Rhea 7

1499 Words
Rhea melambaikan tangannya pada Om Zaki yang harus pamit. Dia yang baru saja mendapatkan kesenangan baru dengan ponsel canggihnya Om Zaki tiba-tiba merasa gelisah karena pria tersebut sudah harus pulang. Jika Om Zaki pulang maka Rhea akan berdua saja dong, ya, dengan Om Drian. Om yang sudah punya anak dan mengakui dirinya sebagai suami Rhea. Siapa pun pasti merasakan ketakutan seperti yang saat ini Rhea rasakan jika harus terjebak dengan situasi ini. Mana pagi masih lama. Rhea yang biasanya jarang berpikir kini tiba-tiba begitu penasaran kenapa Malam harus dibuat sama panjangnya dengan siang. Perasaan Rhea semakin tidak karuan begitu melihat wajah Om Drian satu meter dari wajahnya. Pria itu menutup pintu apartemen membuat Rhea tidak bisa melihat punggung Om Zaki yang mulai menjauh dan sekarang pemandangan tersebut digantikan dengan Om Drian yang bersandar di balik pintu dengan memangku kedua tangannya. “Aku ga punya nomor polisi lagi,” keluh remaja itu membatin. Ia tidak bisa menghubungi pihak berwajib kalau-kalau terjadi sesuatu yang Om Drian inginkan. Bener dong, sesuatu yang mungkin terjadi itu pasti menjadi sesuatu yang disukai oleh Om Drian dan sebaliknya bagi Rhea. “Kenapa ada wajah kecewa yang biasanya ditemui pada remaja karena pacar kesayangannya harus pulang di wajahmu, Rhe?” “Ha?” tanya Rhea tidak mengerti. Ia juga belum punya pacar seumur hidupnya. Jadi kenapa pula ada wajah seperti itu di wajahnya. Drian menggeleng pelan. Pria itu tidak ingin membahas hal ini lebih lama. Drian mungkin bisa menemani Rhea lebih lama tapi tidak hari ini. Ini adalah hari pertama dimana Pria itu mengurusi Ale hampir seharian. Selama ini selalu Rhea yang melakukannya untuk mereka dan tidak sekalipun istrinya pernah mengeluh tentang betapa merepotkannya mengurus bayi. Bahkan dengan bobot badannya yang hanya beberapa kilo saja, lengan Drian tetap kebas karena menggendong Ale berjam-jam. “Ale mana, Om?” tanya Rhea saat menyadari sekarang hanya ada dirinya dan Om Drian saja. “Sudah tidur,” jawab Drian. Dan bukannya Rhea tidak tau kalau bayi cantiknya Om Drian sudah tidur. Dengan membahas Ale, setidaknya Rhea ingin Om Drian ingat bahwa pria itu sudah punya anak yang sangat ia sayangi dan tidak berbuat asusila pada Rhea. “Om, mau ngapain?” Kini giliran Drian yang mengangkat sebelas alisnya melihat istrinya yang dalam mode perawan terlihat seperti seseorang yang dalam sekejap mata akan berubah menjadi korban pelecehann seksuall. Sedangkan Rhea, kedua manik matanya bergerak-gerak gelisah. Akhirnya gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya cepat setelah mengadakan rapat kilat dengan otaknya yang pas-pasan. “Tidur. Kamu mau nonton tivi dulu?” tanya Drian sambil menegakkan punggungnya. Anggukan Rhea semakin menjadi-jadi yang mana membuat Drian menjadi begitu kesal. Rhea mungkin tidak tau ini tapi Drian mengamati semua ekspresi yang muncul di wajahnya dan bukan hal yang sulit untuk mengerti semua hal tersebut. Pria beranak satu tersebut menghela napas berat kemudian masuk ke dalam kamar untuk kemudian keluar lagi dengan bantal dan selimut. “Makasih, Om” ucap Rhea riang. Dia menghadang Om Drian dengan wajah terlalu bahagia. Rhea tentu tidak akan mau tidur bersama Om Drian meskipun pria itu mengaku bahwa dirinya adalah suami Rhea di masa depan. Yang tentu saja membuat pria itu mendengus dan memperingatinya untuk menyingkir. “Ale mau dibawa kemana?” tanya Rhea melihat kali ini Om Drian membawa putrinya setelah keluar dari kamar untuk yang kedua kalinya. Drian sengaja menulikan telinganya kemudian memastikan putrinya tidur dengan nyaman di atas sofa. Setelahnya ia kembali ke dalam kamar untuk mengeluarkan ranjang bayinya Ale. Sekarang Ale sudah kembali tidur di ranjangnya dan Drian juga sudah membaringkan dirinya di sofa ketika kemudian matanya bertumbukan dengan Rhea yang tampak tidak mengerti dengan semua yang Drian lakukan. “Kamu boleh gunakan kamarnya,” ucap Drian yang sudah terlalu lelah. “Om ga akan pindah?” tanya Rhea sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bertanya. “Kalau kamu segitu takutnya sama aku, kenapa ga kunci sekalian kamarnya? Dan sampai kapan kamu mau panggil aku begitu Rhea?” Rhea mengerucutkan bibirnya. Bagaimana Om Drian ingin dipanggil? Dengan namanya? Atau dengan kata ‘sayang’? Setuju atau tidak setuju, umur mereka memang terpaut cukup jauh sehingga Rhea paling nyamannya memanggil pria itu dengan kata sapaan ‘Om’, kok. Kembali mendengus melihat Rhea sibuk dengan pikirannya sendiri, Drian akhirnya mengusir Rhea untuk cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. “Apa lagi?” tanya Drian dengan kedua mata terpejam. “Seprainya bisa.. tolong gantiin, Om?” tanya Rhea yang wajahnya setengah meter di atas wajahnya Om Drian. Remaja itu sempat melupakan tujuannya kembali keluar dari kamar melihat betapa lentiknya bulu mata Om Drian. “Masih baru itu.” “Tapi, Om-” “-Siapa yang nanti bakal nyuci seprainya? Aku?! Dan ini ganti seprai doang, Rhe.. bukan gantiin popoknya Ale!” “Kalo makanan bisa dipesan lewat ponsel, kain kotor juga bisa diantar ke tukang laundry kok, Om.” “Rhea, ini sudah malam,” ucap Drian penuh peringatan. Rhea mengangguk cepat. “Iya, Om. Makanya cepat gantiin seprainya biar aku bisa kunci kamarnya dari dalam.” Drian ingat perasaan ini. Perasaan yang selalu meliputinya saat dulu Rhea selalu muncul di sekitarnya dan memaksakan keberadaan juga kehendaknya pada Drian. Mungkin, meskipun hanya kemungkinan saja yang ia punya saat ini, mungkin Rhea masih miliknya. Itu yang muncul di benaknya Drian saat ini. Pria itu mengulurkan sebelah tangannya ke udara, tepatnya ke arah Rhea yang menunggunya untuk menggantikan seprai. “Salim?” tanya Rhea bingung. “Bantuin berdiri,” decak Drian kesal. Salim? Apa Rhea pikir Drian ini gurunya di sekolah yang setiap pulang sekolah harus salim? “Badan Om segede gajah gini?” tanya Rhea yang merasa bahwa barusan Om Drian melemparkan candaan paling tidak lucu padanya. Drian menurunkan lengannya dari udara sambil berujar, “Ya sud-” tapi kalimat juga gerakan tangannya berhenti begitu pria itu merasakan telapak tangan Rhea di telapak tangannya. Untuk beberapa saat Drian sempat kehilangan akalnya. Tangan Rhea yang kecil gagal membungkus tangan Drian nya yang lebih besar dan saat ini si Perawan memandangnya dengan tatapan polosnya tepat seperti beberapa tahun yang lalu. “Oh My God!” ucap Giam melihat adegan di depan matanya. Makhluk berpenampilan seperti laki-laki itu menjambak rambutnya sendiri. Dan kenapa disebut makhluk? Memangnya ada manusia yang bisa mengambang di udara tepat di depan jendela besar apartemen Adrian Russel yang menyajikan pemandangan indah kota di malam hari? Menatap tajam pada sosok perempuan di sampingnya, Giam menunjuk pemandangan di depan mereka. “Kamu bercanda, ‘kan?” tanya nya pada Sian. “Kamu bikin Adrian Russel jatuh cinta sama bocah itu? Demi Tuhan, Sian-” Sian mengangkat tangan kanannya setinggi telinga, guna melindungi telinganya dari Giam yang berteriak histeris. “Dua kali kamu nyebut Tuhan barusan, Giam. Sejak kapan kamu memeluk agama tertentu?” “Penting?” tanya Giam kesal. Tuhan itu ada, di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Giam dan Sian yang keberadaannya saja tidak diketahui oleh manusia manapun. Sebagian besar manusia percaya pada hal ini, kok. “Lihat?!” ucap Giam sambil menunjuk pemandangan di depan mereka, “Drian masih megang tangannya Rhea yang bukan Rhea-nya dia!” ucapnya frustasi. “Gimana cara kamu bertanggung jawab untuk kekacauan ini Sian?” Sian melayang lebih dekat ke dekat apartemennya Adrian Russel kemudian duduk membelakangi sepasang manusia yang harusnya tidak pernah bertemu. Sian melirik pada kendaraan berikut lampunya yang memenuhi jalan raya yang terlihat seperti ular raksasa kalau dilihat dari atas sini. “Drian ga mudah jatuh cinta.” “Kata siapa?” tanya Giam garang. Ia melayang mendekati Sian kemudian memukul kaca tersebut sambil berujar, “Kalau pria ini ga mudah jatuh cinta, dia ga akan-” “-Kamu bikin mereka kaget, Giam.” Sedangkan di dalam apartemen sana, Rhea melirik pada kaca besar yang menghadap pada pusat kota. “Anginnya kenceng banget, Om. Kacanya ga bakal pecah tiba-tiba, ‘kan, Om? Ale numpang sama aku aja ga apa-apa kok Om.” Drian mendengus, “Semua yang ada disini punya Ale asal kamu tau, Rhea,” begitu ucapnya sambil berjalan menuju kamar dan menggantikan seprai sesuai dengan yang gadis itu inginkan. Rhea mengikuti langkah Om Drian dan menempatkan dirinya di salah satu sudut kamar itu selama Papanya Ale menggantikan seprai untuknya. “Sudah.” “Iya,” ucap Rhea dengan cengiran lebarnya. “Jawabnya ‘makasih’, bukan ‘iya’, Rhea.” “Makasih Om,” ucapnya dan setelah Om Drian keluar dari kamar, gadis itu memastikan untuk mengunci pintu. Sedang di sofa depan tivi dimana Drian baru saja membaringkan punggungnya, pria itu mengeluarkan tawa geli yang bercampur dengan dengusan saat mendengar suara dari dalam kamar. Rhea perawan sedang memindahkan meja rias tepat di depan pintu untuk menghalangi Drian yang tidak punya rencana untuk masuk ke dalam kamar. “Pertahanan diri Rhea ga terlalu buruk,” gumam Giam. Sian mengangguk. “Kita belum nemuin Rhea satunya lagi.” “Carinya nanti setelah kita mastiin Rhea bocah aman dari Om-Om levelan Adrian Rus-Sian!” pekiknya pada Sian yang sudah melayang menjauh. “Pertahanan diri Rhea ga terlalu buruk, gitu ‘kan kamu nyebutnya tadi?” tanya Sian tanpa berbalik pada Giam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD