43. Tanpa Adanya Gangguan

1095 Words
Setelah melakukan penolakan kepada Chloe, kini Ralph berlari menuju gerbang sekolah supaya bisa menghadang gadisnya yang mungkin masih berada di kelas. Ralph mengecek ponselnya karena penasaran apakah ada pesan masuk atau tidak. Ternyata tidak ada. 15 menit menunggu namun tidak ada tanda-tanda gadisnya muncul, akhirnya Ralph kembali mengeluarkan ponselnya dan menelfon nomor yang sejak tadi sudah terpampang. “Ralph!” Baru saja akan mendial, seruan dari arah belakang membuat Ralph menoleh. Terlihat gadis itu berjalan santai ke arahnya. “Ngapain lo? Kayaknya jam pulang udah lewat daritadi.” “Gue mau anter lo pulang, boleh kan? Sekalian mau minta kesempatan sama Tuan Mores,” ujar Ralph. Wajahnya terlihat merana sehingga membuat Ralin tak tega. “Yaudah.” Ralin mengangguk. Kepalanya menoleh ke belakang dan melambaikan tangan kearah Brisia yang berada di pintu mobil. Segera gadis itu duduk di jog belakang dan Ralph mulai melajukan motornya. Setelah lima belas menit perjalanan, dahi Ralin langsung berkerut heran karena arahnya beda dengan arah rumahnya. Gadis itu menepuk bahu Ralph bermaksud mengingatkan. “KENAPA?” tanya Ralph berteriak. “KOK LEWAT SINI?” Kedua orang itu saling berteriak karena kondisi jalanan cukup macet sehingga suara mereka pasti teredam. “CARI JAJAN DULU ... PASTI TUAN MORES BELUM PULANG, KAN?” Di belakang Ralin mengangguk meskipun Ralph belum tentu melihat. Tak lama motor tersebut tiba di sebuah taman yang lengkap dengan beraneka ragam makanan. Mata Ralin berbinar cerah dan tanpa berpamitan, gadis itu melenggang menuju sebuah stand bertuliskan 'Telur Gulung'. Untuk kali ini saja dia akan memakan seperti itu. Selanjutnya tidak lagi. “Pilih sesuka lo, gue yang traktir,” ucap Ralph yang baru saja tiba di sebelahnya. Sebenarnya Ralph ingin membawakan juga untuk Sela, namun takut makanan tersebut berakhir basi dan mubazir. Ralin tak menggubris ucapan Ralph sama sekali, membuat Ralph hanya bisa mendengus. Tingkah gadisnya saat ini seperti manusia yang baru keluar dari peradaban Masehi sehingga tak pernah melihat aneka ragam makanan. “Lo mau gak?” Suara Ralin membuyarkan lamunannya. “Boleh.” Ralph mengangguk dan membuka mulutnya saat Ralin menyodorkan setusuk telur gulung. “Neng, ini pesennya.” Suara dari penjual telur gulung menginterupsi. Mata Ralph membulat dengan bibir menganga saat melihat telur gulung yang diperkirakan sebanyak 30 tusuk. Ralin menyerahkan uangnya yang diterima penjual itu dengan senang hati. Apalagi sisa kembalian masih sangat banyak namun diberikan cuma-cuma untuk penjualnya. “Terima kasih Neng!” seru penjual itu senang. Sekitar 15 menit, Ralin dan Ralph selesai dengan membawa banyak sekali kantong plastik dan semua itu adalah hak milik Ralin. Gadis itu mengangkat plastik hitam dengan mata yang tak henti berbinar dan Ralph bersyukur jika gadisnya bisa kembali bahagia. *** “Nona, mau dibuatkan apa?” Seorang wanita paruh baya menghampiri Ralin yang sedang memakan cemilan. Di meja tersedia beberapa botol realfood untuk tetap menjaga bentuk badannya. “Apa aja. Lo mau apa, Ralph?” Atensi Ralin beralih pada Ralph yang sedang mengerjakan tugas. Sepertinya pemuda itu tak pernah melupakan kewajibannya sebagai penyandang beasiswa sekalipun gaji yang diberikan oleh Mores sekarang tak main-main. “Terserah yang penting kenyang,” jawab Ralph tanpa mengalihkan pandangannya. Tangannya masih sibuk mencoret kertas karena sedang menghitung dan yang dikerjakan saat ini adalah mata pelajaran favoritnya. Tentu saja Fisika. Ralph tau jika sejak tadi diperhatikan, namun saat ini ia lebih suka menatap rumus-rumusnya. Wanita paruh baya tadi segera berlalu ke dapur supaya Nona nya tidak menunggu terlalu lama. “Lo gak belajar, Class?” tanya Ralph melirik Ralin singkat. “Gak, udah pinter,” jawab Ralin dengan kedikkan bahu. Ralph mendengus saat tau sisi lain gadisnya. Terlalu percaya diri. Tapi meskipun begitu, nilai Ralin memang tak pernah dibawah rata-rata. Bahkan nilainya selalu mendekati sempurna. Tak lama wanita paruh baya tadi datang membawa trolly berisikan berbagai jenis makanan ringan dan minuman. Melihat itu, Ralin segera merebut jus apel yang bahkan masih belum diletakkan di meja. “Huuhhh segernya,” komentar Ralin setelah cairan itu melewati kerongkongannya. Wanita tadi hanya bisa menggeleng pelan. “Dinikmati segera Non, Aden,” ucap wanita itu. Ralph mengucapkan terima kasih sedangkan Ralin hanya mengangguk saja. Lumayan lama kedua orang itu saling diam karena Ralph yang fokus dengan pelajaran sedangkan Ralin fokus dengan ponselnya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. “Lo gak mandi dulu? Udah malem,” ucap Ralin saat menyadari jika pacarnya itu belum mandi sedari tadi. Ralph meletakkan pulpen dan melirik jam yang berada di sudut ruangan. Benar, sudah memasuki waktu malam hari. “Gue numpang mandi, ya?” Mendengar ucapan yang menurutnya konyol, Ralin langsung tergelak. “Mandi tinggal mandi, ngapain pake bilang izin segala.” Gadis itu mencibir tingkah Ralph. “Kan biar sopan,” geram Ralph berlalu tanpa mengingat jika dia belum membawa handuk. “Lo yakin gak bawa handuk sama pakaian?” Ralph yang baru berjalan beberapa langkah langsung berhenti saat mengingat jika memang dirinya belum membawa handuk dan pakaian. Cengiran malu terlontar dari bibirnya. “Hehe ... Gue kan gak bawa ... Berarti gak jadi mandi ya ...” “MBAK ... SIAPIN HANDUK SAMA PAKAIAN GANTI ...” Tanpa peduli ucapan Ralph, gadis itu berteriak kepada asisten rumah tangganya. “Jangan gitu, Class,” tegur Ralph karena merasa jika gadisnya itu seringkali tidak sopan. Bahu Ralin terangkat sebentar dan kembali meminum jusnya. Sementara Ralph berlalu ke kamar mandi sembari menunggu seseorang yang akan membawakan handuk serta pakaiannya. “Nona, makan malam sudah siap.” Salah satu asisten rumah tangga menghampiri Ralin dengan senyum cerahnya. Gadis itu langsung melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. “Saya mau nunggu Ralph dulu,” ujar Ralin. Ambar, wanita itu mengangguk paham dan berpamitan untuk kembali melanjutkan kegiatannya. Tak lama Ralph keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah segar. Ralin bahkan tak mengedipkan mata saat melihat betapa tampannya pemuda itu dengan kaos oblong berwarna hitam. “Terpesona, huh?” Sindiran itu membuat Ralin tersadar. “Apaan, sih? Udah ah ayo makan. Udah disiapin sama Mbak,” alih Ralin menutupi wajahnya yang merona. “Bentar.” Ralph berjalan kearah tasnya dan memasukkan pakaiannya yang kotor. Matanya menatap pintu yang tak ada tanda-tanda jika orang yang ditunggu datang. “Ayo.” Kedua orang itu menuju meja makan bersamaan dengan suara langkah kaki menginterupsi. Tap Tap Mores, Langkah kaki tadi berasal darinya. Pria paruh baya itu menatap keduanya dengan pandangan datar. Terlebih saat atensinya beralih pada Ralph, pria itu benar-benar menunjukkan tatapan seolah ingin menguliti anak muda itu. “Ada apa gerangan hingga membawamu kesini lagi setelah tadi pagi saya menolak kehadiranmu?” Baik Ralph ataupun Ralin, rasanya ingin sekali menghilang sekarang juga setelah melihat wajah Mores yang sangat tak bersahabat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD