"Akhihiro Yuta, berusia 39 tahun. Dia cucu pertama dari anak bungsu Benjiro Akhira Yuta, yaitu Hitotsi Arata Yuta. Keluarga Yuta yang satu satunya selamat dari serangan pengeboman hiroshima nagasaki, pada tahun 6 agustus, 1945. Sekarang Hitotsi Arata Yuta tingggal di Osaka. Hitotsi Yuta adalah anak emas dari Benjiro, dia sangat cerdas dan hebat. Dia menjadi salah satu pemilik pabrik mobil terbesar di Jepang. Namun saya belum tahu apa alasan Akhihiro pergi ke negara kita. Tapi menurut informasi yang saya dapatkan, hubungan Akhihiro dan Hitotsi memang sedang tidak baik baik saja." pungkas Sinta. Gadis itu duduk di kursi tempatnya menerangkan satu hal penting, seperti biasa. Saat ini mereka sedang berada di markasnya Black Eagle.
Ethan, Troy, Yasa, Sinta, Leo, dan Dafin. Saat ini mereka duduk di melingkar mendengarkan semua informasi yang dikatakan Sinta. Beberapa jam yang lalu, Ethan menyuruh Sinta menyelidiki tentang Yuta, dan baru saja Sinta sudah menemukan informasi tersebut.
"Ok," Ethan menyahut dengan memijat keningnya. "Kamu harus dapat informasi, apa saja yang dikuasai Akhihiro. Aku ingin informasinya besok pagi!" Ethan segera berdiri, membuat ke lima bawahannya jadi ikut berdiri.
Sinta mengangguk patuh. "Baik, pak."
"Bagaimana mobil kamu sudah di amankan?" tanya Ethan pada Dafin.
"Sudah, pak. Saya rasa, kita harus lebih berhati hati pada Yuta." ungkapnya. Mobil kesayangan Dafin jadi ringsek. Dan dia mungkin akan kehilangannya. Padahal itu mobil kenangan dari Ethan untuknya.
"Wajah kamu jelek sekali. Mobilnya nanti saya ganti! lagi pula Yuta sudah curiga dengan mobil itu. Bahaya kalau dia sampai menelusurinya. Segera musnahkan saja, mobil itu." perintah Ethan.
"Sudah saya musnahkan, Pak." ujar Dafin dengan lelah. Jujur saja, ia sangat tidak tega melihat mobil kesayangannya menjadi kumpulan sampah baja. Tapi itu memang harus dilakukan, mengingat saat ini mereka mulai memasuki siaga satu.
"Good boy!" Ethan menepuk pundaknya Dafin. Sedangkan yang lain cekikikan karena merasa geli melihat wajah Dafin yang sedih.
"Dih, kaya orang miskin aja. Kan bisa beli yang baru bro!" Troy menepuk bahunya.
"Pasalnya tuh, mobil kesayangannya Dafin. beberapa bulan yang lalu dia membawa seorang perempuan masuk ke sana. So--"
"Stop sinta!" interupsi Dafin. Sialnya perempuan itu memang selalu tahu informasi apapun yang dia mau. Akan sangat berbahaya kalau sampai Ethan tahu, kalau Dafin memiliki seorang kekasih. Black Eagle di larang keras memiliki pasangan, karena akan sangat berdampak buruk bagi semuanya.
"Oh, sorry!" Sinta mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.
Sekarang Ethan tahu apa penyebab Dafin sedih. "Saya tidak membatasi siapapun untuk memiliki pasangan. Tapi satu saran saya, kita black eagle memiliki banyak sekali musuh. Memiliki orang terdekat, hanya akan menjadikannya mangsa empuk bagi musuh musuh Black Eagle." Sama saja dengan mengatakan bahwa anggota Black Eagle memang tidak boleh memiliki pasangan.
"Iya, pak." Dafin menunduk dalam. Ethan sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Dafin. Karena ia pun sama, ia ingin memiliki Klarisa kembali. Namun misinya saat ini masih belum selesai. Ethan harus diam dan menahan segalanya. Sampai ia bisa mengendalikan keadaan.
"Oya, saya melihat kalau Wen Lee dekat dengan Klarisa meneger sewing. Apa itu artinya Klarisa bisa menjadi sasaran empuk Black Eagle?" Ah, ada satu yang belum anggota Black Eagle ketahui, bahwa Klarisa adalah satu satunya masa lalu Ethan yang sampai saat ini masih ia jaga. Dan Ethan sungguh menyesalinya, ketika perempuan itu memiliki kedekatan khusus dengan Wen Lee. Karena itu akan menjadi sorotan utama Black Eagle.
"Jangan ganggu dia!"
"kenapa?" Sinta tersenyum kecil, mulai ingin mencari infomasi tentang penolakan sang ketua. Sinta adalah ahlinya. Dan hal itu juga yang sedang ditakutkan Ethan.
"Ini perintah untuk kalian semua. Klarisa dan seluruh keluarganya enggak ada hubungannya dengan misi kita atau pun dengan Wen Lee! jangan sentuh dia, dan jangan sedikit pun kalian membuatnya panik."
"Baik, pak!" sahut semuanya. Namun Sinta menatap Ethan dengan satu alisnya yang tertarik ke atas. "Katakan saja, kalau kita harus melindunginya. Maka kita akan melakukan itu, pak!" ujar Sinta.
Ethan membeku, begitu sulit menyebunyikan apapun dari seorang Black Eagle.
Keterdiaman yang diperlihatkan Ethan, seakan menggambarkan kalau laki laki itu memang meminta sebuah persetujuan. "Saya pergi dulu!" ujar Ethan, seraya keluar dari markas.
"Bu, ayo meeting. Sudah ditunggu oleh pak Wen." ajak asistennya. Klarisa yang baru saja menempelkan bokongnya pada kursi, malah harus bangun lagi dan kembali berdiri. "Ok." lalu ia pun berjalan mendahului sang asisten.
"Ibu baik baik saja? apakah ibu kecapean gara gara kemarin ke pabrik benang?" tanya Braga, dia asistennya Klarisa.
"Aku baik baik saja, ga. Terima kasih." Klarisa sangat nyaman bersama Braga. Selain sopan, dia juga sangat perhatian.
"Baiklah kalau begitu. Saya hanya takut ibu kelelahan. Ibu tahu kan Pak Wen enggak suka kalau melihat ibu loyo." paparnya.
"Iya, terimakasih. Kamu sebaiknya di ruanganku aja." ujar Klarisa.
"Baiklah, bu." Braga kembali masuk dan menunggu perempuan itu di sana. Sebenarnya Klarisa tidak membutuhkan seorang asisten. Tapi Wen Lee bersikeras, laki laki itu takut kalau Klarisa kelelahan.
"Aku pikir, kamu enggak akan masuk." Wen Lee memeluknya beberapa detik. Klarisa senyum tipis, dan segera menarik diri, sebelum banyak peserta meeting lainnya. "Mmm saya baik baik saja."
"Saya tahu, saya hanya khawatir." Wen Lee mengusap pipinya Klarisa dengan lembut, merapikan anak rambutnya ke belakang telinga perempuan jelita itu. "Kamu sangat cantik, pagi ini." pujinya.
"Terima kasih, pak." kembali Klarisa menjauhkan wajahnya dari jangkauan Wen Lee. Menyesal, karena ia selalu saja menjadi peserta meeting yang pertama yang datang ke ruang meeting. Sehingga ia akan bertemu lebih dahulu dengan Wen Lee. Ah, ini gara gara Braga yang selalu memberitahu lebih awal. Laki laki itu sepertinya harus dikasih tahu, kalau memberitahu ada meeting itu, harus sesudah peserta meeting berada penuh saja. Sehingga Klarisa tidak perlu bertemu dengan Wen Lee lebih awal seperti ini.
"Mmm yang lain mana ya?" Klarisa pura pura membelakangi Wen Lee dan menarik kursi. Namun sayang, Wen Lee memeluk punggungnya dan meletakan dagu di ceruk lehernya. "Apa kemarin itu membuatmu takut?" tanya Wen Lee lembut dan pelan sekali. Klarisa membeku dan menahan napasnya, ketika tangan kekar itu melingkari tubuhnya. Membuat perempuan itu merapat pada tubuhnya Wen Lee. Debaran jantung Klarisa terasa lebih cepat dan lebih menegangkan. Klarisa biasa saja, menilai Wen Lee. Tapi kalau setiap hari seperti ini. Mungkinkah perasaan Klarisa akan baik baik saja?
"Mmm, iya. Pak. Aku baik baik saja." sialnya kenapa peserta meeting masih belum datang juga.
"Aku sangat cemas, klaris ...." Wen Lee mengecup lehernya.
"P-pak ..." Klarisa ingin melepaskan diri, namun kedua lengan kokoh itu melingkar sempurna. Sehingga tubuh Klarisa tetap berada menempel di tubuhnya dengan posisi perempuan itu membelakanginya.
"Saya sangat membutuhkan kamu ...." dia menciumi kepala Klarisa dalam dan berkali kali.
"Pak, kita mau meeting. Kita--"
"Berapa kali harus saya katakan. Kalau saya sangat mencintai kamu ... berapa kali harus saya katakan kalau saya sangat membutuhkan kamu. Klari ... ayo kita menikah!" Wen Lee membalikan tubuh Klarisa padanya, dan menatap wajah cantik itu lekat. Menyatukan kening mereka. Mendekat dan dekat ... dehaman seseorang membuat jarak mereka terpangkas kembali. Dan Klaris menghela napas dalam.
"Maaf, pak. apa sayang mengganggu!" Sinta hampir pergi kembali dengan wajah polosnya.
Wen Lee mendesngus pelan. "No! silahkan duduk!" Wen Lee segera duduk di kursi kebesarannya. "Yang jadi moderatornya mana?" tanya Wen Lee.
"Erlangga hadir pak!" laki laki itu masuk dan segera berjalan ke arah proyektor, dan mulai menyalakannya.
Di susul para manager yang lain, termasuk sang direktur yang lain, yaitu Ethan. Laki laki itu pun masuk, lalu duduk di samping Wen Lee. Mejanya melingkar besar lalu semua duduk mengelilingi meja besar itu.
"Saya mengumpulkan kalian semua di sini, karena saya ingin mengabarkan sesuatu yang sangat penting, tentang pabrik benang yang baru saja kita kunjungi." ujar Wen Lee.
"Kenapa?" tanya Erlangga.
"Saya tidak tahu apa penyebabnya. tapi katanya sahamnya mulai turun, karena ada rumor kalau kualitas benang di sana mulai menurun. " sesal Wen Lee.
Ethan menatap tangannya sendiri dengan sebuah senyuman.
"jadi bagaimana pak? apa kita harus meneruskan kerja sama kita?" tanya Sinta.
"Mmm aku tidak tahu. Tapi mungkin kita akan menyembunyikan kerja sama kita. Karena kualitas produk kita yang sedang dipertaruhkan."
"MM ... sangat beresiko sekali ya." sahut Ethan.
"Tentu, pak Ethan. Benang sangat penting untuk produk kita. mereka buyer pinter akan meneliti dan menelusuri pihak mana saja yang bekerja sama dengan kita. Entah itu bahan, benang, lem, dan macam macam lainnya. Dan kita harus tetap memperlihatkan pada mereka buyer atau lawan kita. Bahwa kita memang memiliki kualitas yang lebih hebat dari produk lain."
"Saya rasa, memiliki pabrik memang enggak semudah itu, ya pak." ujar Ethan lagi.
"Tentu saja."
"Lalu apakah kita akan impor lagi?" Erlangga menimbrung.
"Saya belum tahu, pasalnya saya sudah memesan dalam jumlah yang besar."
"Menurutku kalau kualitas benang bagus. Kenapa kita harus khawatir?" Sinta berkata.
"Benar sekali, kita hanya perlu menunggu kalau pabrik benang itu akan kembali memiliki nama baiknya." Rega berkata.
"saya setuju." Klarisa ikut menimbrung. Lalu ia mengalihkan tatapan ke arah lain dengan decakan tertahan, ketika menerima tatapan lembut dan manis dari Ethan. Sialnya Klarisa harus bertemun laki laki pemilik mata indah itu setiap hari, semakin membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ia sudah lelah menghadapi Wen Lee, kini malah ditambah dengan kehadiran Ethan yang semakin memberatkan.
Akhirnya meeting selesai. Ethan keluar dari ruang meeting, dengan telpon yang baru saja ia terima. "Halo!"
"Mission complete!"suara seseorang berbicara di sana. "Pabrik benang itu sudah jadi milik anda!"
Dan Ethan tersenyum, kembali menutup ponselnya.