71. Pasar Malam

1111 Words
Malam ini Ralph menikmati waktunya bersama dengan Andara dan Sela setelah melewati permasalahan panjang yang ada. Kini ketiga orang itu berada di sebuah pasar malam supaya bisa quality time bersama. Sela, gadis kecil itu tak henti tersenyum kala Kakaknya membawa berbagai jenis makanan yang sepertinya sangat lezat tersebut. Andara sendiri sampai heran melihat tingkah keduanya yang bisa dibilang Siblings itu. “Jangan beli terlalu banyak, Ralph, takutnya gak habis kan akhirnya sia-sia,” tutur Andara sembari menikmati alpukat kocok. Ralph menoleh kearah Mamanya dan tersenyum. “Sela kan suka makan, Ma. Kalau gak habis, tinggal Ralph hukum aja.” Bibir Sela cemberut dengan kedua tangan yang dilipat di depan dadaa. Melihat itu, Andara dan Ralph tak bisa lagi untuk tidak tertawa. “Mau main apa habis ini?” tawar Ralph kepada Sea karena tidak mungkin jika ia menawarkan Mamanya. “Sela mau naik odong-odong!” seru gadis kecil itu penuh semangat. Ralph mengacungkan jempolnya sebagai jawaban. Atensinya kembali pada Mamanya yang terlihat begitu menikmati suasana malam ini. Ralph bersyukur karena satu masalah dalam hidupnya bisa mendapatkan penyelesaian secepat ini. “Ma, Ralph mau anter Sela ke odong-odong dulu, ya,” ucap Ralph membawa Sela ke dalam gendongannya. Andara menoleh. “Iya. Jangan lama-lama, ya, udah malem soalnya.” “Mama disini aja. Sekalian Ralph mau beli ikan buat sarapan besok pagi.” Pemuda itu membawa Adiknya ke salah satu odong-odong yang terlihat sepi. Langsung saja Ralph meletakkan Adiknya ke tempat yang kosong sembari menunggu penumpang lain. “Pak, kok ndak jalan?” tanya Sela heran. “Bentar ya, Neng, nunggu lainnya dulu,” jawab tukang odong-odong itu. Mata Ralph menemukan sebuah stand yang menjual aneka hidangan laut. Sepertinya ia akan membeli itu untuk sarapan esok hari. “Pak, saya ke jual ikan dulu. Titip Adik saya,” pesan Ralph. “Baik, Mas.” Tukang odong-odong itu mengacungkan jempolnya kepada Ralph. “Jangan lama-lama, Kak!” sahut Sela. Ralph mengangguk kemudian melangkah menuju stand hidangan laut. “Mau beli apa, Mas?” tanya penjual itu. “Gurami Jumbo 1, Cumi-cumi 1 porsi,” ucap Ralph setelah melihat betapa besarnya ikan yang ia beli saat ini. Jika beli dua pasti tidak akan habis. Apalagi saat makan ikan, Andara juga akan menumis sayur kangkung. Membayangkan itu Ralph merasakan jika perutnya berbunyi. Sembari menunggu pesanannya, mata Ralph bergantian melihat ke sekeliling antara Sela dan Mamanya yang masih dalam posisi aman. Setelah itu Ralph memusatkan perhatiannya pada ponsel yang layarnya menyala. Sebuah notifikasi postingan muncul pada ponselnya. Karena penasaran, Ralph akhirnya membuka notifikasi tersebut kemudian membelalakkan matanya kala mengetahui itu dari seseorang yang sudah beberapa bulan ini jauh darinya. Classicaraline Nama itu muncul dan terpampang gambar bunga disertai caption seolah mengode seseorang. Seulas senyum miris terbit di bibir Ralph karena dia beranggapan jika gadis itu sudah memiliki kekasih. “Mas, totalnya 75.000.” Suara penjual hidangan laut tadi menginterupsi membuat Ralph segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Pemuda itu mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan menyerahkannya ke wanita paruh baya tersebut. “Kembaliannya ambil saja, Bu.” “Wah terima kasih.” Ralph mengangguk kemudian kembali menuju tempat dimana odong-odong yang dinaiki Adiknya masih berputar. Bisa Ralph lihat gadis kecil itu tertawa bahagia meskipun hanya bermain seorang diri. Tak lama odong-odong itu berhenti dan Ralph segera menyerahkan selembar uang kepada tukang odong-odong tersebut. “Terima kasih, Mas!” “Dadah, Pak!” Sela melambaikan tangan kepada Bapak-bapak itu. Kini kedua orang itu kembali ke tempat dimana Andara menunggu. Ralph melihat jika Mamanya ternyata sedang menikmati corndog yang ia belikan tadi. Mamanya itu susah sekali kadang kalau disuruh nyemil. “Ma!” panggil Ralph. Sedangkan Sela sudah berlari menuju Mamanya dengan wajah riang. “Mama tadi odong-odongnya selu banget,” ungkap Sela bahagia. Andara meletakkan makanannya dan menjawab. “Oh, ya? Sela seneng dong berarti?” “Tentu, Mama. Nanti kalau ada pasal malem lagi, kita kesini, ya?” Andara dan Ralph tentu saja menyanggupi permintaan gadis cantik itu. Bukan perkara susah jika hanya sekedar ke pasar malam. *** Pagi ini Rab'J pergi ke sekolah bersama karena Alvero dan Brisia merasa jika Jeno membutuhkan sandaran saat ini. Sebagai sahabat yang baik, tentu saja keduanya akan menemani sahabatnya jika terjadi sesuatu. Andaikan saja Ralin dalam posisi yang bisa dijangkau, pasti mereka juga akan melakukan hal yang sama. Saat turun dari mobil, Jeno merasa jika banyak bahkan semua pasang mata melihat padanya. Pemuda itu sampai risih karena itu sangat menggangu privasinya. “Eh Jeno, bener ya lo yang hamilin Chloe?” Rasanya kepala Jeno ingin meledak saat ini juga. Tak lama Brisia dan Alvero turun dari mobil menghampiri Jeno yang sejak turun hanya bisa berdiam kaku. “Jeno kenapa?” tanya Brisia khawatir. “Eng—enggak,” jawab Jeno. Brisia yang tidak percaya langsung mengedarkan pandangannya hingga melihat banyak sekali murid-murid menatap Jeno mencemooh. Melihat itu, Brisia sangat geram sekali. “JANGAN LIHATIN SAHABAT BRISIA KAYAK GITU!” “Udah, gue gak papa,” yakin Jeno. Dia itu pria sejati, tidak mungkin menangis jika diperlakukan seperti itu. “Kalau mereka gituin Jeno, kasih pengertian ... jangan cuma dilihatin!” cerocos Brisia. Mau tak mau Jeno mengangguk karena dia sendiri bingung harus bereaksi seperti apa. “Apa bener lo yang hamilin Chloe? Bukan Ralph?” Ini lagi, suara yang sangat sekali ingin Jeno rusak karena mencemari telinganya. “Masalah sama lo?” sarkas Jeno. “Jawab aja, iya atau enggak?” desak orang itu yang tak lain adalah Zigo. Jika berita terbaru itu benar, maka memusuhi Ralph selama ini adalah sebuah kesalahan. “Ya.” Jawaban singkat itu benar-benar membuat Zigo kalang kabut. Pemuda itu segera berlalu dari hadapan Rab'J karena ingin mencari sahabatnya. *** “Dokter ...” Ander yang sedang mengganti infus langsung menoleh saat mendengar suara pelan pasiennya. “Ya, Nona, anda membutuhkan sesuatu?” tanya Dokter Ander ramah. Langkahnya mendekati Ralin yang saat ini duduk bersandar di kepala ranjang. “Papi sampai kapan di Indonesia?” Dokter Ander bergeming karena dia sendiri juga tidak tau. Seharusnya gadis itu bertanya kepada asisten pribadi Mores, bukan dirinya. “Eunghhh Nona ... Kenapa Nona tidak bertanya kepada Tuan Aksa selaku asistennya?” ujar Dokter Ander kikuk. Ralin terdiam karena merasa malu dengan pertanyaan-pertanyaan sendiri. “Maaf, Dok ... saya tidak memiliki nomor Om Aksa.” Sabar ... Ander hanya bisa mengelus dadaa saat ini. Tidak mungkin ia berteriak dan mencaci gadis di depannya itu. Bisa-bisa Mores menghabisinya saat itu juga. “Sebentar, Nona.” Ander mengotak-atik ponselnya kemudian menyerahkannya kepada Ralin. “Ini Nona. Ada nomor Tuan Mores dan Tuan Aksa. Anda bebas mau menghubungi siapapun,” ucap Dokter Ander. Ralin menerima ponsel itu dengan senyuman cerah kemudian menekan nomor yang sudah terpampang. “Halo.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD