40. Cerita Tentang Hari Itu

1310 Words
Di kelasnya, Ralph tiba-tiba bergerak gelisah. Hal itu tentu saja disadari Zigo yang merasa risih sendiri karena sejak tadi bangkunya ikut bergerak. “Kenapa, sih, lo?” Zigo mendengus karena takut di marahin oleh guru yang mengajar di depan. “Hehe ...” Ralph membalas dengan cengiran kuda yang menurut Zigo terlihat menyebalkan. “Permisi, Pak.” Seisi kelas menoleh karena suara Ralph cukup keras terdengar. “Ya, ada apa Cleon?” sahut Pak Sarif yang sedang mengajarkan tentang pembuatan dialog dalam narasi. “Izin ke toilet, apa bisa?” tanya Ralph ragu-ragu. Pak Sarif terlihat menatap Ralph dari atas sampai bawah dengan pandangan menyelidik. Setelah dirasa aman, guru itu mempersilahkan muridnya segera bangkit. Selama menuju toilet Ralph beberapa Ralph berpapasan dengan orang yang dikenali olehnya. Hingga saat akan melintasi deretan toilet wanita, langkah pemuda itu mematung karena mendengar suara yang sangat dikenalinya. Meskipun ragu-ragu, Ralph tetap memaksakan diri untuk masuk karena takut jika pertengkaran akan merambat kemana-mana. Deg! Saat kakinya sudah masuk, kedua mata Ralph melihat dua orang gadis bersitegang dan seorang gadis yang tersungkur di tembok. Tanpa mendengar penjelasan apapun, Ralph langsung menyalahkan Ralin saat itu juga. “Apa? Jadi lo gak denger apa yang diributkan saat itu?” ujar Ralin memastikan. Takutnya dia sedang kopok sehingga telinganya bermasalah. “Eum, iya ...” Dan jawaban itu membuat Ralin tanpa sadar memukul kepala Ralph hingga si empu memekik. “Sakit, Class ...” “Bodo amat,” cuek Ralin. Tangan gadis itu mengambil ponselnya yang berdering. Terlihat nama 'Jeno' muncul membuat Ralin segera mengangkatnya. “Halo?” “...” “Iya, entar gue kesana malem, ya? Udah bawa baju ganti, kok.” “...” Mata Ralph memicing curiga dengan gerak-gerik gadisnya yang seperti sedang membuat janji dengan seseorang. “Mau kemana?” todong Ralph langsung. Bahkan Ralin belum sempat meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. "Hm? Gue mau ke Jeno,” jawab Ralin. “Lo mau nginep di rumahnya?” Kedua bola mata Ralph membola tak percaya. Gadis itu menggaruk kepalanya bingung. Tingkah Ralph seperti orang yang sedang cemburu. Setelahnya Ralin tersenyum tengil. Sungguh itu bukan kepribadiannya sama sekali. “Lo ... Cemburu?” tukasnya tepat sasaran. "Enggak,” elak Ralph memalingkan wajah. “Oh, ya udah kalau gitu. Gue pamit ya, mau ke tempat Jeno,” pamit Ralin berniat untuk pergi. Namun tanpa diduga Ralph menarik tangannya hingga tersungkur di badan Ralph yang saat ini terlentang. Deg! Deg! Jantung keduanya berpacu cepat saat mata mereka bertabrakan. Bahkan Ralph turut meringis saat Ralin menyenggol bekas pukulan Alvero. “Apa-apaan ini?” Aksi tatap-tatapan keduanya berhenti saat mendengar suara wanita dari ambang pintu. Ralin melotot dan segera menegakkan tubuhnya. Tanpa sepatah katapun gadis itu berlalu meninggalkan Ralph dan wanita yang bahkan belum sempat terlihat wajahnya. “Ralph? Dia siapa?” Wanita itu Andara yang baru saja tiba namun langsung dibuat kaget saat melihat anaknya seperti melakukan skandall dengan seorang gadis. Ibu mana yang tidak kaget? “Dia pacar Ralph, Ma,” jawab Ralph santai tanpa tau jika Mamanya sudah melotot. “Kalau pacaran jangan aneh-aneh,” pesan Andara tak terlalu mempermasalahkan yang penting anaknya tau batas. Ralph tersenyum dan mengangguk. Sementara Ralin yang baru saja memasuki mobil langsung memegangi dadanya yang masih saja berdetak. Pak Mono sebagai supir tentu saja heran melihat anak majikannya yang keluar dari rumah sakit badannya berkeringat seperti itu. “Non, ini tissu. Keringatnya bikin masuk angin,” kata Pak Mono menyerahkan kotak tissue. Ralin menerima dan mengambil dua lembar untuk diusapkan pada wajahnya. “Setelah ini mau kemana dulu, Non? Apa langsung pulang?” tanya Pak Mono disela keheningan. “Ke rumah sakit tempat Jeno ya, Pak,” sahut Ralin. “Siap, Non!” Butuh waktu satu jam untuk tiba di rumah sakit tempat Jeno dirawat karena mereka kembali ke pusat kota. Apalagi jalanan macet saat menjelang malam hari karena aktivitas pekerja yang baru pulang dari kantor. Saat berada di lorong, Ralin berdoa supaya tak bertemu dengan Alvero. Namun sepertinya itu tidak mungkin mengingat sejak Jeno dirawat, pemuda itu belum mengunjungi Jeno sama sekali. Cklek! Gadis itu terkejut saat melihat ruang rawat Jeno sangat ramai. Tak hanya ada kedua orang tuanya, tapi juga Kakek Neneknya. “Shalom,” salam Ralin ketika memasuki ruangan. “Duh ... Anak cantik Mama ...” Seorang wanita yang masih terlihat cantik menghampiri Ralin dengan senyuman cerah. Wanita itu selalu senang jika ada Ralin ataupun Brisia karena memang cita-citanya memiliki anak lagi. Namun kejadian masa lalu membuat wanita itu mengubur niatnya dalam-dalam untuk memiliki anak. “Mommy,” sapa Ralin bersalaman. Mita, wanita yang dipanggil Mommy itu mengelus puncak kepala Ralin. Setelahnya ia memeluk Ralin erat membuat seisi ruangan membelalak karena mereka melihat ekspresi Ralin yang sangat tersiksa. “MOM!!! TEMENNYA JENO JANGAN DIBUNUHH!!!” pekik Jeno histeris membuat Mita melayangkan tatapan tajamnya. “Diem, kamu!” cetus Mita kemudian melepaskan pelukannya. “Kan tadi Jeno yang telfon, masa diambil alih, sih ...” Ralin yang diseret kesana-kemari oleh Mita hanya bisa pasrah. Gadis itu bahkan belum sempat bersalaman dengan Kakek Neneknya Jeno hanya karena Mita. “Mom, itu Ralin nya diminta Ibu,” tutur Erland takut-takut. Tipe suami yang takut sama istri seperti Erland tentu saja akan bersikap seperti seekor kucing yang manis. Apalagi sekarang Mita sudah menatapnya penuh permusuhan. Lebih baik dia pasrah. “Mending kamu ngalah, Jeno. Lihat, Mommy bahkan gak mau dengerin Daddy,” ujar Erland kembali ke tempat duduknya. Kembali pada Mita dan Ralin. Kini Ralin sedang disidak oleh Mita perihal sakit yang dialami Jeno. Ralin bahkan menjawab tidak tahu menahu karena memang sahabatnya itu tak pernah kekurangan makan barang sedikitpun. “Mungkin anakmu itu kena karma, Mita. Dia kan suka mainin hati perempuan,” celetuk Nenek Wenda. Mita termenung karena ucapan mertuanya itu ada benarnya juga. “Sepertinya iya, Bu. Karena Ralin sendiri bilang kalau Jeno gak pernah kekurangan makanan,” ujar Mita membenarkan. Ruslan sampai mengelus dadanya karena istri dan menantunya yang sepertinya satu server dalam memojokkan kaum laki-laki. Sementara Jeno hanya meratapi nasibnya dari ranjang tempat tidurnya. Dia tak menyangka jika perbuatannya sebagai seorang playboy akan berakibat fatal hingga menyerang ... Tunggu, apakah ia disantet? “Jangan-jangan Jeno disantet?” heboh Jeno. “Ya Tuhan ... Apa gunamu selama ini saat teduh kalau masih percaya sama santet?” geram Mita. Sebagai Ibu dia tentu saja akan mengajarkan hal yang baik kepada keturunannya. Namun sepertinya Jeno tertukar saat di rumah sakit. “Hehe ...” Jeno cengengesan karena tatapan tajam dari dua wanita dan satu orang gadis disana. *** “Bagaimana keadaan hari ini, Ralph? Kapan kamu diperbolehkan pulang?” Saat ini Chloe kembali berada di rumah sakit atas permintaan Andara karena wanita itu sedang menjemput anak bungsunya. “Kata dokter sekitar tiga harian lagi gue boleh pulang,” jawab Ralph setelah menelan buburnya. “Oh ya? Syukur deh kalau kesehatanmu sudah membaik. Aku turut bahagia,” ucap Chloe tulus. Tangannya kembali menyuapi Ralph yang terlihat menerima makanan buatannya. Ralph mengangguk samar kemudian teringat sesuatu untuk diceritakan pada Chloe. Ia percaya gadis itu karena memang Chloe teman lamanya. “Tadi Classica kesini.” Pergerakan Chloe yang akan kembali menyuapi Ralph terhenti saat pemuda itu menyebutkan nama gadis lain. Hatinya sedikit sakit mengingat gadis itu adalah kekasih dari temannya. Namun sebisa mungkin Chloe menampilkan senyuman supaya pertemanannya tidak rusak. “Serius? Kalian sudah baikan?” tanya Chloe penasaran. “Ya ...” Ralph mengangguk sebagai balasan. “Ternyata selama ini gue memang salam paham sama dia.” Jelasnya panjang. “Um? Salah paham yang bagian mana?” kepo Chloe. “Soal gue nuduh Classica kalau dia yang udah dorong lo. Ternyata selama ini dia udah ngomong jujur, tapi hati gue kayak tertutup tiap kali dia jelasin.” Ketika mendengar segala penjelasan Ralph, Chloe hanya bisa tersenyum. Ralph itu terlalu gegabah mengambil keputusan. Padahal Chloe sudah menjelaskan meskipun sepatah dua patah kata. “Kan aku sudah pernah bilang ...” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD