Belenggu 15

1515 Words
Ponsel Lizzie berbunyi, tak ingin tidur istrinya terganggu lantas Negan segera beranjak dari meja kerjanya menghampiri ponsel di atas meja nakas. Mengambil benda itu dan melihat nama mommy tertulis di layar. Negan memperhatikan Lizzie begitu nyenyak di atas ranjang hingga kemudian ia putuskan mengangkatnya. “Halo, Ma?” sapa Negan. Detik kemudian pria itu mengernyit bingung lantaran panggilan terputus. Negan mencoba menghubungi ulang tetapi pemilik nomor tidak mengangkatnya. Negan mengembalikan ponsel ke tempat semula lalu kembali ke meja kerjanya. Di tempat lain Daryl tampak sangat kesal, panggilan telepon yang baru saja ia lakukan diangkat oleh Negan. Kemana perginya Lizzie? Daryl menggeram frustasi melemparkan ponselnya di atas ranjang. Pria itu mengurut rambutnya kebelakang dengan kelima jarinya dan sengaja menekan kuat, mengurangi rasa pusingnya. Daryl duduk di bibir ranjang, mengembuskan nafas panjang. Entah sampai kapan hidupnya begini. “Daryl,” Daryl menoleh ke arah pintu masuk. Enid memanggilnya. Gadis itu selalu mengganggunya, entah apa yang dibutuhkan Enid. "Daryl apa kau masih hidup?" Daryl geram mendengar pertanyaan itu, memangnya siapa yang mau mati? Andai saja gadis itu tidak di butuhkan, tentu Enid sudah dijadikan sosis dan di panggang di atas bara panas dan disuguhkan untuk anjing liar di hutan sana. Tunggu saja nanti, dia akan melakukan itu setelah gadis sialan itu berhasil melahirkan anaknya bersama Lizzie. "Daryl ...!" Daryl membukakan pintu, “Apa?" gertak Daryl tepat di wajah Enid. "Kenapa kau berteriak?" Enid menghapus air liur pria itu di wajahnya. "Apa yang kau inginkan?" "Aku pikir kau akan bunuh diri karena frustasi," "Apa?" Daryl menggepalkan kedua tangannya. "Banyak orang bunuh diri karena cinta," "Pergi!" Daryl menutup pintu kamarnya dengan bantingan keras. "Daryl, sebenarnya aku ingin minta tolong ..." gumam Enid mengetuk pelan pintu kamar Daryil. "aku merasa pusing,"tambah Enid dengan lirih. Daryl berdecak kesal kembali membuka pintu kamarnya. Ada senyum di bibir gadis itu. “Kau bilang apa?” Tanya Daryl. Enid penuh drama menyentuh keningnya "kepalaku sepertinya pusing," ujarnya. Daryl meletakkan telapak tangan di kening Enid. "kau yakin?" "Aku bilang pusing bukan demam untuk apa kau memeriksa dahiku, kau dokter bukan?" gerutu Enid. Daryl menahan emosinya. Dia menjadi sangat bodoh bila berhadapan dengan gadis kecil ini. "Kembali ke kamarmu dan istirahat," “Aku bosan diam seperti orang bodoh di kamarku itu yang membuat aku pusing." "Lalu kau ingin apa?" "Bagaimana kalau kau menemaniku berjalan-jalan di halaman belakang? Kau bilang tempat itu bagus untukku menghilangkan rasa bosan.” ujar Enid ."aku yakin pusingku akan cepat hilang." lanjutnya tak lupa memberikan senyum-senyum cari perhatian. Tetapi itu tidak membuat Daryl tersentuh. Mata pria itu menyipit, “apa? Hei!” Daryl kesal, menekan kuat dagu Enid. “Kau tidak boleh kemana-mana selain istirahat di kamarmu. Jangan membuatku kesal.” ucap Daryl menatap tajam Enid kemudian melepas tangannya sedikit kasar dari dagu Enid. "Aku bosan Daryl," lirih Enid. “Kembali ke kamarmu!” perintah Daryl. “Kenapa membentakku? Kau bisa menolak tanpa harus menyakiti perasaanku,” “Kenapa aku harus peduli dengan perasaanmu?” “Tentu saja kau harus peduli, pikiran bagaimana jika aku stress?” Daryl mendengus, “kembali ke kamarmu.” ucapnya datar. “Baiklah, biarkan aku pergi menggerakkan kakiku. Kau tidak perlu menemaniku. Kau bisa mengurung dirimu disana dan menjadi gila karena Lizzie.” "Diam!" "Kasihan makin tua makin bodoh." "Enid!" Enid tersentak dengan suara keras Daryl. Ia langsung meninggalkan Daryl dengan kemarahannya. Tetapi Daryl mengejar langkah Enid. Ia tidak akan membiarkan Enid pergi tanpa pengawasannya. “Baru kali ini aku menemukan gadis keras kepala sepertimu,” ujar Daryl menemani langkah Enid menuruni anak tangga pelan-pelan menuju lantai bawah. “Kepalaku memang keras Daryl,” Enid mengetuk kepalanya sendiri sambil terkekeh. Daryl tersenyum miring candaan Enid sama sekali tidak membuatnya tertawa. “Kau tidak bisa menghubungi Lizzie?” tanya Enid. “Jangan bicarakan dia,” Enid mengulum senyum, “kenapa? Kau bosan mendengar nama itu?” tanya Enid. “Aku tidak tertarik membicarakannya,” “Mungkin saja dia sedang bersantai dengan suaminya, bermanja di pangkuan suaminya atau sedang menikma---,” “Bicara sekali lagi aku jahit mulutmu,” sahut Daryl menyela ucapan Enid. “Aku tidak takut sama sekali dengan ancamanmu,” “Sepertinya kau memang ingin diperlakukan kasar ya?” Enid berhenti melangkah di anak tangga terakhir, menepuk perutnya pelan. “menyakitiku sama saja kehilangan ini,” ucap Enid. “Kau menggunakan itu senjatamu? Aku sama sekali tidak peduli. Gagal kita bisa mengulanginya lagi,” ujar Daryl. “Jangan membuatku kesal.” tegas Daryl lanjut melangkah. Enid mencibirkan bibirnya. Mengikuti langkah Daryl menuju halaman belakang. Setibanya di halaman belakang, Enid menghampiri saung dan duduk lesehan, meluruskan kakinya untuk istirahat menatap danau buatan tak jauh dari tempat itu. "Disana ada buaya,"tunjuk Daryl pada kolam. "jangan membuatku kesal kalau tidak ingin terlempar jadi santapan buayaku," "Kau selalu menggertakku sayangnya aku tidak takut sama sekali." balas Enid menetap danau yang tenang. Daryl menarik nafas panjang.“Ada yang kau inginkan?” tanya Daryl. “Kenapa wajahmu jelek?” “Apa?” Daryl tidak habis pikir dengan pertanyaan Enid. Selalu membuatnya geram. “Dari tadi kau selalu menunjukkan wajah jelekmu,” “Astaga. Aku tidak tahan lagi dengan gadis ini.” Daryl meninggalkan Enid. "Daryl kau mau kemana?" seru Enid. “Dia sangat pemarah,”gumam Enid memperhatikan punggung Daryl menjauh darinya. Enid membaringkan tubuhnya di lantai saung. Meletakkan kedua tangan di atas perutnya. Taran tertawa kecil, menertawakan hidupnya. “Jadi aku akan hamil?” Ia bermonolog pada diri sendiri. Tak habis pikir dengan kehidupannya. Dunia tidak pernah berpihak padanya. Bahkan sejak ia terlahir ke dunia ini. Menyedihkan. Enid mengusap perut datarnya itu, “aku tetap ibu untukmu, berkembanglah disana. Kehidupanmu tidak akan sesulit kehidupanku. Begitu kau terlahir ke dunia ini. au akan menjadi keturunan sultan. Sayangnya, kau harus kecewa, ibumu bukan orang setia.” ujar Enid mengusap-usap perutnya. Satu jam ia menghabiskan waktu sendirian disana, rasa bosan mulai meliputinya. Enid bangun lalu membawa langkahnya masuk ke dalam rumah. Enid mampir ruang makan. Membuka kulkas dan mengambil s**u kotak dari sana. Ia menuangkan ke dalam gelas, lalu menyesapnya hingga tandas. “Ehem …,” pelayan di rumah itu berdehem mengejutkan Enid. “Kau menginginkan sesuatu?” tanya pelayan itu dengan wajah datar. . “Dia sama seperti tuannya. Sama-sama menyebalkan.” benak Enid dalam hati. Lalu menipiskan bibirnya. “Aku merasa haus dan melihat ada s**u di dalam pendingin makanan. Jadi aku meminumnya,” ujar Enid. “Silakan Nona naik dan beristirahat, saya akan mengantarkan makan siang untuk anda.” ujar pelayan. “Baiklah,” Enid meninggalkan pelayan, menaiki anak tangga satu persatu menuju kamarnya. Ia tersenyum kecil berhenti di depan kamar Daryl. Muncul sebuah ide untuk menjahili pria itu. Enid mengetuk pintu. “Daryl.” panggilnya. Menunggu pemilik kamar membukakan pintu untuknya. Satu, dua, tiga menit tidak ada jawaban. Enid mengetuk lagi dan kali ini ia memberanikan diri menekan gagang pintu dan mendorongnya masuk ke dalam. “Daryl?” panggil Enid mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencari Daryl disana. Ia mengedikkan kedua bahunya ketika ia tidak menemukan siapapun di tempat itu. Enid memutar tubuhnya hendak keluar kamar, tetapi ia mendengar suara pintu terbuka, pintu kamar mandi. Enid langsung memutar tubuhnya melihat sumber suara. Arrrhhh …. Enid berteriak terkejut melihat Daryl bertelanjang d**a dan hanya mengenakan selembar handuk menutupi bagian bahwa tubuhnya. “Dasar kau mesum.” teriak gadis itu, mengintip dari celah-celah jari yang menutupi wajahnya. Daryl mengernyit bingung,” untuk apa kau kemari?” tanya Daryl melangkah mendekati Enid. “Berhenti disana, jangan mendekat.” “Kau sangat lancang,” “Bukankah kamu bilang aku bebas mengelilingi rumah ini?”Tangan Enid masih melekat menutup wajahnya. “Tapi tidak dengan kamarku.”gertak Daryl meraih kedua bahu Enid, meremasnya. Bukannya kesakitan Enid justru menelan saliva melihat perut kotak-kotak mili Daryl. Daryl menyadari tatapan Enid terhadap perutnya. Pria itu menyunggingkan senyum kecil. “Apa ini perut asli?” “Hah? Kau pikir ini palsu?” Daryl menurunkan tangan Enid yang menutup wajah lalu menyentuhkan jari gadis itu pada perutnya yang masih basah. “Bagaimana kau membentuknya?” tanya Enid mengagumi. “Bola matamu nyaris melompat keluar, sebentar lagi air liurmu juga akan tumpah. Dan kau tahu? Disini kau lah yang mesum.” ujar Daryl mendorong dahi Enid dengan jarinya agar menjauh darinya. “Jangan menatap pria dengan tatapan lapar seperti itu, kau beruntung aku tidak tertarik denganmu.” tekan Daryl mengetuk-ngetukkan jarinya di kepala gadis itu. “Keluar.” ucapnya kemudian. “Biar aku menyentuhnya sekali lagi.” Enid dengan kurang ajar meraba perut datar Daryl dengan tiba-tiba dan berhasil menciptakan remang pada seluruh tubuh Daryl. Daryl segera memutar tubuh Enid lalu mendorongnya keluar dari kamarnya, menutup pintu kamarnya dengan bantingan yang keras. Enid tertawa tanpa suara, kedua matanya membentuk bulan sabit. Gadis itu seolah-olah baru saja mendapatkan hadiah yang besar menyentuh perut datar pria. Ia kembali ke kamarnya sementara Daryl masih membeku di depan pintu. Matanya tertuju pada bagian tubuhnya yang disentuh Enid. “Sialan.”geramnya, entah apa yang ada di tangan Enid hingga berhasil membuatnya tegang. Melangkahkan kakinya menuju ruang ganti, menyambar kemeja dari gantungannya, mengenakannya dan tak lupa ia mengenakan celanaya. Daryl menatap dirinya di depan kaca besar, merapikan rambutnya dia harus rapi dan untuk menemui Lizzie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD