(++)Tidak Ingin Memaksa.

1095 Words
“Jangan–hmph!” Emi tak bisa bicara lagi ketika Arron membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman panas, lelaki itu melumat bibirnya dengan lembut namun penuh intimidasi. Sentuhan Arron yang menggerayangi tubuhnya tak urung membuat gairahnya terbangun, Emi tak bisa menahan desahannya ketika Arron menyentuh area sensitifnya dari luar roknya. Arron pun menyeringai senang, dia semakin bernafsu melancarkan aksinya untuk menggagahi Emi di sini sekarang juga, selagi mobilnya melaju meluncur tenang menuju penthouse-nya. “Emily …,“ bisik Arron di telinga Emi selagi tangannya menyelinap ke balik c*****************a itu. Emi masih waras untuk menggerakkan tangannya menahan tangan Arron yang hendak melangkahi pembatas tubuhnya itu, tapi di sisi lain dia juga tak berdaya melawan birahi perawan yang kembali terusik karena sentuhan lelaki itu. “Jangan! Aku mohon!” rintih Emi menangis lirih dengan mata terpejam rapat, tak kuasa melihat Arron yang ada di atasnya. Arron terpaku melihatnya, rahangnya mengeras kemudian tanpa bicara segera menarik diri dari tubuh Emi. Lelaki itu duduk bersebrangan dengan Emi, menopang kaki dan bersandar dengan santai menatap Emi yang masih meringkuk ketakutan di kursi. “Bangun!” perintah Arron. Emi terisak lirih, dia bangun lalu duduk sambil merapikan bajunya sambil menangis. Tangannya jelas gemetar bahkan tak bisa mengancingkan blusnya dengan cepat, padahal dia merasa takut dan ingin buru-buru menutup dadanya yang terbuka karena ulah Arron tadi. Dalam hati dia heran gerakan tangan laki-laki itu yang begitu sigap membuka pakaiannya ketika sedang mencumbunya tadi. Arron melihat tangan Emi yang gemetar, serta gadis itu juga terlihat menahan tangis. Dia lalu beringsut mendekat dan mengulurkan tangannya. “Aku cuma mau bantu!” ucap Arron dengan nada lembut, tersenyum manis pada Emi yang sontak menjauh dengan wajah ketakutan. Emi pun termangu, namun dia perlahan tenang dan menundukkan wajahnya. Arron maju kembali mendekatinya, meraih kancing itu dan memasangkannya satu sama lain dengan perlahan. “Aku tidak suka memaksa orang yang memang tidak mau disentuh olehku, jadi tenang saja. Selama kamu masih belum membuka diri untukku, kamu bebas pergi, Em!” ucapnya dengan nada lembut. Emi terdiam, matanya melihat tangan Arron yang memasangkan kancing bajunya. Tangan besar yang terlihat kokoh, cukup lebar dan pas menggenggam lehernya malam itu ketika mereka tengah berciuman dengan begitu panas. “Astaghfirullah!” desahnya seraya menepis tangan Arron menjauh. Arron mengerutkan kening, sikap penolakan yang pertama kalinya dia terima dari seorang wanita. Tapi dia mengerti dan cukup paham karena dia tahu Emi merupakan ‘orang baru’ dan masih canggung melakukan pekerjaan ini. Dia tidak marah dan kembali ke kursinya dengan sikap biasa saja. Emi juga merasa heran karenanya, dia mengira jika Arron akan memaksanya dan bersikap kasar karena dia menolaknya. Lalu, bagaimana ceritanya dia dipersilahkan pergi sementara Arron sudah memberikan banyak uang untuknya, dia yang berasal dari desa dan lugu tentu merasa tidak enak dan menganggap itu semua sebagai hutang. “Sa-saya bisa bekerja untuk mengganti semua uang yang Anda berikan, Tuan. Tapi tidak untuk hal itu!” ucapnya lirih. Arron hanya tersenyum saja menanggapinya, dia mengangguk-angguk tanpa bicara sepatah katapun. Itu membuat Emi bingung jadinya, dipikirnya Arron masih marah dan tersinggung dengan sikapnya tadi. Maka sepanjang perjalanan itu mereka hanya diam membisu satu sama lain, sampai akhirnya tiba di penthouse milik Arron. Lelaki itu mempersilahkan Emi untuk turun, dia mengulurkan tangan membantu Emi turun dari mobil besarnya. “Hati-hati!” ucap Arron menyentuh puncak kepala Emi yang hampir terbentur. Emi termangu dibuatnya, sikap lembut Arron yang seperti itu tak begitu saja membuatnya tersentuh. Dari pengalamannya yang dijebak Wawan dan April, dia sudah bisa bisa belajar tentang sikap manis seseorang yang tak selamanya baik. “Pasti ada maunya!” gumam Emi selagi mengikuti langkah Arron, dia juga tentu tak bisa menolak karena lelaki itu menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk ikut. Emi celingukan ketika Arron membawanya masuk ke dalam lift, yang tampak begitu mewah dan lebih canggih dari lift yang dia lihat di mall. Kewaspadaannya pun teralihkan, apalagi begitu sadar jika lift itu berada di luar gedung, sehingga orang di dalam bisa melihat pemandangan kota dari ketinggian selagi lift membawa mereka menuju lantai yang diinginkan. Emi terkejut, kagum sekaligus ngeri melihat ke luar sana. Kakinya ngilu berada di ketinggian seperti ini, hingga tanpa sadar memegang tangan Arron erat-erat dan merapat mendekat pada lelaki itu. “Takut?” tanya Arron. Emi terkejut menyadari posisinya dengan Arron, sadar ketika mendengar suara lelaki itu yang begitu dekat di atas kepalanya. Dia mendongak, mendapati Arrron yang tersenyum geli menatapnya Sejenak Emi terpana melihat wajah tampan bak aktor Turki milik Arron yang hanya berjarak beberapa senti di atasnya, rahang tegas yang dihiasi dengan jambang halus semakin menambah pesonanya dan membuat wanita manapun bertekuk lutut di kakinya. “Emily?” Hidung mancung itu, serta bibir tebal merah muda yang sekilas siapa yang akan menyangka asap rokok akan terhembus dari celahnya. Nafas hangat itu menerpa wajahnya, Emi memejamkan mata begitu bayangan adegan erotis antara dia dan Arron di malam itu berkelebat begitu saja. “Em?” Emi terkejut dan sontak membuka mata merasakan sentuhan lembut di pipinya, tapi begitu matanya terbuka dia langsung beradu pandang dengan netra kelam nan teduh namun tajam milik Arron. “Kamu oke? Perlu saya gendong?” tanya Arron sambil menahan senyum. Kening Emi berkerut dalam, hingga detik ketika dia tiba-tiba hampir terjerembab jatuh jika saja Arron tak menahan tubuhnya. Rupanya ngeri akan ketinggian membuat kakinya lemas dan berakhir di pelukan Arron. “Aduh!” Arron melingkarkan tangannya di tubuh Emi, tanpa banyak bicara langsung mengangkat tubuh perempuan itu dengan mudah. Emi kaget dan reflek melingkarkan tangannya di leher Arron untuk berpegangan. “Kamu takut ketinggian, ya? Oke, lain kali kita naik lift yang biasa saja, ya!” kata Arron tersenyum manis. Emi menahan nafas, otaknya mencerna ucapan Arron dengan cepat. Logikanya berjalan dengan lancar dan bisa menangkap niat Arron yang mungkin akan membuatnya datang ke sini lagi lain kali, tentunya untuk kembali melayani nafsu bejatnya seperti waktu itu. Tapi di sisi lain dia tak bisa membohongi diri jika lelaki itu memang menawan dan mempesona, berdekatan tanpa jarak dengan Arron membuat syarafnya terjaga, darahnya berdesir hangat lalu berpusat ke tubuh intinya di bawah sana. Berkedut geli dan nikmat … “Aku mau turun!” ucap Emi tiba-tiba. Arron mengangkat alis mendengarnya. “Ya, sebentar lagi kita sampai!” katanya mendongak melihat nomor lantai yang mereka lewati untuk menuju ke apartemen mewahnya di atas sana. Emi ingin memberontak namun dia masih ketakutan melihat tingginya pemandangan di luar lift, dan sialnya kakinya malah lemas karenanya. Maka ketika mereka tiba di lantai tujuan dan pintu lift terbuka, Emi kembali mengutarakan permintaannya dengan nada tegas. “Iya, sebentar. Nanti kamu jatuh!” ujar Arron heran sendiri dengan tingkah Emi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD