Sudah empat hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, hari ini Ralph sudah memulai kembali aktivitasnya sebagai seorang pelajar. Meskipun awalnya Andara tidak mengizinkan, namun karena segala bujuk rayu Ralph akhirnya diizinkan oleh sang Mama. Ralph berkata jika sebentar lagi sekolahnya mengadakan UTS dan dia tak mau tertinggal mengingat sudah izin selama dua minggu.
“Kakak, apa Kakak yakin akan belsekolah?” tanya Sela.
Ralph berjongkok dan mensejajarkan tingginya dengan sang Adik. “Kakak harus sekolah, supaya bisa menjadi orang hebat dan memenuhi segala keinginan Sela ...”
Mata Sela mengerjap karena otak kecilnya belum setinggi itu untuk memahami maksud sang Kakak. Namun ia menangkap jika dengan sekolah, Kakaknya bisa membeli banyak mainan untuknya.
“Semuanya?” ulang Sela memastikan.
Mata Ralph memicing karena tiba-tiba saja wajah Adiknya sumringah. Namun ia tetap tersenyum menanggapi Adiknya.
“Iya. Makanya Sela juga harus rajin ke sekolah, supaya jadi orang sukses,” pesan Ralph sebelum menaiki motornya. “Kakak berangkat, oke? Nanti pulangnya mau Kakak bawakan apa?”
“Nasi goleng baljo!” seru gadis kecil itu senang.
Ralph terkekeh dan bersikap hormat. Sela melambaikan tangan saat motor Kakaknya mulai berlalu dari pandangan.
Sepanjang perjalanan Ralph tak henti menyunggingkan senyum karena sebentar lagi dia bertemu dengan gadisnya. Tak peduli orang beranggapan dirinya gila karena terlalu banyak senyum.
Setelah 15 menit akhirnya motor klasik itu tiba di depan istana megah Millano. Ralph turun dan membunyikan bel yang berada di gerbang karena masih tertutup rapat. Sekitar dua menit seorang pria membuka gerbang dan tersenyum kearah Ralph.
“Aden, kemana saja gak pernah jemput Non Ralin?” tanya pria itu seraya membuka gerbang lebar-lebar.
“Saya baru keluar dari rumah sakit, Pak.” Tentu saja Ralph tidak menjelaskan jika hubungannya dengan Ralin sempat merenggang. Berbahaya apalagi jika Mores tau dirinya menyakiti anak satu-satunya keluarga Millano.
Pak Abdi menggiring Ralph ke teras rumah supaya pemuda itu lebih nyaman. Setelahnya Pak Abdi berpamitan karena harus kembali menjaga gerbang yang sudah menjadi tanggung jawabnya supaya tidak kemalingan.
Cukup lama Ralph menunggu hingga pintu utama terbuka. Ralph menyambut dengan senyum lebar karena ia berpikir itu Ralin. Namun senyuman itu berubah kernyitan di dahi saat melihat sang Tuan rumah justru yang keluar. Kemana Classica? Itu yang ada di pikiran Ralph saat ini.
“Tuan?” sapa Ralph sopan dan menyalami tangan pria tersebut. Beruntungnya Mores mau menerima jabatan tangannya.
“Ada apa kau kesini?”
Ralph semakin heran dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mores. Apa Mores lupa –
“Sebaiknya kau tidak usah menjadi bodyguard putriku lagi jika tidak bisa mengemban tanggung jawab dengan benar.”
Deg!
Jantung Ralph berpacu cepat setelah mendengar perkataan Mores. Apa sekarang dia dilarang untuk dekat dengan anaknya?
Tidak bisa!
“Maaf, Tuan, maksudnya bagaimana?” Ralph sungguh tidak paham kali ini. Jika dia tidak bekerja, bagaimana bisa dia dekat dengan Ralin?
“Apa saya membuat kesalahan, Tuan?” tanya Ralph hati-hati.
Mores menipiskan bibir dan mengangguk, “Kau sudah menyakiti putriku sebegitu jauh, Ralph. Sebagai seorang Ayah tunggal, tentu aku merasa hancur karena sejak kecil putriku hanya hidup berdua denganku. Dia sudah tidak memiliki Ibu, nak ... Tentu saja ketika kau menyakiti, dia hanya bisa bercerita melalui alam bawah sadarnya.”
Hati Ralph sakit mendengar penjelasan Mores. Dia tau, dia salah karena hal ini. Namun, tidak adakah kesempatan?
“Apa tidak ada kesempatan, Tuan? Saya bahkan baru berbaikan dengannya lima hari lalu ...” lirih Ralph.
Nafas lelah terlontar dari bibir Mores. Pria itu sebenarnya tidak tega memutuskan sesuatu dengan cara seperti ini. Namun ia juga tidak bisa melihat putrinya menangis ketika tidur.
“Saya tetap akan mengirim gaji setiap bulan untukmu.”
“Bukan perihal gaji, tapi tentang hubungan saya dengan Ralin yang terbangun dari 0 hingga kami memutuskan untuk menjadi kekasih, Tuan,” tukas Ralph.
“Saya tau jika kalian menjalin hubungan,” cetus Mores. Wajahnya berubah datar saat mengingat jika putrinya menjalin kasih dengan Bodyguard nya sendiri. “Tapi saya juga tidak bisa melihat putri saya terluka. Luka di hati, lebih menyakitkan daripada luka yang terlihat.”
Ralph terdiam dengan kepala menunduk. Dia bahkan mengingat betul jika –
“Bahkan saya mengingat jelas segala kata-kata yang kau lontarkan, bahwa kau lebih memilih gadis itu daripada Ralin.”
Deg!
Belum selesai dia membatin, Mores sudah memotong dan mengingatnya terlebih dahulu.
“Lebih baik segera berangkat ke sekolah, hari sudah semakin siang.” Mores berlalu dari hadapan Ralph yang masih diam merenung ucapannya.
Pemuda itu segera berlari menuju motornya, melupakan jika dokter melarang dirinya untuk berlari karena manusia dengan lambung rusak sangat membahayakan nyawanya sendiri.
Motor klasik itu dikendarai oleh Ralph dengan kecepatan tinggi. Dia harus bisa tiba di sekolah lebih cepat supaya bisa bertemu dengan gadisnya. Hanya 10 menit saja motor itu tiba di SMA Bengawan. Buru-buru Ralph memarkirkan dan berlari melewati lapangan.
“Woi Ralph!” seru Zigo berlari kecil menghampiri sahabatnya.
Mendengar suara sahabatnya memanggil, mau tak mau akhirnya Ralph menghentikan langkah. Pemuda itu menunggu Zigo hingga sampai di tempatnya berdiri.
“Mau kemana? Kok lo ke arah Selatan?” tanya Zigo heran.
“Mau ke IPA 4.”
Kening Zigo mengernyit karena mendadak lupa jika sahabatnya sudah memiliki pacar. Namun matanya melotot setelah ingat kala IPA 4 adalah kelas dari gadis yang sangat ia benci.
“Lo mau ke cewek itu? Ngapain lagi? Dia udah bikin Chloe luka, gue ingetin,” berondong Zigo mencoba mengingatkan barangkali sahabatnya amnesia.
“Zig ...”
“Yang gue ucapin bener, Ralph. Tuh cewek keterlaluan banget main fisik hanya karena cemburu,” kekeh Zigo pada prinsipnya.
Karena lelah dengan segala kebebalan Zigo, Ralph akhirnya berlalu tanpa peduli jika Zigo teriak dengan kencang.
Ralph mengatur nafasnya yang tak beraturan dengan sesekali memegang perutnya yang terasa sakit. Terkadang dia lupa akan keadaan lambungnya sehingga berlari kencang seperti baru saja.
“Class!” panggil Ralph dari ambang pintu.
Ralin yang sedang menenggak air mineral langsung mendongak dan dihadapkan dengan Ralph. Gadis itu meletakkan botol minumnya dan berlalu menuju Ralph.
“Kenapa lo?” Alis gadis itu menukik saat melihat wajah pacarnya yang berantakan.
“Lo beneran udah gak boleh jadi atasan gue?” tanya Ralph langsung.
“Eum ...” Meskipun berat, Ralin akhirnya mengangguk. Sebelum berangkat tadi gadis itu memang sempat berdebat dengan Papinya mengenai Ralph.
“Segera berangkat, Pak Mono udah nunggu di depan.”
Ralin yang tadinya akan menghubungi Ralph, langsung mengurungkan niat setelah mendengar lanjutan ucapan Papinya.
“Papi gak izinkan kamu dekat sama dia lagi. Udah cukup Papi lihat putri yang Papi besarkan penuh kasih sayang, harus disakiti oleh laki-laki lain.” Mores berkata dengan raut sedatar-datarnya.
“Pi?” ujar Ralin dengan suara lemah.
Mores tak menggubris ucapan anaknya. Pria itu justru berlalu menuju meja makan karena perutnya sudah berbunyi sejak tadi.
***