Deretan koper sudah terpampang rapi menantikan keberangkatan Mores yang akan terbang ke Indonesia. Setelah persiapan kurang lebih satu minggu, Mores dan tim akhirnya sedikit mengetahui keberadaan Ibu dari anaknya. Ya, Mores mengalah demi kesembuhan Ralin. Pria itu bahkan turun tangan langsung untuk mencari keberadaan dia.
“Tuan, jet pribadi sudah siap,” beritahu Aksa yang baru saja kembali dari mengecek jet.
Mores bangkit dari duduknya, sedangkan para Bodyguard turut andil membawa koper yang berjumlah cukup banyak tersebut. Melihat jika bosnya sudah siap, Aksa berjalan terlebih dahulu guna membimbing Mores menuju landasan.
Pintu jet sudah terbuka dan awak yang bertugas mengantarkan Mores berjaga menyambut kedatangannya.
“Selamat datang, Tuan,” sambut Kapten Holsch.
Mores mengangguk dan tersenyum tipis kemudian mulai memasuki jet tersebut. Di belakangnya, Aksa mengekor dan mengambil duduk di bagian belakang sendiri.
Setelah seluruh persiapan selesai, guncangan mulai terasa dan detik itu juga mata Mores mulai memejam karena perjalanan akan sangat lama sekali. Mungkin sekitar 13-14 jam baru dia tiba di Indonesia.
***
Sekarang ini di ruangan BK sudah dipenuhi murid-murid yang menjadi saksi atas kesalahan Cindy. Gadis itu dihukum seorang diri karena partner dalam menjalankan misi sudah tidak sekolah akibat kehamilannya.
Bu Menik dan Pak Anggoro, kedua guru BK dengan bidangnya masing-masing itu diam tak bersuara. Membiarkan seseorang yang menjadi tahanannya kali ini bercerita terlebih dahulu.
Tak hanya ada tiga orang saja, para sahabat Ralin juga berada disana termasuk Ralph yang akan menjadi saksi cerita.
“Kamu aman, Ralph?” tanya Pak Anggoro.
“Puji Tuhan, Pak,” jawab Ralph.
Pak Anggoro menatap Cindy penuh intimidasi. “Apa kamu tidak jera dengan hukuman yang selama ini sudah didapat? Sejak awal masuk, kamu sudah menjadi seorang troublemaker. Kapan mau berubah?”
“Ada hal yang membuat saya mau menjadi partner, Pak,” sanggah Cindy. Ya, sebenarnya ada sesuatu yang tentunya tidak bisa Cindy ceritakan jika ingin hidup tentram. Terlalu banyak rahasia dalam diri Chloe yang membuat Cindy harus terjebak dengan wanita itu.
“Ceritakan. Saya pasti mempercayai ucapanmu,” perintah Pak Anggoro.
Lain halnya Pak Anggoro yang masih bersabar, Bu Menik sudah mencak-mencak di tempatnya sejak tadi.
“Maaf, Pak ... untuk saat ini saya benar-benar tidak bisa menjelaskan. Ini terlalu rumit untuk sekedar bercerita. Yang terjadi saat ini lebih penting daripada kepercayaan Bapak dan Ibu,” tutur Cindy.
“Jadi rasa percaya guru tidak penting daripada masalahmu?” seru Bu Menik tersinggung.
Cindy menoleh sekilas kemudian mengangguk.
“Sudah, Pak. Lebih baik segera hubungi kedua orang tuanya saja,” putus Bu Menik supaya tidak terlalu lama.
“Saya setuju dengan usul Bu Menik,” timpal Ralph. “Karena perbuatannya itu, banyak sekali orang yang dirugikan!”
“Halah, lo juga kesenengan, kan?” sahut Jeno meskipun susah berbicara karena luka pada bibirnya. Pukulan sang Daddy tidak main-main bahkan sudah lebih dari 4 hari.
“Jangan nyahut, babi!”
Alvero menatap tajam Brisia yang dengan beraninya berbicara kasar di depan guru. Gadis itu menyengir hingga terlihat gigi rapihnya.
“Saya harap setelah masa scorsing kamu selesai, kamu tidak lagi membuat ulah, Cindy,” ucap Pak Anggoro menyerahkan amplop yang diduga berisi surat scorsing.
Dengan berat hati Cindy mengambil amplop tersebut dan mengangguk.
“Iya, Pak.” Pandangan gadis itu beralih pada Ralph yang hanya terdiam menyaksikan. “Maaf kalau selama ini gue selalu gangguin lo. Itu semua karena gue disuruh. Permisi.”
Ketiga sahabat Ralin menatap tak percaya Cindy yang sekarang justru keluar dari ruang BK dengan santai tanpa meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan kepada sahabatnya.
“Manusia yang gak punya sopan-santun,” komentar Jeno beranjak dari tempat duduknya.
“Urusan kamu dengan sekolah belum selesai, Jeno.”
Saat akan menyentuh gagang pintu, suara Bu Menik menginterupsi pemuda yang saat ini sedang menyengir itu. Dia lupa jika tujuannya dipanggil adalah untuk membahas soal nasibnya di sekolah. Mau tak mau Jeno akhirnya kembali ke tempat duduknya dengan gerakan kalem. Cari muka.
“Orang tua kamu apa sudah mendapat surat?”
Ralph tidak keluar. Dia mendengarkan itu dan seketika merasa Dejavu karena sekitar 3 bulan sebelumnya dia juga mengalami hal seperti ini. Saat dimana dia masih bisa melihat Ralin yang kala itu hatinya ia patahkan.
“Sudah, Pak, Bu. Apa gak lihat muka saya udah berkurang kadar ketampanannya?” sungut Jeno karena kedua orang di depannya terlalu banyak bertanya.
Tak berapa lama, sepasang suami istri masuk ke ruang BK. Melihat itu, mereka semua mulai mengambil duduk dengan sopan termasuk Bu Menik dan Pak Anggoro.
“Selamat pagi,” sapa Erland sebagai kepala keluarga.
Pak Anggoro berdiri sebentar. “Pagi, Pak, Bu.”
Mita menanggapi dengan anggukan dan tersenyum saat menatap Bu Menik. Dalam hati Jeno mencibir Mommynya yang seperti tidak ada kegiatan lain harus menyapa guru menyebalkan itu.
“Begini, maksud dari pihak sekolah mengundang Bapak dan Ibu ke sekolah karena adanya skandall yang terjadi pada Jeno, anak Bapak dan Ibu sekalian.”
Mita dan Erland mengangguk mengerti. Sebagai orang tua, mereka tentu lebih tahu daripada guru-gurunya.
“Seperti yang pernah dijelaskan oleh Pak Jeka selaku kepala sekolah kepada korban salah sasaran, Jeno juga akan mendapatkan perlakuan yang sama. Anak Bapak dan Ibu masih tetap bisa bersekolah karena pihak laki-laki. Namun untuk Chloe sebagai pihak perempuan, kami tidak bisa mentolerir,” jelas Bu Menik panjang lebar.
Mita dan Erland mengernyit, “Chloe siapa?” tanya Mita.
“Dia wanita yang menjadi partner dari Jeno.”
Mendengar itu, Jeno bergidik ngeri. Mengingat jika pernah melakukan sesuatu dengan Chloe, saat itu juga Jeno mual. Jeno akui jika Chloe cantik, mungil, tapi sifatnya sangat minus!
“Bisa tidak, kalau Ibu tidak menyebut dia sebagai partner saya?” ujar Jeno mendengus. “Saya jijik, Bu!”
“Jeno,” tegur Erland tajam.
Bu Menik menghela nafas pelan, “Untuk saat ini hanya itu yang bisa saya sampaikan kepada semua yang ada disini. Langkah selanjutnya jika terjadi sesuatu dan Jeno kembali berulah, maka dengan berat hati sekolah akan mengembalikan Jeno kepada pihak keluarga.”
***
Jet pribadi Mores sudah mendarat sempurna di bandara Soekarno Hatta 15 menit lalu dan sekarang pria itu masih berada di cafe bandara untuk mengistirahatkan tubuhnya sementara. Perjalanan panjang dan jauh membuat Mores merasa sedikit lelah. Namun rasa lelah itu seketika sirna kala mengingat jika ada sesuatu yang harus ia urus.
“Kita pergi sekarang, Aksa,” ucap Mores seraya bangkit dari duduknya.
Aksa menatap atasannya itu bangga. Dia tau jika Mores sebenarnya sangat lelah. Namun rasa cintanya pada sang putri membuat Mores lebih semangat berjuang dan melupakan semua yang pernah terjadi di masa lalu.
“Baik, Tuan.” Aksa segera mengikuti langkah Tuannya menuju mobil yang sudah dipersiapkan.
Selama perjalanan pun Mores tetap terjaga. Pria itu membaca kata demi kata di laptopnya yang memperlihatkan laporan dari anak buahnya di Amerika.
“Sebaiknya Tuan istirahat. Untuk pekerjaan kantor biar saya yang mengurusnya,” ujar Aksa yakin.
Mores menoleh sebentar kemudian menggeleng. “Tidak. Saya tidak bisa menjadi pria yang selalu mengandalkan orang lain. Ada kalanya saya harus mengerjakan semuanya sendiri supaya tau kekurangan yang saya miliki.”
Supir yang mendengarkan itu merasa kagum dengan sosok Mores. Sosok yang terlihat keras dalam mendidik anaknya, namun sebenarnya dia hanya sosok rapuh yang takut kehilangan putri kecilnya.
***