Belenggu 13

1047 Words
Negan mencium kening Lizzie sebelum memasuki ruang operasi memberikan semangat pada Lizzie yang akan menjalani prosedur penanaman benih ke dalam rahimnya. “Aku takut,” gumam Lizzie memasang raut takut. “Kau tidak boleh takut, ini sudah menjadi pilihan kita. Lagipula dokter yang menangani dokter berpengalaman.” ujar Negan menggenggam erat tangan Lizzie. Sejujurnya Negan juga sama cemasnya melepas Lizzie sendirian di ruang operasi. Lizzie mengangguk, “doakan biar semua berjalan lancar,” pintanya menyentuh lembut rahang Negan. “Pasti Lizzie, aku membawamu dalam doaku,” bisik Negan, kembali mengecup kening Lizzie. Dokter menghampiri mereka di ruangan itu. “Bagaimana sudah siap?” tanya dokter melihat Lizzie. Lizzie sudah mengenakan jubah pasien. “Sudah dokter,” balas Lizzie. “Baiklah, kita ke ruangan operasi ya?” ujar dokter, “Bawa pasien masuk ke ruang operasi.” perintah dokter pada dua perawat yang bertugas di ruangan itu. “Baik dokter,” Lizzie berbaring di bangsal dan didorong menuju ruang operasi. Negan mengikutinya dari belakang. “Silakan tunggu di ruang tunggu sir,” kata perawat pada Negan, menghentikan pria itu supaya tidak ikut masuk ke ruang operasi. “Kami akan melakukan yang terbaik,” tambahnya menyakinkan Negan. Negan mengangguk berjalan menuju ruang tunggu. Memperhatikan tulisan berjalan dalam layar di depan ruang operasi. Sepuluh menit istrinya akan menjalani penanaman embrio seperti yang mereka inginkan. Negan duduk di salah satu bangku. Menunggu sembari merapalkan doa-doa dalam hatinya supaya semuanya dilancarkan Tuhan. Seperti itu yang Negan ketahui tetapi yang terjadi di ruang operasi, Lizzie dan dokter yang serta perawat lainnya hanya menghabiskan waktu berdiam diri disana. Mengobrol kecil sembari menunggu waktu berjalan habis. Setelah berjam-jam di ruang operasi akhirnya Lizzie keluar dengan keadaan pucat. Lizzie memang sudah terbiasa dapat mengubah rona wajahnya untuk mengelabui suaminya. “Bagaimana?” tanya Negan menghampiri Lizzie di ruang pemulihan. “Semoga berhasil,” gumam Lizzie. “Pasti berhasil,” Negan mencium kening Lizzie. “aku benar-benar mencemaskanmu dari tadi tapi, begitu melihatmu keluar rasanya sangat lega,” kata Negan menciumi punggung tangan Lizzie. “Mama tidak datang?” tanya Lizzie mencari keberadaan ibu mertuanya. “Tadi mama telpon, katanya dia sakit kepala. Jadi tidak bisa datang. Tapi mama bilang dia mendoakan yang terbaik untukmu,” ujar Negan. Lizzie mengangguk, ada senyum tipis muncul di bibirnya. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Lizzie membuatkan teh untuk ibu mertuanya dan menaruh sedikit obat untuk membuat ibu mertuanya lelah dan mengalami sakit kepala. Lizzie tak ingin ibu mertuanya yang rewel itu datang, ia bisa kena masalah nantinya. “Tidak apa-apa, biarkan mama istirahat. Lagipula ada kamu disini,” ujar Lizzie. “Kau benar, kau ingin sesuatu?” tanya Negan. Lizzie tampak memikirkannya, “aku tiba-tiba menginginkan jus, boleh kau belikan di kantin lantai bawah?” tanya Lizzie. “Baiklah akan aku belikan, kau bisa aku tinggal? tanya Negan dan Lizzie mengangguk. Lizzie tersenyum melihat Negan menghilang dari pandangannya. Ia berhasil membodohi pria itu dengan begitu mudah tanpa adanya rasa curiga terhadapnya. Di tempat lain Enid berbaring di bangsal ruang praktek Daryl. Gadis itu mengenakan jubah operasi sementara Daryl berada di bawah kakinya bersama satu pria berkulit putih dengan mata sipit membantu Daryl melakukan pekerjaanya. Daryl memasukkan spekulum ke dalam V Enid agar dinding V tetap terbuka, lalu Daryl memasang kateter melalui mulut rahim dan masuk ke rahim lalu menyuntikkan embrio langsung mencapai rahim. Jantung Enid berdebar kuat serta bulir air matanya terjatuh. “Selesai,” ucap Daryl pada rekannya setelah berhasil mendorong embrio masuk ke dalam rahim Enid lewat kateter. “Oke,” “Terima kasih sudah membantuku,” “Sama-sama, semoga berhasil.” ujar rekan kerjanya melepas sarung tangan serta masker yang menutup mulutnya, ia kemdian mengarahkan layar untuk menunjukkan proses jalannya embrio di raham Enid. "Semoga berhasil," ujar rekan kerja Daryl. “Aku harap juga begitu, silakan tunggu di ruang kerjaku, aku akan segera datang,” ujar Daryl. “Baiklah,” Rekan kerjanya meninggalkan ruang praktek itu menggunakan lift naik ke lantai atas. Daryl menurunkan kaki Enid yang terbuka lebar dan meluruskannya. “Tidak sakit kan?” tanya Daryl. “Jadi aku akan hamil?” Enid balik bertanya, ia masih merasakan nyeri terhadap bagian intimnya. “Iya dan semoga berkembang disana,” Daryl melepas sarung tangan dan maskernya membuangnya ke tong sampah. Daryl memperhatikan Enid yang tampak pucat. “Untuk beberapa saat kau harus istirahat. Aku akan berjaga di kamarmu.” ujar Daryl. “Aku tidak akan kemana-mana, kau tidak perlu menjagaku begitu.” “Bukan masalah itu, kau memang harus dalam pengawasanku selama dua puluh empat jam ini,” ujar Daryl. “Terserah anda,” lirih Enid. Enid memejamkan matanya saat Daryl mengangkat tubuhnya dari tempat tidur kemudian menempatkan Enid duduk di kursi roda untuk kemudian di dorong menuju lift. Setibanya di lantai atas Daryl membawa Enid menuju kamar. Memindahkan Enid dari kursi roda dan membaringkan pelan tubuh gadis itu di atas ranjang. Daryl menarik selimut untuk menyelimuti setengah tubuh Enid. "Kua bisa istirahat," ujar Daryl memperhatikan wajah pucat Enid. “Bagaimana kalau tidak berhasil?” tanya Enid lirih. “Kita akan mengulangnya kembali,” Enid menghela nafas panjang, “ apa wanitamu tidak datang kemari?” tanya Enid penasaran. “Dia sedang sibuk,” “Seharunya dia melihat bagaimana kau mendorong alat sialamu itu masuk ke dalam tubuhku," ujar Enid memilin jarinya di dalam selimut. “Hari ini Lizzie juga menjalani proses seperti apa yang kau alami saat ini," Kening Enid berkerut, "dia juga menjalani proses seperti ini?" tanya Enid. "Umm," "Lalu kenapa aku harus menjalani ini juga kalau wanitamu sendiri bisa?" Daryl berdecak, "Untuk mengelabui keluarganya dia harus menjalani prosedur ini," kata Daryl. "Jangan terlalu banyak gerak, kau bisa menekan tombol ini kalau kau menginginkan sesuatu," ujar Daryl meletakkan sebuah remot di dekat Enid. "Kau mau kemana?" tanya Enid menarik lengan kemeja Daryl saat pria itu hendak berbalik. "Aku harus menemui dokter yang membantuku tadi," kata Daryl memperhatikan tangan Enid di lengannya. "Bolehkah kau kembali secepatnya? Aku merasa gugup dan tidak tenang," lirih Enid. Daryl mengernyitkan keningnya, menempatkan telapak tangannya di kening Enid. Suhu tubuh gadis itu normal. "Kau merasa tidak enak badan?" "Tidak, hanya saja jantungku berdebar kuat sampai aku merasa tubuhku lemah," lirih Enid menyampaikan apa yang dirasakannya saat ini, tanpa ia sadari bulir air mata dari sudut matanya terjatuh. Daryl memahaminya, "baiklah, aku segera kembali." ujar Daryl lalu pria itu berbalik meninggalkan Enid.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD