42. Masih dengan Penolakan

1173 Words
Kedua anak manusia itu masih saling berhadapan. Posisi keduanya berada di depan kelas yang mana murid-murid pasti akan melihat mereka heran. “Gue tau kesalahan gue besar ... But, apa gue gak punya kesempatan?” Wajah Ralph begitu merana ketika mengingat ucapan Mores tadi. “Bahkan Tuan Mores bilang 'Saya akan tetap beri kamu gaji setiap bulan', apa Tuan Mores pikir, semua hanya tentang uang?” Jelasnya sembari menatap mata Ralin. Setelah itu matanya meliar dan melihat sosok yang cukup lama tidak dilihatnya. “Gue coba ngomong sama Papi, ya? Sabar aja,” jawab Ralin lesu. Dia sama seperti Ralph, tidak memiliki semangat. Ralph mengangguk seraya tersenyum tipis. “Hai, Ralin,” sapa seseorang diikuti pemuda lain di belakangnya. Atensi Ralin beralih saat mendengar suara yang sudah lama tidak ia dengar. “Oh, lo Jan. Kemana aja?” heran Ralin saat melihat kemunculan Januar dan Samuel setelah lumayan lama tak terlihat. Januar tersenyum tipis, “Aku pulang kampung.” Di belakangnya, Samuel mati-matian menahan tawa. Pulang kampung? Memang kampung dari serigala itu ada di peta? “Oh, ya udah masuk dah,” usir Ralin halus. Januar mengangguk dan menyeret kerah seragam Samuel karena dia sadar jika Beta-nya sejak tadi ingin menertawakan dirinya. Geraman rendah yang hanya bisa didengar oleh Samuel, membuat si Beta menahan nafas. “Mari kita bertarung.” Poor Samuel! *** Kali ini ruang kelas 11 IPA 4 sangat ramai, bahkan suara murid-murid yang berada di ruangan terdengar hingga luar karena tak ada guru yang mengajar. Ralph sendiri hanya mengisi jam kosong dengan membaca buku untuk pelajaran selanjutnya. Lain halnya dengan Zigo karena pemuda itu asik dengan dunianya sendiri, game. Saat fokus dengan buku, tiba-tiba saja suara Chloe memanggilnya. Mau tak mau dan dengan berat hati Ralph meletakkan bukunya dan menatap Chloe sepenuhnya. “Kenapa, Chloe?” “Boleh ajari materi Fisika yang ini nggak?” Chloe menunjukkan buku yang halamannya sudah terbuka. “Aku bingung perhitungannya. Dari tadi udah aku jumlah, tapi tetep gak ada.” Gadis itu bercerita dengan bibir mencebik. Hal tersebut membuat Ralph tanpa sadar tertawa karena baru menyadari jika temannya itu menggemaskan. Zigo yang tadinya fokus pada game langsung menoleh setelah mendengar gelak tawa sahabatnya. Namun saat tau apa yang menjadi penyebabnya, Zigo kembali fokus pada ponsel dan membiarkan sahabatnya itu pendekatan. Dia akan selalu menjadi shipper Chloe dan Ralph, bukan Ralph dan Ralin. “Lo gak fokus, ya?” ujar Ralph lalu mulai menjelaskan soal pada halaman tersebut. Tangannya juga tak henti memberikan coretan-coretan supaya nantinya bisa dipelajari Chloe. Namun saat itu juga, fokus Chloe hanya pada Ralph yang menjelaskan, bukan pada soal yang dijelaskan. “Jadi memang soal ini cuma jebakan, dari A sampai D jawabannya salah semua.” Detik itu juga Chloe akhirnya tersadar dengan apa yang dia lakukan. Mendengar Ralph menutup ucapannya, Chloe akhirnya mengangguk seolah mengerti. Dia masih mempunyai urat malu untuk tidak bertanya lagi padahal sudah dijelaskan panjang lebar. “Oh berarti jawaban aku udah bener, ya? Aku kira salah karena gak ada jawabannya hehehe ...” Gadis itu tersenyum kikuk karena malu sendiri. Ralph mengacak rambut Chloe hingga si empu mematung. Pipinya merona karena perlakuan itu membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya. “Lain kali fokus, udah bener kok masih ragu,” ucap Ralph tanpa peduli reaksi gadis tersebut. “I-iya makasih.” Buru-buru Chloe bangkit kembali ke tempatnya karena takut jika Ralph mendengar suara detak jantungnya. Sayangnya adegan tadi sudah direkam oleh Zigo dan di publikasikan pada sosial medianya. Di kelas lain, Brisia terlihat heboh setelah melihat sebuah video yang diunggah oleh akun gosip sekolahnya. Gadis itu bahkan mengerjapkan mata beberapa kali supaya bisa melihat dengan jelas. “RALIN ... RALIN ... BERITA HOTT!” Ralin menoleh sekilas sebelum kembali menenggak realfood seperti biasanya. Brisia yang geram akhirnya mengalah dan menghampiri sahabatnya. “Lihat, deh!” titah Brisia menyerahkan ponsel dengan 3 kamera ke hadapan Ralin. Layar yang masih menyala membuat Ralin bisa melihat dengan jelas apa yang ada di video tersebut. “Hah ...” Ralin menghela nafas lelah. Pasti berita ini tak lama lagi akan sampai di telinga Papinya dan dia semakin tidak diperbolehkan dekat dengan Ralph. Sampai saat ini Ralin sendiri tidak tau sifat Chloe yang sesungguhnya bagaimana. Tanpa disadari, ada satu orang di kelas yang sama tengah menatap Ralin yang sedang menonton video dengan mata memerah dan gigi bergemelatuk. “Tenang ...” Seseorang di sebelahnya menenangkan orang itu supaya tidak timbul keributan. Sedangkan Alvero sejak tadi mendengarkan perbincangan itu setelah sebelumnya mengintip apa yang sedang ditonton. Sebenarnya ia ingin sekali menghajar pemuda yang membuat sahabatnya sakit hati, namun ia sudah berjanji dengan Ralin untuk tidak ikut campur masalah percintaannya. Tiba-tiba saja seorang guru dengan topi bundar khasnya memasuki kelas. Guru itu menatap murid di kelas dengan tajam karena suara mereka semua terdengar hingga ruang guru. “Kenapa mendadak diam? Tadi aja berisik sekali,” singgung Bu Menik seraya membenarkan topinya yang merosot. Semua murid di IPA 4 langsung mengunci mulut rapat-rapat. Meladeni Bu Menik sama saja mengundang malaikat maut. “Kalau sampai suara kalian terdengar lagi, satu kelas silahkan lari keliling lapangan 20 kali.” Di tempatnya, Ralin mendengus seraya mengoleskan nail art. Gadis itu tak terlalu peduli dengan ocehan Bu Menik karena memang dia tak ramai sedari tadi. “Kayak lampir, ya,” komentar Brisia yang jengah sendiri. Bu Menik kalau sudah mengoceh, pasti tak akan sebentar. Ralin mengedik tak peduli. *** Kring ... Kring Senyum cerah terpatri dari bibir Ralph saat telinganya mendengar suara bel pulang sudah menggema dengan begitu nyaring. Buru-buru dia memasukkan segala peralatan sekolahnya yang berserakan di meja. Zigo sendiri sampai dibuat heran dengan sahabatnya itu karena wajahnya seperti baru saja mendapatkan dorprize. “Ngapain lo senyum-senyum?” celetuk Zigo terlampau penasaran. “Mau ke kelas Classica.” Mata Zigo membola karena kaget. Apa maksud ucapan sahabatnya? “Mau ngapain lagi, Ralph? Bukannya lo udah janji mau tanggung jawab—” “Cleon.” Baik Zigo maupun Ralph langsung menoleh saat mendengar suara lembut Chloe. Atensi Ralph langsung sepenuhnya menghadap gadis itu. “Kenapa, Chloe?” “Aku boleh minta tolong anterin pulang, nggak?” ucap Chloe harap-harap cemas. Ralph menggaruk kepalanya bingung. “Eum sorry, Chloe ... Kalau bareng Zigo dulu, gimana?” “Heh, kok gue?” seru Zigo tak terima. Dia sudah susah payah mendekatkan kedua orang itu, kenapa harus dijauhkan lagi? “Kamu gak bisa ya, Ralph? Gak masalah kok ... Aku naik angkutan umum aja,” ujar Chloe sungkan. Dia tidak terlalu akrab dengan Zigo. Tidak mungkin tiba-tiba meminta untuk di antarkan pulang? “Hehe ... Iya ... Gue mau ketemu bokapnya Classica soalnya,” jelas Ralph jujur. Chloe tersenyum memaklumi. Gadis itu melambaikan tangannya berpamitan dengan sepasang sahabat itu. “Lo gimana, sih? Kasihan!” sembur Zigo dongkol. “Gue ada urusan sama bokapnya, tolong ngertiin ya Zig ... Jangan benci juga, dia gak salah. Gue aja yang terlalu naif waktu itu.” Zigo berlari keluar dari kelas tanpa menjawab ucapan Ralph. Dia tak tega karena Chloe sedang tidak sehat. Terlihat dari wajahnya yang pucat. Wajar saja untuk penderita Parkinson sepertinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD