Bab 12: Kesempatan Kedua 1

1469 Words
# Helena meraih tasnya dan melangkah keluar dari kamar. "Kau yakin kalau kali ini kau sendiri yang akan menjemput Zio?" tanya Nyonya Ratri. Helena mengangguk. Sudah dua hari ini selalu ibunya yang menjemput dan mengantar Zio ke TK tempat Zio bersekolah dan Helena sebenarnya tidak terlalu keberatan dengan itu. Bagaimanapun, ibunya terlihat senang melakukannya. Masalahnya, hari ini Zio sudah menempel padanya dari sejak bocah itu bangun di pagi hari meskipun kenyataannya Helena sangat enggan beranjak dari tempat tidur karena dia sendiri tidak begitu suka bangun pagi. Zio memberinya kecupan di pipi, memaksa Nyonya Ratri agar dia yang membawakan mamanya teh di pagi hari, hingga bersikeras tidak mau berangkat sekolah sampai mamanya bangun. Helena benar-benar kesulitan untuk bisa membuka matanya di pagi hari tapi cara Zio membujuknya sungguh manis dan sulit untuk bisa ditolak hingga dia akhirnya menyerah dan mengiyakan permintaan Zio agar dirinya yang menjemput Zio saat pulang sekolah nanti. "Kalian akan makan siang di rumah atau makan diluar?" tanya Nyonya Ratri. Helena menggeleng. "Kurasa aku akan membawa Zio makan di luar," ucap Helena. Tanpa sengaja dia menemukan tempat makan menarik saat iseng menjelajah internet semalam dan kebetulan dia akan menjemput Zio sekarang, jadi menurutnya tidak ada salahnya untuk mencoba tempat makan yang baru. Nyonya Ratri meneliti penampilan putrinya untuk sesaat kemudian menggeleng pelan. Dia sudah lama sekali tidak melihat Helena mengenakan pakaian seperti ini semenjak Helena lulus dari bangku kuliah. Bukan apa-apa, dengan pinggang yang terlalu ramping, wajah dengan riasan tipis, kaos hitam oversize, sepatu kets dan celana jeans ketat, Helena sama sekali tidak terlihat seperti seorang ibu yang akan menjemput anaknya di sekolah. Putrinya tersebut lebih terlihat seperti seorang mahasiswi cantik yang kebetulan singgah di sekolah adik atau keponakannya. "Ini pakaianmu waktu kau masih kuliah. Apa tidak sebaiknya memakai pakaian yang lebih bagus sedikit?" ujar Nyonya Ratri. Yang dia maksud adalah pakaian yang lebih elegan atau setidaknya yang mencerminkan kalau putrinya itu adalah istri seseorang. Helena berbalik menghadap kaca dan tidak menemukan apa pun yang salah dengan penampilannya. "Masih pas kok. Ini juga lebih nyaman dipakai," ujar Helena. Dia sama sekali tidak mengerti maksud tersirat dari ucapan ibunya. Nyonya Ratri menarik napas pelan. Wajahnya tampak khawatir. "Pokoknya kau harus ingat kalau dirimu itu sudah punya anak dan suami. Kalau ada pria lain yang ingin berkenalan denganmu, tegaskan kalau kau sudah menikah dan punya anak. Jangan banyak tersenyum, apalagi melakukan kontak mata. Kalau perlu, jangan ladeni kalau ada pria yang mengajakmu bicara," pesan Nyonya Ratri. Dimasa lalu Nyonya Ratri sering merasa kesal karena suaminya tidak mengizinkannya sering-sering berada di luar dan membuatnya sibuk dengan mengurus Helena kecil di rumah dengan alasan karena suaminya tidak ingin ada pria lain yang mendekatinya. Kini setelah dirinya menjadi seorang nenek dan Helena kecilnya telah menikah dengan menantu idaman seperti Axel, dirinya baru mengerti betapa berbahayanya kecantikan seorang wanita bagi kehidupan rumah tangga. Ada begitu banyak godaan di luar sana dan lebih banyak lagi jerat yang bisa menjerumuskan wanita, terlebih kalau wajahnya secantik putrinya ini. Helena tertawa mendengar peringatan ibunya. Baginya itu terlalu berlebihan. "Baiklah Mama. Jangan khawatir. Aku pergi dulu ya," ucap Helena. Dia mengecup pipi ibunya sebelum akhirnya melangkah ke mobil dan masuk ke dalamnya. Nyonya Ratri hanya bisa menarik napas pelan. Sudah sejak lama dia mengkhawatirkan kalau Helena akan terlibat dengan pergaulan atau skandal dengan seorang pria muda karena dia selalu bepergian sendiri dan tidak memiliki hubungan yang begitu baik dengan Axel. Tapi selama empat tahun anaknya menyandang status sebagai Nyonya Gandasurya, dia sama sekali tidak terlibat skandal apa pun dan itu membuat Nyonya Ratri merasa cukup lega. Hanya saja sekarang sedikit berbeda. Helena tidak ingat apa pun dan dia juga menjadi lebih ramah. Dengan kepribadian seperti sekarang, bukan mustahil putrinya akan menjadi orang yang mudah disukai orang lain, terutama pria-pria muda seumuran Helena di luar sana. Pak Kardi, sopir pribadi yang ditugaskan Axel mengantar jemput Zio sekaligus mengantarkan Helena ke mana pun Helena ingin pergi bahkan ikut tertawa mendengar ucapan Nyonya Ratri. "Selamat siang Nyonya." Pak Kardi memberi salam. Helena tersenyum ramah. "Siang Pak Kardi, aku akan merepotkan Bapak lagi hari ini," ucap Helena. "Siap Nyonya, sudah tugas saya," balas Pak Kardi. Bahkan Pak Kardi yang belum lama bekerja pada keluarga Gandasurya bisa membandingkan betapa berbedanya sikap Helena dulu dan sekarang. Meski dia cuma beberapa kali bertemu Helena, namun dari sikap Helena yang sinis ditambah dengan cerita yang beredar di antara para pengasuh dan pembantu kalau Helena akan dengan mudah memecat setiap pembantu yang tidak dia sukai, membuat Pak Kardi selalu ketakutan dan awas terhadap Nyonyanya ini. Syukurlah, dimasa lalu dia hanya ditugaskan mengantar jemput Tuan kecil Zio, sementara baik Helena dan Axel sama-sama gemar mengemudi sendiri. Mereka masing-masing memiliki garasi sendiri dengan koleksi mobil yang berbeda, terutama Helena. Namun setelah sekitar tiga hari melayani Nyonya Helena dan menjadi sopir pribadinya selain mengantar jemput Zio ke sekolah, Pak Kardi berpikir kalau sekarang Nyonya Helena memang lebih ramah dan baik dibanding dulu. Dia bahkan pernah terlambat menjemput Helena dari tempat latihan Yoga dan bukannya marah, Helena tertawa dan bercanda kepadanya saat dia hampir menangis karena ketakutan akan dipecat. Kali ini Helena tampak sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya sampai tidak menyadari kalau mobil yang dia tumpangi sudah tiba di depan TK tempat Zio bersekolah. "Nyonya, kita sudah sampai," ujar Pak Kardi memberitahu. Helena mengangkat wajahnya dan menyimpan ponselnya ke tas yang dibawanya. "Tapi Nyonya, tampaknya Tuan kecil belum pulang. Akan lebih baik kalau Nyonya menunggu di mobil saja," tawar Pak Kardi. Helena mengalihkan tatapannya ke arah pintu gerbang sekolah Zio yang masih tertutup rapat. Memang sekolah ini tidak memperbolehkan orang tua untuk menunggu di dalam areal sekolah, namun para orang tua dan pengasuh biasanya akan menunggu di depan pintu gerbang sekolah sambil bercakap-cakap satu sama lain. "Berapa lama lagi biasanya Zio baru akan keluar?" tanya Helena. Pak Kardi melihat jam tangannya. "Kurang dari 10 menit lagi Nyonya," ucap Pak Kardi. "Tidak apa-apa kalau begitu. Aku akan menunggu di depan gerbang sampai Zio keluar," ucap Helena. Helena akhirnya melangkah turun dari mobil. Dia berdiri di depan pintu sekolah Zio, berbaur dengan beberapa orang tua dan pengasuh yang tengah menunggu anak mereka pulang di pintu gerbang dekat dengan pos satpam. "Mau jemput adek atau ponakannya Neng?" Tanya salah seorang satpam sekolah itu. Baru saja Helena akan menjawab, seorang ibu-ibu gendut telah lebih dulu menimpali. "Halahh pak Satpam ini melihat yang bening-bening saja langsung genit. Kita-kita yang tiap hari bertemu di sini saja tidak pernah tuh ditanya mau jemput siapa." "Lah, kalau ibu-ibu dan mba-mba ini kan sudah jelas mau jemput anaknya atau anak majikannya atau bahkan cucunya, buat apa saya tanya-tanya. Nah, kalau si Neng ini baru kali ini saya lihat, jadi perlu saya pastikan mau jemput siapa kan? Siapa tahu, mau jemput saya," ucap sang Satpam sambil tertawa yang disambut dengan nada protes kerumunan ibu-ibu itu. Dia sedikit bercanda karena memang baru kali ini melihat Helena. "Tapi tumben lho Dek, ada yang semuda Adek masih mau menjemput keponakan atau adiknya. Anak majikan saya yang tertua sudah 20 tahun, mana mau dia disuruh jemput adik bungsunya disekolah seperti Adek ini." Salah seorang wanita yang tampaknya berprofesi sebagai pengasuh ikut berbicara pada Helena. Helena hanya membalasnya dengan senyuman ramah. Sejujurnya dia sedikit malas menjelaskan siapa dirinya dan kenyataan kalau sebenarnya dia sedang menunggu anaknya pulang, bukan keponakan atau bahkan adik. "Omong-omong, Mba ini umurnya berapa?" tanya seorang wanita yang lain. Helena baru akan membalas lagi saat seorang ibu-ibu yang lainnya malah lebih dulu menimpali. "Kelihatannya sih baru 19 atau 20 tahun deh. Masih kuliah?" tanyanya. Helena hanya bisa kembali tersenyum dengan sedikit canggung. Tampaknya usia akan menjadi bahan gosip yang cukup panas untuk sekarang kalau dia menanggapi, jadi dia diam, karena prioritasnya adalah Zio. Di saat yang sama bel tanda pulang sekolah berbunyi dan anak-anak tampak berlarian menuju pintu gerbang yang mulai terbuka. "Mamaaaaaaa!" Dibanding anak-anak yang lainnya, suara Zio adalah yang paling kuat dan kencang. Hal itu membuat perhatian sebagian besar orang tertuju kepadanya. Wajah Zio terlihat sangat senang dan dia langsung berlari secepatnya ke arah Helena yang berdiri menyambutnya. "Mama benar menjemputku ternyata. Aku senang sekali!" ujarnya antusias. Zio memeluk Helena erat. "Tentu saja, Mama kan sudah berjanji." Helena mengacak rambut Zio lembut. Helena berbalik ke arah para ibu yang masih tercengang menatapnya dan juga satpam sekolah yang kini memandangnya pucat pasi. "Saya datang untuk menjemput anak saya, bukan adik atau keponakan, dan juga usia saya sudah 25 tahun," ucap Helena sambil tersenyum ramah. "Maafkan saya Nyonya. Saya tidak tahu kalau Neng ... eh, maksud saya Ibu adalah Nyonya Gandasurya. Anu, saya kira mau jemput adiknya aduh.” Satpam tersebut tergagap di depan Helena. Tidak ada yang tidak tahu siapa Axel Gandasurya, tapi tidak ada yang tahu kalau Nyonya Gandasurya sendiri masih terlihat semuda ini. Kenyataannya, tidak ada yang akan menyangka kalau wanita muda yang penampilannya bahkan masih cocok mengenakan seragam SMA itu adalah ibu dari seorang anak sebesar Zio.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD