44. Meminta Kesempatan

1218 Words
Kedua anak muda itu menunduk dalam saat berhadapan dengan sosok berwibawa pemilik pertambangan batubara tersebut. Mores, pria itu menatap keduanya dengan pandangan tajam bahkan seperti ingin menguliti keduanya. “Apa tujuanmu datang lagi ke istana saya?” Dalam keadaan seperti ini, Mores masih bisa berujar dengan angkuh. Baginya, seseorang yang tidak bisa memegang pendirian sangat tidak cocok untuk putrinya. “Sa-saya ingin bertemu anda, Tuan,” gugup Ralph pada ucapannya. Mores menaikkan sebelah alisnya kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan dadaa. Menunggu para remaja di depannya itu untuk berkata-kata meskipun terlihat sekali jika ketakutan. Dalam hati Mores benar-benar mendengus karena dia bukanlah pria yang menakutkan. “Angkat kepala kalian,” titah Mores. Suaranya seperti terompet sangkakalaa bagi kedua orang itu. “Pi ...” Ralin melirih karena melihat wajah Papinya. Helaan nafas pasrah Mores lontarkan. Pria itu menatap Ralph penuh, “Ada apa? Apa kau perlu sesuatu?” Sadar jika pertanyaan itu ditujukan untuknya, Ralph segera menegakkan pandangan. “Saya ingin meminta kesempatan pada Tuan Mores, untuk bisa bersanding dengan Classica.” Mores akui jika pemuda di hadapannya tersebut memiliki keberanian yang sangat besar. Namun hal itu tak menjadi patokannya untuk mengizinkan seseorang yang pernah menyakiti putrinya, bisa bebas mendekati begitu saja. “Tidak semudah itu!” Lantang Mores. Bahkan para pekerja yang sedang melintas dibuat kaget dengan teriakannya. “Maksud Papi?” sahut Ralin yang tidak bisa menutupi rasa penasarannya. “Saya perlu melihat kegigihan kamu ketika menjaga putri saya, tanpa harus menghindarinya dengan alasan apapun, termasuk tanggung jawab,” sindir Mores di akhir kalimat. Senyum cerah tak bisa ditahan lagi oleh Ralph. Bahkan pemuda itu sampai mengait tangan Mores dan diletakkannya pada kening. “Terima kasih, Tuan ... Saya memang tidak bisa berjanji dalam hal apapun. Tetapi saya akan berusaha untuk tetap pada prinsip saya, tidak menyakiti Classica,” tutur Ralph senang. Sebagai jawaban atas penjelasan Ralph, Mores hanya menganggukkan kepalanya. *** “Tumben kesini?” Brisia menyengir saat mendengar nada sindiran dari Jeno. Pemuda yang baru saja pulang dari rumah sakit beberapa jam lalu itu sedang rebahan di King-size kesayangannya. “Malah nyengir. Ada apa? Gue harap lo gak ngasih berita hoax sama gue yang lagi masa pemulihan ini,” cetus Jeno. “Alvero.” Satu nama yang terlontar dari bibir Brisia, membuat dahi Jeno berkerut. Alvero? Ada apa dengan sahabat batunya itu? Tumben sekali menjadi objek gibah seperti ini. “Kenapa sama Alvero? Gak biasanya lo bahas dia,” heran Jeno. Rasanya dia mulai tertarik dengan pembahasan kali ini. “Brisia ragu mau cerita ...” cicit Brisia gelisah. Kecurigaan Jeno semakin mencuat setelah mendengar cicitan Brisia. Gadis di sebelahnya ini jarang sekali bertindak seperti sekarang. Jika sampai hal ini terjadi, berarti ada sesuatu. “Cerita,” tegas Jeno sok garang. Dalam hati pria itu cekikikan karena melihat wajah Brisia semakin gelisah. “Sudah beberapa waktu ini Ralin sama Alvero gak saling sapa ...” “Alasannya?” Benar bukan, jika terjadi sesuatu di antara mereka? Karena sangat tidak mungkin jika semuanya baik-baik saja. Saat masih berada di rumah sakit, Jeno selalu memperhatikan jam jenguk Ralin dan Alvero selalu berselisih. Berbeda dengan Brisia yang memang lebih sering sibuk. “Kalau menurut cerita Ralin, Alvero bikin Ralph masuk rumah sakit.” “Hah?” Jeno membeo. Penjelasan Brisia ini terlalu bertele-tele. “Ralin ... Tunggu ... Bris mau ngomong!!!” Brisia yang memang berusaha mengingat kejadian kemarin, langsung bertanya kepada sahabatnya. Inti dari perpecahan ini. “Kenapa?” sahut Ralin terlihat ogah-ogahan. Dia tadinya akan ke toilet, namun mendengar sahabatnya berteriak seketika semuanya urung. “Ceritakan alasan Ralin sama Alvero perang dingin.” “Huhhhh ...” Ralin menghela nafas panjang. “Ralph masuk rumah sakit –” “BESALUS? DIA YANG MASUK RUMAH SAKIT, KENAPA RALIN YANG BERANTEM?” Tanpa sadar, Brisia mengibarkan bendera perang karena memotong ucapan adalah hal yang sangat dibenci Ralin. “Bisa diem dulu?” “Hehehe ...” Gadis cempreng itu menyengir saat sadar akan nada bicara Ralin. “Lanjutkan atuh ...” “Intinya Alvero pukulin Ralph sampe dia masuk rumah sakit. Bukan gue mau menjauh, tapi gue gak suka ada kekerasan sekalipun mereka atau siapapun termasuk Ralph nyakitin hati gue,” jelas Ralin panjang. Sama seperti yang pernah dibahas dengan Alvero, Ralin benci dengan seseorang yang selalu menggunakan fisik ketika ada masalah. Mata Brisia membola. Dia tidak bisa menyalahkan Ralin dalam hal ini. Namun Brisia juga tidak mungkin menyalahkan Alvero karena dia tau, seberapa sayangnya Alvero dengan sahabat-sahabatnya. Hanya saja cara Alvero dalam menyelesaikan masalah sangat salah. “Kenapa diem? Mau nyalahin gue karena lebih pilih pacar? Gue gak ada pilih siapapun, tapi sebagai ceweknya tentu gue akan rawat Ralph meskipun gak maksimal. Gue bertanggung jawab sama orang tua Ralph sampai bikin anaknya masuk rumah sakit,” ujar Ralin yang mendadak curiga dengan otak Brisia. Meskipun lemot, namun Ralin percaya sahabatnya bijak dalam menyikapi sesuatu. “Enggak ...” cicit Brisia mendadak takut melihat wajah Ralin. “Cuma Brisia minta, Ralin gak terlalu lama marahan sama Alvero ...” “Sikap gue tergantung bagaimana cara kalian bijak dalam menanggapi sesuatu,” tukas Ralin. Kakinya melangkah menuju tempat tujuannya, meninggalkan Brisia yang masih terdiam membatu. Jeno langsung menyandarkan badannya pada kepala ranjang. Matanya menatap Brisia, mencoba mencari kebohongan namun hasilnya nihil. Tangannya memijit pangkal hidungnya karena merasa pusing. “Seriusan Alvero main fisik sampai tuh besalus masuk rumah sakit?” Seperti biasa, Jeno akan memanggil Ralph dengan sebutan besalus. Tak peduli jika pemuda itu kekasih sahabatnya. “Iya, Ralin gak mungkin boong karena memang dia pernah kesana. Nih kalau gak percaya.” Brisia menunjukkan foto yang dikirim Ralin saat menjaga Ralph di rumah sakit. Jeno melihat foto tersebut dan mendesah pelan, “Astaga ...” *** Ralph memegang dadanya yang berdetak kencang. Saat ini dia berada di depan istana Millano bersama dengan Mores karena kekasihnya sedang berganti pakaian. Malam ini dia mendapat tugas untuk menjaga Ralin selama di lokasi shooting. Dalam hatinya, Ralph berdoa supaya Ralin segera keluar. “Apa saya begitu menakutkan?” Mores membuka suara dengan sebuah pertanyaan. Mendapat pertanyaan seperti itu, ingin rasanya Ralph berkata bahwa dia sangat takut berhadapan dengan Mores saat ini. Namun itu hanyalah angan-angan saja karena tak mau merusak suasana. “Ti-tidak, Tuan,” jawab Ralph terbata. “Saya akan baik kepada siapapun yang bisa berbuat baik dengan anak saya. Ralin permata hati saya, jadi saya tidak segan untuk menghancurkan siapapun yang menyakitinya. Namun karena posisimu sebagai seseorang yang begitu dikasihi oleh putri saya, maka saya tidak bisa berbuat apapun,” terang Mores. Sebagai seorang Ayah tunggal, tentu hanya Ralin yang akan ia jaga mati-matian dengan nyawa sekalipun. Ralin sudah tidak memiliki Ibu, maka dari itu Mores yang akan mengisi kekosongan itu dengan segala yang ia miliki. “Gampangnya, beberapa tahun kedepan kau akan paham dengan apa yang saya ucapkan. Sebagai seorang Ayah, tentu akan memberi yang terbaik untuk anak dan keluarga,” imbuh Mores dengan tenang. Matanya menangkap sosok Ralin yang berjalan ke arah mereka. “Pi, Ralin berangkat, ya,” pamit Ralin mengamit tangan Mores. Mores memberikan tangannya dan sepasang remaja di depannya itu segera menyalami. Setelah kedua remaja itu pergi, Mores mengusap sudut matanya yang berair. Tak ada yang tau alasan Mores mendidik Ralin menjadi manusia yang sombong. Hanya dia yang mengerti dan sampai kapanpun dia tak ingin putrinya tau. Biarkan Ralin beranggapan dia jahat dan sebagainya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD