Belenggu 16

1609 Words
Daryl berpapasan dengan pelayan yang sedang membawakan makanan di atas baki. “Tuan,” sapa pelayan sedikit membungkukkan tubuhnya. “Untuk gadis itu?” tanya Daryl memperhatikan makanan di tangan pelayan. “Benar Tuan,” Daryl melihat acar wortel di antara lauk yang akan di makan Enid. “Jangan sampai dia memakan makanan mentah,” ujar Daryl. “Baik tuan akan saya singkirkan nanti,” “Pastikan dia makan dengan baik.” “Baik tuan,” Daryl melanjutkan langkahnya begitupun dengan pelayan. Pelayan mengetuk pintu kamar Enid hingga tiga kali. “Masuk,” sahut Enid. Pelayan menekan gagang pintu lalu mendorong pintu masuk ke dalam. “Makan siang untukku?” tanya Enid bangun dari rebahannya. “Iya nona,” “Letakkan saja di sana,” Enid menunjuk meja dalam ruangan itu. “Anda harus segera makan,” seperti biasa, pelayan itu selalu menunjukkan wajah datar dan suaranya selalu bernada perintah jika sudah berhadapan Enid. Wanita paruh baya ini lebih menakutkan dari Daryl. “Aku akan memakannya nanti,” balas Enid memainkan ujung-ujung rambutnya. “Tuan meminta anda segera makan dan menghabiskan makanan ini kecuali acar ini.” ujar pelayan menunjukkan makan siangnya. Enid membuang nafas panjang , "Baiklah aku tidak akan memakannya," ujar Enid. "Silakan makan Nona," "Kau tidak mendengarku? Aku akan makan nanti," seru Enid mulai kesal. "Anda harus secepatnya," desak pelayan. Enid membuang nafas nya kasar, turun dari tempat tidurnya mengambil baki dari tangan pelayan. “Aku akan memakan nya nanti,” tegas Enid membawa makanan itu menuju sofa dan meletakkan di atas meja. Enid duduk memalingkan wajahnya dari pandangan pelayan. “Nona,” “Aku belum lapar,” sahut Enid ketus. “Anda kenapa begitu menjengkelkan? Aku sudah bilang akan memakan nya nanti. Anda tidak perlu khawatirkan isi perutku. Aku akan makan jika mulut dan perutku meminta makan." Lanjut Enid marah. “Baiklah," ujar pelayan dan tetap berdiri di tempatnya. Enid mengernyit melihat pelayan itu. Seharusnya dia pergi bukan malah mengawasi dari sana. “Anda akan tetap disana, berdiri menatapku dengan pandangan menjengkelkan begitu?” tanya Enid. “Tuan memintaku mengawasi anda sampai makanan itu habis.” “Oh astaga!" Enid tampak makin jengkel, ia memutar bola matanya jengah melihat pelayan Daryl yang begitu keras kepala. " Kenapa bukan dia saja yang kau awasi. Kau tidak tahu? Tuanmu dalam keadaan gila? Dia perlu bantuan anda.” ujar Enid kesal. “Tuan Daryl sedang keluar rumah artinya tuan baik-baik saja.” “Menyebalkan” sahut Enid menimpali. Gadis itu duduk di lantai dekat meja lalu memotong kasar daging dengan sendok pisau daging nya lalu menusuknya dengan sendok garpu kemudian menyuapkan ke mulutnya. Mengunyah kuat sampai terdengar decak-decak dari mulutnya. Enid sengaja melakukan itu untuk mengganggu pelayan yang selalu memasang wajah kecut padanya. Dari mobilnya Daryl mencoba menelpon Lizzie . Ia kini berada di lokasi rumah Lizzie dan mengawasi rumah besar itu dari mobilnya. Panggilan itu terputus membuat Daryl kesal membanting stir mobilnya. “Sial, sial, sial.” teriak Daryl marah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, buru-buru ia mengangkat panggilan itu. Dari Lizzie. “Aku sudah bilang jangan menghubungiku, Daryl.” ucap Lizzie dengan suara kecil. “Lizzie, dari sekian banyak larangan darimu apa aku pernah melanggarnya? Kau bahkan tidak memberiku pesan Lizzie.”ucap Daryl menggeram. “Negan mengawasiku,” “Dan mengirim pesan pun kau tidak dapat? Sekarang aku berada di dekat rumahmu,” “Untuk apa?” Lizzie segera turun dari ranjang berjalan menuju jendela kamar. Lizzie sengaja meminta Negan membuatkan makanan untuknya supaya ia dapat menerima panggilan Daryl. Lizzie mengintip dari celah gorden, tak jauh dari gapura rumahnya terparkir sebuah mobil yang sangat ia kenal. “Daryl, kau cari masalah.” “Dan aku akan masuk ke dalam rumahmu jika itu yang kau inginkan,” “Ada apa denganmu Daryl? Kita akan dalam masalah,” “Temui aku atau aku yang akan menemuimu,” “Aku mohon …, jangan sekarang.” “Baiklah aku yang kesana.” Lizzie mendengus kesal. “aku mohon Daryl. Besok aku temui kamu, oke?” Daryl membuang nafas kasar. “Lizzie, kau sama sekali tidak merindukan aku?” “Lebih dari rindu Daryl. Sungguh. Aku ingin berada disampingnya saat ini. Tapi kau tahu situasinya sekarang. Negan mengurungku di kamar ini dan dia mengawasiku.” ujar Lizzie menjelaskan dan mencoba menenangkan Daryl. “Kau membuatku benar-benar gila.” gumam Daryl. “Sorry,” “Kau yakin dapat menemuiku besok?” “Semoga saja, pless pergi dari sana.” mohon Lizzie sembari mengawasi dua arah. Daryl dan pintu kamar, ia takut Negan tiba-tiba datang. Daryl membisu. “Daryl …, kau tidak mendengarku? Kau tidak tahu aku juga tersiksa dengan semua ini. Aku harus berpura-pura untuk segalanya dan aku muak.” “Kau yang menginginkan ini terjadi Lizzie.” Lizzie menahan nafasnya rasanya ingin berteriak pada pria itu tetapi, ia menahannya. “Iya kau benar. Aku mohon Daryl pergi dari sana. Aku akan menemuimu secepatnya,” ujar Lizzie dengan suara memelas. Daryl memutus telepon tanpa mengatakan apapun. Melemparkan ponselnya begitu saja pada jok disampingnya. Kakinya menginjak pedal gas dengan kencang melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat itu. *** Enid memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Matanya menatap nanar dan tubuhnya merasa mudah lelah dan itu sudah terjadi dalam beberapa hari ini. Enid berjalan menuju kamar Daryl mengetuk pintu kamar pria itu. “Daryl,” panggilannya dengan suara lemah. Tak lama Daryl membukakan pintu, melihat Enid pucat. “Ada apa?” tanya Daryl. “Kepalaku sangat sakit,” Daryl membawa Enid masuk ke dalam kamar, membantu gadis itu duduk di bibir ranjang. “Sakitnya bisa dijelaskan seperti apa?” “Nyeri dan aku juga merasa lemah Daryl.” “Kau coba berbaring,” Daryl membantu Enid berbaring di ranjangnya. “aku segera kembali,” katanya. Pria itu berlalu dari tempat itu. Enid mencoba memejamkan matanya untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya. Lima menit setelah Daryl pergi akhirnya pria itu kembali membawakan alat medis nya. Daryl menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung Enid dan organ lainnya. “Coba buka mulutnya,” ujar Daryl. Enid membuka mulut dan Daryl memeriksanya. “Daryl,” “Iya,” “Seharusnya kamu periksa kepalaku bukan mulutku, aku tidak mengeluh sakit gigi atau mulut,” ujar Enid. Daryl menggeleng lemah dalam keadaan sakit saja gadis ini benar-benar membuatnya jengkel. Daryl menekan intercom yang terhubung ke ruangan pelayan. “bawakan air minum ke kamarku.” perintah Daryl. “Sudah berapa lama kau sakit kepala?” tanya Daryl duduk di bibir ranjang seraya menyiapkan obat untuk sakit kepala Enid. “Dua atau tiga hari,” “Kenapa baru sekarang bilang?” “Aku terbiasa menahan sakit dan tanpa obat Daryl. Di panti kami dipaksa untuk tetap sehat dan kuat,” gumam Enid, mungkin karena rasa pusing yang menderanya, air mata Enid menitik dari sudut matanya. Ketukan pintu terdengar dari luar, pelayan membawakan segelas air mineral dan meletakkan di atas nakas. “Ada lagi yang tuan inginkan?” tanya pelayan. “Tidak, pergilah.” “Baik tuan,” “Dia selalu cemberut setiap kali melihatku,” ujar Enid setelah pelayan pergi. “kau tahu aku sampai bermimpi buruk mengenainya. Dia mendatangiku dan mencekik leherku. Entah kau temukan dimana pelayan seperti dia.” sambungnya dengan pandangan tidak suka. “Jangan bicara buruk tentangnya, aku sudah bersamanya puluhan tahun,” Daryl membantu Enid duduk. “Kenapa tidak menikah dengannya saja,” ujar Enid. “Jika wanita di dunia ini hanya ada kau dan dia, tentu aku memilihnya.” Mendengar itu Enid tiba-tiba tersedak oleh air minumnya hingga batuk. Tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Daryl. Bagaimana bisa dia mengabaikannya dan memilih pelayan yang memiliki wajah flat dengan tatapan tajam bak pembunuh. “Menyebalkan,” gumam Enid lemah lalu menelan obat yang diberikan Daryl. “Seleramu sangat payah,” sambung Enid. “Kau ingin aku memilihmu?” tanya Daryl. “Aku lebih baik bunuh diri jika hanya kamu pria di dunia ini,” ketus Enid. Daryl tergelak. “Kau sangat rugi mengabaikan aku,” balas Daryl. “Tidurlah,” Daryl beranjak dari bibir ranjang. Ia memilih duduk di sofa sembari menyibukkan diri dengan ponselnya. "Sombong," gumam Enid, kembali berbaring dan mencoba tidur. Tidak lama kemudian ia bangun dan merasa mual. Enid bergegas turun dari tempat tidur namun, karena kepalanya pusing dan berputar ia terjatuh di lantai mengejutkan Daryl dari tempat duduknya. Daryl segera membantu gadis itu, mengangkat tubuh Enid dan membaringkan di atas ranjang. "Pusing dan aku ingin mual," bisik Enid, "bawa aku ke kamar mandi," ucapnya. Daryl kembali mengangkat tubuh Enid menuju kamar mandi, ia menurunkan gadis itu di dekat kloset dan membuka tutup closet. Perut Enid bergejolak, seolah semua isi perutnya naik ke atas dan ia berusaha memuntahkannya. Tetapi tak sedikit pun keluar. "D-daryl aku ini kenapa?" tanya Enid. Daryl mengambilkan tisu dari dispensernya, memberikannya pada Enid. "aku akan mengambil darahmu untuk diperiksa," ujar Daryl. "Rasanya ingin mati Daryl," lirihnya lemah, ia mendongak melihat pria yang berdiri di belakangnya. "Bangunlah," Daryl membantu Enid berdir membawanya kembali ke kamar. Setelah Enid berbaring ia meminta pelayan membawakan air minum lewat intercom kamarnya. Daryl duduk di bibir ranjang, menghapus keringat di kening gadis itu, "aku hanya makan makanan yang dibuatkan pelayan," gumam Enid. "Ya aku tahu," "Lalu kenapa aku sakit," "Kau pikir itu karena makanannya?" Enid menghirup udara untuk melegakan dadanya, merasa menyesal dengan apa yang baru saja ia lontarkan. Sebenci apapun pelayan itu terhadapnya dia tidak akan berani meracuni Enid. "Bukan begitu, sorry, aku tidak bermaksud menuduhnya." gumam Enid. "Aku akan mengambil darahmu," Daryl mengambil kotak medisnya dari atas meja rias. Mengeluarkan jarum suntik dari dalam kotak itu. Daryl mengambil lengan Enid dan bersiap menyuntiknya. Tetapi, Daryl mengurungkannya, menghitung waktu dari sejak Enid menerima embrio dalam rahimnya. "Kenapa?" tanya Enid bingung. "Kita lakukan tes urin,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD