Ujung Pistol.

1526 Words
"Kamu bisa kan? kalau mau meeting tuh, kasih tau aku setelah ada orang yang banyak di ruangan meeting. Aku tuh enggak mau berduaan sama pak Wen Lee." keluh Klarisa pada Braga. Saat ini mereka berdua berada di ruangannya Klarisa. Braga menunduk dalam. "maaf, bu. Tapi Pak Wen Lee lah yang mengutus saya." ujarnya. Klarisa menyugar rambutnya kesal. "Aku kadang menyesal kerja di sini. Tapi aku enggak bisa menghindar gitu saja. aku butuh uang karena aku ... aku memiliki seorang ..." Klarisa menahan kalimatnya. Ia tidak boleh mengatakan itu pada Braga. "Kamu keluar saja, aku mau kerja." "Aku ada di luar, kalau ibu butuh saya." Klarisa mengangguk. Lalu ia pun duduk di kursinya dengan helaan napas dalam. Wen Lee semakin parah saja mendekatinya. Laki laki itu semakin berani memperlihatkan perasaan padanya. Tapi Klarisa harus selalu tenang, tidak menolak atau pun mengiyakan. Di sisi lain, Klarisa ini adalah seorang perempuan dengan hatinya yang lemah. Ia mungkin akan luluh kalau Wen Lee terlalu manis memperlakukan dirinya. "Bu! mau ke pabrik sekarang?" ujar Braga dari luar. "Iya. ayo kita berangkat sekarang." Klarisa segera mengganti heelnya dengan sepatu ket. Agak repot memang, karena ketika di kantor dia lebih suka heel, sedangkan di pabrik harus memakai sepatu. Takutnya kaya waktu itu, ujung heelnya nyangkut di tumpukan tali sepatu. "Mau saya bantu?" Braga berjongkok di depan Klarisa. "Enggak usah, Braga. Kamu baik sekali." Klarisa terkekeh. "Saya harus selalu melayani ibu, karena pak Wen Lee sudah membayar saya dengan mahal." ujar Braga. "Oya." tangan lentik itu, selesai menalikan sepatunya. "Ah, aku lupa kalau sepatu yang ibu pakai ini adalah sepatu limitid edition yang dikeluarkan dari Glolal, ya bu." Klarisa mengangguk, seraya berjalan mendahului Braga. "Kamu masih ingat?" "Iya, bu. Waktu itu Pak Wen pergi ke bagian finishing dan mengambilnya satu pasang. Aku pikir, itu mau ia berikan pada adiknya. Eh, ternyata buat ibu." Braga berjalan di samping Klarisa. "Aku juga kaget, mengingat harganya yang tidak murah." sahut Klarisa lagi. "Mmm kalau enggak salah, itu dibuat hanya lima pasang saja." "Iya. Kamu sudah seperti rekorder perekam aja." "Hahaha! aku tahu apapun yang ada di pabrik ini, bu." "Wait!" Klarisa menahan langkahnya dan menatap Braga. "Apa semua manager tahu tentang ini?" duh, ini pasti akan sangat memalukan sekali. "Saya rasa mereka memang tahu." "Lalu aku harus bagaimana?" "Aduh, ibu. Ya ibu jangan mikir yang enggak enggak. Biarin saja mereka tahu." "Maksudnya kedetakan aku sama wen lee." "Iya. Aku rasa, semua manager dan kepala bagian sudah tahu itu. Memang kalian sudah sedekat itu kan?" "mmm ... kami enggak se dekat itu ok." Klarisa terlihat frustrasi. Dan Braga malah terkekeh. "Ibu ini lucu sekali. saya pikir, kalau kalian dekat bahkan jadian, kalian memang serasi ko." "No! aku enggak mikirin itu." Klarisa berjalan lebih jauh lagi. Ia terus berpikir bagaimana caranya agar ia tidak terlalu dekat dengan Wen Lee. Laki laki itu terlalu tinggi untuknya. Dan menurutnya, mungkin akan berbahaya juga untuk Reksa. "Oh, iya. rumah itu juga, bukankah pemberian Pak Wen Lee?" Klarisa kembali menahan langkah dan menatap Braga. "Kamu penguntit ya?" kesal Klarisa, yang malah ditanggapi Braga dengan sebuah kekehan. "Ibu ... ibu. Itu sudah menjadi rahasia umumkan. Sejak enam tahun yang lalu, Pak Wen Lee memberikan rumah itu pada ibu." "Itu mungkin hanya pinjaman saja. Aku juga mungkin akan pindah dari sana kalau sudah cukup uang." "Jangan lah, bu. Ibu tetap di sana, karena itu sudah menjadi milik ibu kan?" Klarisa terdiam. Andai ia memiliki uang lebih, mungkin ia akan segera pindah dan mencari rumah baru. Tapi masalahnya, untuk membayar pengasuh Reksa, membayar sekolah dan les Reksa, itu memang tidak murah. Belum lagi, semua kebutuhan rumah tangga yang sekarang semakin tidak murah saja. Rumah itu sebenarnya sudah menjadi PR yang dipikirkan Klarisa selama ini. Hanya saja, PR itu ternyata tidak selesai juga. "Kamu tau enggak ada kontrakan yang murah di sekitar pabrik?" tanya Klarisa. "Bu ... kalau pun ada. Saya enggak boleh merekomendasikan itu pada ibu." "kenapa?" Klarisa protes. "karena saya ini utusannya pak Wen Lee. Saya akan terus berusaha agar membuat ibu dan Pak wen, semakin dekat. Ibu tahu kan kalau pak Wen sudah membayar saya dengan dengan tidak murah?" "Sialan sekali kamu ini!" Klarisa mendengus kesal. Braga terkekeh. "Hidup ibu akan aman dan nyaman bersama Pak wen. Beliau memiliki segalanya." "Tapi aku enggak mau memiliki hubungan lebih selain bos dan bawahannya." "Jangan seperti itu, kita tidak akan tahu takdir kita seperti apa nantinya." "Ah, ayo kita ke pabrik. Kenapa aku malah ngobrol sama kamu?" Klarisa kesal, dan kembali mendahului Braga. *** "Anda ingin aku memasang pelacak di ponselnya bu Klari?" tanya Sinta tidak percaya. Gadis itu saat ini sedang berada di reuangannya, dan berbicara dengan Ethan lewat panggilan. Ruangan Sinta aman, karena ia sudah meletakan alat yang bisa mendeteksi elektronik penyadap lainnya. Tentu saja, itu karena Ethan yang menyuruhnya. "Iya." jawab Ethan dari sana. "Oh, apakah aku boleh tahu kenapa?" tanya Sinta lagi. "Kamu jangan berpura pura bodoh. Kamu tahu kenapa saya memintanya." "saya masih belum menelusuri mbak Klari sama anda. Tapi mulai saat ini, saya akan menelusurinya." "Kamu dekat denga klari sebagai manager sesama bagian produksi. Seharunya kamu akan sangat mudah melakukannya kan?" "Sangat mudah! pak. Tapi apakah ini akan aman? apakah wen lee tidak akan mencurigai ini?" "itu tugas kamu, buat wen lee tidak sampai menemukan apapun!" Lalu Ethan pun segera menutup panggilannya. Sinta menghela napas dalam. "Baik, pak!" ujarnya seraya beranjak. Di pabrik, Ethan melihat Klarisa dari kejauhan. Perempuan itu memasuki sewing dengan di dampingi oleh Braga. Decakan kesal Ethan saat Braga seperti sengaja membuat perempuannya sibuk, mengobrol dengannya. Ethan sepertinya harus membuat Braga jauh dari Klarinya dan ia bisa mendekati perempuan itu. "Iya, pak." Sinta kembali mengangkat panggilannya. "Si Braga harus banget ya deket sama klari?" "Hahaha, dia memang asisten pribadinya. Pak wen yang meminta. Hati hati, pak. Braga serupa dengan Yuta. Dia sangat terlatih." "Kamu enggak ada rencana buat deketin dia? dia tampan loh!" "Hahaha! Bapak bisa saja. Enggak usah nyuruh saya buat deketin braga pak. Saya akan ajak anak itu pergi ke assemblyng. Bapak bisa deketin Klari, sekarang. Itu yang bapak mau?" "Kamu memang hebat. Saya akan tranfer uang banyak untuk kamu." Sinta tidak membalasnya, gadis itu segera mematikan panggilan. Lalu Ethan mulai mendekati Klarisa, ketika melihat Braga mulai pergi bersama Sinta ke assemblyng. "Hay!" sapa Ethan. Klarisa mendadak panik, menatap ke segala arah. "Kamu tahu di mana posisi yuta dan wen lee saat ini?" tanya nya cemas. "Mereka sedang sibuk. Aku memiliki waktu satu jam bersama kamu, saat ini." Ethan meraih tangannya Klarisa di bawah sana. Karena pabrik ini penuh dengan meja meja mesin, maka tangan mereka tidak keliatan. Yang terlihat adalah mereka hanya berbicara tanpa ekspresi yang lain. Yang sejujurnya, Klarisa seperti akan kehilangan napasnya, kala Ethan meremas lembut tangannya di bawah sana. "Kamu ... apa yang kamu lakukan?" Klari menarik tangannya. Namun sayang tangan Ethan sangat erat menggenggamnya sehingga Klarisa tidak bisa melepaskan tangannya. "Aku sudah katakan, aku memiliki waktu satu jam untuk berbicara sama kamu." "Jangan membuat semua orang menatap pada kita? aku sungguh takut wen lee mengetahui ini." "Kamu menyukai wen lee?" "Kalau pun iya, itu bukan urusan kamu kan?" "Itu menjadi urusanku tentu saja." "Kamu enggak ada hak ethan." "Aku akan membuatmu menjadi hak ku!" Ethan menarik perempuan itu mendekat, sehingga wajah cantik itu beradu dengan dadanya. Beruntung tiba tiba banyak orang yang berkerumun di sana, lebih tepatnya bagian mekanik yang tiba tiba berada di sana dan mengadakan meeting tidak jauh dari mereka. Membuat keduanya terhalang dan itu sebuah keberuntungan untuk Ethan. Ia menarik Klarisa lebih dekat, dan berbisik. "Aku sudah tahu hasil tes DNA nya." Sontak Klarisa menjauhkan wajahnya dari d**a laki laki itu dengan kedua matanya yang membola. "Kamu melakukan itu tanpa permisi dariku, ethan." geram Klarisa frutrasi. Ethan tersenyum lembut, dengan lengan kokohnya yang kali ini telah menglingkar hangat di tubuh langsing itu. "Siapa yang peduli Klarisa ... semua orang akan melakukan itu untuk mengambil hak miliknya." kecupan cepat ia daratkan di pipi lembut itu. Ah, Klaris lagi lagi kecolongan. Kenapa Ethan begitu lihai melakukannya dan mencuri ciuman darinya. "hentikan ini!" Klarisa ingin berteriak, tapi yang ada hanyalah suaranya yang hilang karena terkalahkan oleh mesin mesin yang mulai beroperasi. "Kamu selalu begitu kalau aku yang menyentuhmu." keluh Ethan putus asa. "Karena kamu selalu seenaknya saja." "Bahkan kamu mengijinkan Wen mencium mu!" "No! aku enggak pernah mengijinkan itu!" sanggah Klarisa keras. Ia sungguh tidak terima di tuduh seperti itu. Karena ia memang tidak pernah mengijinkan Wen menyentuhnya apalagi menciumnya. "Kamu enggak tahu apa apa. Kamu bahkan enggak tahu apa penyebab aku sampai menyerah pada Wen." Klarisa melakukannya untuk Reksa. Seorang ibu akan melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. "Jadi stop kamu judge aku kaya gitu." Klarisa berhasil melepaskan diri dan berjalan ke arah meja lain. Ethan ingin mengejarnya, namun ia melihat Yuta berjalan cepat ke arahnya. Sial! semoga laki laki itu tidak sampai melihat interaksi nya dengan Klarisa. "Pak Yuta!" sapa Ethan. Yuta menatap Ethan tegas. "Ikut saya!" Ethan mengangguk patuh. "Pak Yuta butuh bantuan saya? apakah sekarang anda mulai ingin pergi club bersama saya?" Yuta mendorong Ethan ketika mereka sampai di lift. "hentikan ocehan anda!" Yuta menodong Ethan dengan pistol yang ia keluarkan dari saku jasnya. "Siapa kamu?!" ujung pistol itu menempel di keningnya Ethan, membuat laki laki itu menegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD