Calvin berjalan malas keluar kamarnya di rumah nenek dan kakeknya, sudah dua hari dia berada disana dan belum menemukan celah untuk pergi ke klub malam, sebab Nina neneknya selalu mengawasinya.
"Sial sekali," keluhnya apalagi setelah datang dia belum bisa menyalurkan hasrat lelakinya.
"Pagi, Sayang." Nina tengah menyiapkan makanan di meja makan.
"Pagi Grandma." Calvin mengecup dahi neneknya.
"Sudah siap?" Calvin mengerutkan keningnya.
Nina menghela nafasnya "Mulai hari ini kau akan membantu grandpa mu di kantor." Calvin semakin mengeryit.
"Aku tidak tahu."
"Dan karena kau sudah tahu, pergi bersiap, dan ikut Grandpa ke kantor."
Calvin mendesah malas, tapi begitu ingat dia bisa keluar rumah senyum seringai terbit di bibirnya.
"Okay, Grandma." Calvin kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian, baiklah dia akan ke kantor dan mencari celah untuk bersenang- senang.
Calvin yang berwajah bule, dengan tampilan menawan sontak menjadi pusat perhatian, di perkenalkan sebagai karyawan baru membuat Calvin dengan cepat terkenal diantara karyawan lain.
Tentu saja untuk mendidik Calvin yang manja, pria itu harus belajar dari titik nol, dia bahkan tak boleh menunjukan jika dia mengenal direkturnya apalagi mengakui sebagai kakeknya.
Tapi wajah tampan Calvin tentu saja mempermudah segalanya, dia banyak mendapat bantuan dari karyawan senior terlebih karyawan perempuan.
Jadi disaat orang lain bekerja, Calvin justru sedang duduk santai di pantry dengan secangkir kopi di depannya, dan tangan sibuk memegang ponsel.
"Mas Calvin, mau gorengan." seorang Ob datang dengan kantung kresek di tangannya.
Calvin memang tinggal di Amerika, tapi karena Mommynya Anna adalah orang Indonesia, Calvin beserta kedua saudaranya di tuntut agar mengerti dan bisa bicara bahasa Indonesia, terlebih seluruh keluarganya yang sering berlibur ke Indonesia, jadi Calvin bisa memahami apa yang Ob itu katakan.
"Boleh." Calvin menatap Ob bername tag Arman "Kamu membelinya?"
"Ya, iya mas, masa nyuri."
"Tidak, kalau begitu aku akan bayar."
"Gak usah mas, kita saling berbagi aja." Arman menyimpan piring berisi beberapa gorengan di depan Calvin.
"Oh, kalau begitu aku juga bagi uangku untuk mu," Calvin menyimpan uang sebesar seratus ribu di meja.
Arman terdiam dia cuma beli gorengan 10 ribu, tapi bule di depannya malah memberi 100 ribu.
Arman menggaruk tengkuknya "Saya gak ada kembalian mas."
"Kembalian?" tanya Calvin bingung, dia sudah memberi kenapa di kembalikan.
"Ya, itu gorengannya yang di piring cuma lima ribu, dan saya lima ribu."
Calvin mengangguk "Tidak apa, ambil saja semuanya."
Arman tersenyum cerah "Beneran nih mas?" tanya Arman antusias.
Calvin mengangguk dan mulai memakan gorengannya.
"Makasih mas, makasih." tentu saja Arman senang, "Nanti kalau mas butuh sesuatu mas panggil saya aja mas, saya siap sedia."
Calvin menyeringai "Boleh."
***
Calvin menggandeng seorang wanita memasuki sebuah hotel bintang lima, mereka baru saja bertemu di sebuah klub malam, dan Calvin tak menyiakan kesempatan itu untuk mencari mangsa.
Begitu pintu tertutup Calvin langsung menyerang wanita itu dengan ciuman yang brutal dan penuh gairah, hingga terdengar erangan dari mulut wanita tersebut.
Mendengar desahan dari sang wanita membuat Calvin kalap dan langsung melempar sang wanita ke ranjang dan di mulailah kegiatan panas diantara mereka.
Calvin si don juan sudah tak diragukan lagi kemampuannya hingga dalam hitungan menit saja wanita yang dibawa sudah terkapar penuh kepuasan, dan kini gantian dirinya yang akan di puaskan.
****
Calvin keluar dari kamar hotel dengan suasana hati yang cukup senang, meski dia tak terlalu puas dengan pelayanan wanita tadi, tapi setidaknya dia sudah menyalurkan sperm nya setelah beberapa hari tak dia lepaskan.
Calvin memasuki lift yang hanya di isi dengan seorang wanita, dengan santai Calvin masuk dan berdiri di sudut lift. dengan melipat kedua tangannya di d**a dan punggung yang bersandar ke dinding lift Calvin melihat wanita di depannya, tampilannya cukup mewah, mungkin dia dari kalangan atas tubuhnya proposional dengan wajah Indonesia yang kental, menandakan dia adalah orang Indonesia asli.
Calvin berdehem hingga si wanita menoleh dan memperhatikannya, tiba- tiba mata si wanita berbinar melihat pria bule yang tampan.
"Hai, dari negara mana kau berasal?" tanya si wanita dengan bahasa inggris yang fasih.
"Amerika." Calvin tersenyum penuh godaan hingga si wanita pun mendekat dan mengulurkan tangannya.
"Aku Rena." Calvin menyambut uluran tangannya dan mengecup punggung tangan wanita tersebut.
"Calvin." Senyum Calvin semakin mengembang, sepertinya dia belum akan keluar dari hotel tersebut.
Calvin masih menggenggam tangan wanita cantik tersebut dan membelainya dengan gerakan menggoda "Kau cantik, Rena," bisiknya tepat di telinga si wanita, hingga membuatnya meremang.
Aroma tubuh Calvin membuatnya terlena hingga tanpa sadar dia semakin mendekat dan mendekat.
Calvin yang sudah merasakan tubuhnya di desak oleh si wanita pun tersenyum menyeringai.
"Mau menemaniku?" ucapan si wanita semakin membuat Calvin berani, dan tangannya kini sudah berada tepat di pinggangnya dan memberikan usapan di sepanjang pinggang rampingnya.
"Tentu."
****
Calvin melihat wanita yang baru saja dia temui di lift tadi, benar saja dia menunda untuk pergi dari hotel sebab kegiatan panasnya berlanjut bersama Rena.
Ah, dia lumayan puas dua wanita sudah cukup untuk hari ini, jadi dengan perasaan senang Calvin bangkit untuk pergi ke kamar mandi, namun baru saja dia berdiri, seseorang membuka pintu dengan paksa di ikuti beberapa orang di belakangnya.
Kegaduhan yang terjadi membangunkan si wanita dan jelas saja dia terkejut lalu merapatkan selimut di tubuhnya.
"Wanita jalang sialan!"
Plak..
Calvin mengangkat alisnya saat seorang pria berjas menampar teman tidurnya "Kau berkhianat, dan kau." pria itu menunjuk Calvin "Aku akan pastikan kau menerima akibatnya!"
Calvin masih diam dengan tenang dan hanya melihat ke arah Rena dan suaminya, oh ... dia meniduri wanita bersuami sepertinya, tapi itu tak masalah untuknya sebab dia tak peduli, jadi dia hanya mengedikkan bahu acuh. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu, tak lama kemudian beberapa wartawan datang dan memotretnya bersama si wanita yang berusaha menutupi wajahnya.
Sial!
****
Skandal tersebar, dan kini status Calvin yang merupakan salah satu penerus keluarga Abraham pun terendus, hingga berita semakin tersebar luas dan tiba di telinga Roland.
Roland mengerang frustasi, di depannya ada dua sahabatnya Alden, dan Ben "Harus ku apakan anak itu," erangnya. "Aku bahkan harus menutupi kabar ini dari Anna agar dia tidak bersedih."
Alden dan Ben, merasa kasihan tapi mereka juga tak bisa terlalu ikut campur jadi mereka hanya menepuk bahu Roland "Aku jadi ingat kebiasaan kita dulu," tatapan Alden menerawang jauh.
Ketiganya memang sudah bersahabat sekian lama dan mereka adalah para pria penakluk wanita, dan sudah pasti mereka adalah don juan pada masanya.
Roland mengangguk, dia mengakui itu, dia juga tak kalah b******k dengan anaknya, hanya saja dia tidak gegabah, apa- apaan anak itu bahkan meniduri istri orang, dan bukan hanya itu, si wanita rupanya adalah istri salah satu pejabat penting di Indonesia, hingga yang Calvin lakukan saat ini benar- benar fatal, pejabat itu bahkan menuntut Calvin dengan pasal perzinahan.
"Ya, kita bahkan tak bisa berhenti." Ben menimpali.
Alden mengangguk "Ya, hanya ketika kita merasakan akibat dari perbuatan kita, barulah kita menyadarinya ... dan hei Land, mungkin Calvin akan menyadarinya juga kelak. Jadi kau tenanglah."
"Benar, kita akan menunggu saat itu datang, dan menjalani prosesnya."
"Berapa lama kita menunggu, dan selama itu terjadi anak itu terus membuat istriku semakin sedih, aku bahkan mengirimnya ke Indonesia agar dia bisa memulai dari nol dan menyadari semua kesalahannya, tapi hasilnya tetap gagal."
Alden mencebik "Kau mengirimnya ke tempat dimana dia masih bisa menikmati kebebasannya, kau pikir disana tak ada klub? kalau kau mau jadi kejam, jangan tanggung- tanggung." Roland mengerutkan keningnya "Beri dia pelajaran yang keras sekaligus."
"Kau bisa membuangnya ke tempat dimana tidak ada klub malam, tak ada uang, bahkan wanita."
"Aku rasa itu hanya ada di hutan." Ben tertawa, tapi Roland menatap serius ucapan Ben.
"Baiklah aku akan membuangnya."
"Kau serius?" tanya keduanya.
"Tentu, hutan mana di Indonesia yang cocok untuk membuangnya," jawab Roland.
Ben dan Alden terdiam, ayolah mereka hanya bercanda dan tak benar- benar memberi saran.