juga sama-sama kaget karena mukanya sama.” “Kamu dekat dengan Rhea?” “Cukup dekat sampai saya tau kalo Rhea paling nyenyak tidurnya saat Guru menerangkan pelajaran.” Rhea tidak tau pasti apakah dirinya membuat Ibu menangis atau tertawa karena beliau melakukan keduanya di saat yang bersamaan. Rhea mengangkat tangannya ragu-ragu untuk kemudian mengusap punggung Ibu yang mengucapkan maaf karena menangis di depan teman anaknya. Wanita itu menceritakan bahwa ia dan suaminya tidak bisa menemukan anak gadis mereka satu-satu dimanapun. Beberapa hari yang lalu saat seharusnya mereka semua berkumpul di meja makan dan memulai hari-hari normal yang menyenangkan karena Rhea selalu bisa membuat semua orang tertawa dengan kekonyolannya, Rhea tidak ditemukan di kamarnya. Sementara Ibu terus menjelaskan kronologi kejadian hari itu, Rhea justru mati-matian menahan air matanya. Sama seperti tadi saat ia memeluk Tantenya, Rhea juga ingin melakukan hal yang sama pada Ibu. Rhea tidak pernah menunjukkan betapa ia sangat merindukan Ibu selama ini. Ia berusaha untuk tetap kuat agar tidak menyusahkan orang-orang di sekelilingnya bahkan pada suaminya sendiri. Sekarang baru Rhea sadar bahwa ia dan Drian tidak benar-benar terbuka satu sama lain. Sama seperti Rhea yang tidak bisa menunjukkan betapa hancurnya ia selepas kematian Ibu dan Tante, Drian juga tidak pernah benar-benar mengatakan kenapa pria itu pada akhirnya memilih untuk menikahi Rhea saat ia punya pacar yang sangat disayanginya. >>> Dari sela-sela antara pintu dengan kusen tampak Linda menatap sedih pada wanita muda yang sedang menangis pilu. Dia dan Ibunya Rhea berbicara sangat lama seperti dua orang kenalan yang sudah lama tidak bertemu. Sekarang Kakaknya Linda sudah tertidur dan di sampingnya ada Alesha yang menangis tanpa suara. Meskipun Linda bukanlah orang yang melahirkan Rhea dan kenyataannya dia tidak pernah melahirkan siapapun, batinnya mengatakan bahwa wanita muda itu sama sekali bukan orang asing. Dengan gilanya Linda merasa Alesha adalah ponakannya. Kemiripan apa lagi yang kurang antara Alesha dengan Rhea? Setelah wanita itu merasa cukup membiarkan Alesha menangis, wanita itu masuk ke dalam kamar kakaknya dan membantu orang yang diyakininya adalah keponakannya itu berdiri dan membawanya keluar. “...” Rhea tidak tau ia akan dibawa kemana tapi satu hal yang pasti adalah bahwa Rhea harus menghentikan tangisnya agar dirinya tidak terlihat semakin aneh. Di skenario dadakan ini, Rhea remaja adalah kenalannya Rhea. Sangat tidak masuk akal ia menangis seperti ini seolah ia sedang mendatangi pemakaman Rhea remaja. Bisa-bisa ia diusir dari rumah ini. Linda membuka kulkas setelah meminta Alesha duduk dengan isyarat tangannya, beberapa saat kemudian ia menyodorkan sebuah apel pada wanita muda itu. Dan tepat seperti dugaannya, Alesha menggeleng. Dengan senyum lebarnya Linda sekarang menyodorkan plum hitam yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggungnya. Alesha mengambilnya dan mengucapkan terima kasih dengan senyum lemah. Apa Linda bilang, kurang mirip apa Alesha dengan ponakan kesayangannya. “Te, apa aku boleh sering-sering main kesini?” Linda mengerutkan kedua alisnya mendengar pertanyaan bodoh Alesha. Main kesini? Siapa orang yang melarangmu main ke rumahmu sendiri? Dan lagi, Linda merasa Alesha memang sudah seharusnya berada di rumah ini. Keberadaan wanita muda ini membuat kakaknya banyak bicara hari ini. Kakaknya bahkan menangis, hal yang selama dua minggu belakangan ditahannya mati-matian. Entah kenapa, Linda merasa kakaknya bisa meluapkan kesedihannya berkat kedatangan Alesha hari ini. Namun begitu Linda tetap memberikan angukan untuk jawaban pertanyaan Alesha. Dengan gerakan tangannya Linda menyuruh Alesha memakan buah kesukaannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD