Seorang pria paruh baya tengah menuliskan rumus di papan tulis. Guru itu sesekali membenarkan letak kacamatanya yang merosot karena hidungnya pesek.
“Tugas hari ini dari rumus yang saat ini saya tulis di papan. Kalian harus mencari jawaban dari kecepatan bola yang menggelinding.” Pak Agung berbalik menatap seluruh muridnya yang berada kursi.
Seluruh murid di 11 IPA 4 langsung menolak tak terima. Mereka belum diajarkan secara langsung, hanya rumusnya ditulis pada papan dan langsung diminta untuk mengerjakan.
Termasuk Zigo yang hanya bisa menggerutu pelan. Dia bukanlah pria alay yang akan teriak-teriak jika tak suka dengan sesuatu.
“Sebelum memulai mengerjakan soal yang Bapak berikan, Bapak meminta satu orang untuk maju ke depan dan kerjakan sebagai contoh.” Mata Pak Agung mengedar ke segala penjuru kelas membuat murid di kelas tersebut tak berkutik. Ada yang berpura-pura menulis dan mata menatap langit-langit seolah berpikir, ada juga yang menunduk karena takut. Pelajaran Fisika menurut mereka sangatlah susah, maka dari itu tak ada yang berani jika diminta maju.
“Nah ... Itu yang memakai kacamata di belakang Sezigo.” Pak Agung menunjuk seorang gadis yang duduk anteng menatap papan tulis. Mengingat sesuatu, guru killer tersebut kini menatap Zigo sepenuhnya. “Dimana temanmu itu? Yang terkenal pandai?”
Zigo yang merasa diberi pertanyaan langsung menjawab, “Di rumah sakit, Pak, kecelakaan.”
Wajah Pak Agung terlihat shock namun ia mengangguk pelan. Kembali pandangannya beralih menatap Chloe.
“Saya, Pak?” Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dan diangguki Pak Agung.
Chloe, gadis itu maju dengan langkah kalem. Gadis itu melihat soal di papan sebentar baru kemudian mengambil spidol dan menuliskan jawabannya. Di kursi kebesarannya, Pak Agung mengamati cara gadis beasiswa itu mengerjakan. Memang, cara mengerjakan soal antara murid yang diberi beasiswa dan murid yang bersekolah hanya karena kewajiban itu berbeda. Terlihat sekali jika Chloe sangat teliti ketika mengerjakan.
“Sudah, Pak.” Suara lembut itu membuyarkan lamunan Pak Agung. Segera guru killer itu bangkit dan menatap jawaban yang berada di papan tulis. Sesekali tangannya menambahkan angka pada jawaban yang menurutnya kurang tepat.
“Tidak sempurna, namun cukup bagus.”
Chloe tersenyum lega dan mengucapkan terima kasih pada gurunya. Gadis itu segera melangkah kembali pada tempat duduknya.
Di tempat lain ...
Ralph sejak tadi melihat pembelajaran di kelasnya melalui zoom yang sudah disambungkan Zigo melalui kamera kecil. Pemuda itu senang karena memiliki sahabat yang baik serta pengertian seperti Zigo. Terkadang dia ingin menentang Zigo perihal kebencian untuk gadisnya, namun ia tak mau membuat persahabatannya rusak hanya karena cinta. Maka dari itu Ralph lebih memilih diam sebagai pendengar.
“Ralph, kamu masih ada jam pelajaran, nak?” Andara menghampiri putranya dengan membawa bubur yang disediakan pihak rumah sakit untuk sarapan.
“Iya, Ma,” jawab Ralph lalu membuka mulutnya menerima suapan dari Andara. Pemuda itu mengunyah bubur hingga lembut supaya lambungnya baik-baik saja.
Andara kembali menyuapi anaknya sembari bertanya, “Nanti waktu jam di sekolah istirahat, kamu tidur dulu ya ... Kan sebenernya orang sakit gak boleh aktivitas berat.”
Meskipun pelan, Ralph menyempatkan diri untuk tertawa. Mamanya ini sangat lucu.
“Mana lega tidur cuma 20 menit, Ma,” kekeh Ralph.
“Ya sudah gak masalah kalau gak tidur. Rebahan aja tapi jangan pegang ponsel,” ucap Andara mengalah. Dia masih sadar untuk tidak mengekang putranya terlalu keras.
“Siap, Mama ...”
Setelahnya kedua orang itu kembali hening tanpa ada perbincangan lagi. Andara membuka ponselnya karena sedang menunggu kabar dari seseorang di sebrang sana.
Ralph memperhatikan gerak-gerik Mamanya yang terlihat tersenyum cerah saat melihat ponselnya.
“Mama lagi chatting sama siapa, sih? Kayaknya bahagia banget?” Celetukan itu membuat atensi Andara segera beralih. Masih dengan mempertahankan senyumnya, Andara menjawab, “Rahasia negara.”
Benar-benar dongkol setengah mati Ralph dengan jawaban itu. Wajahnya melengos karena ngambek dan tentu saja disadari oleh Andara. Wanita itu terkekeh kecil dan membatin dalam hati. Belum saatnya Ralph tau.
“Kalau memang Mama lagi deket sama lawan jenis, jangan sampai lupa sama Sela, ya,” pesan Ralph tiba-tiba.
Gerakan Andara yang sedang memberikan balasan pada orang di sebrang sana terhenti begitu saja.
“Astaga ...” Andara tertawa tak habis pikir. “Kamu pikir, Mama ini sedang chatting dengan seorang pria?” tukasnya tepat sasaran.
“Ya iya kan,” kekeh Ralph dengan wajah memerah.
Andara mengelus rambut tebal putranya yang sudah semakin dewasa. Pasti sebentar lagi anaknya itu akan memiliki kekasih, kuliah, terus menikah. Rasanya dia baru saja melahirkan Ralph, namun ternyata waktu berlalu begitu cepat.
“Mama itu lagi chatting sama temen, beliau mengajak Mama buka bisnis,” aku Andara. Memang semenjak keluar dari rumah sakit, wanita itu tanpa sengaja bertemu dengan seorang Kakak kelasnya semasa SMA dan berencana membuka bisnis bersama. Namun ternyata hal tersebut justru di curigai sang anak macam-macam. Niat hati ingin memberi kejutan jika bisnis tersebut sudah sukses, tetapi gagal.
“Ma?” Ralph menatap Mamanya dengan mata berkaca-kaca. Tak menyangka jika Mamanya harus banting tulang demi dirinya dan Adiknya.
“Iya, nak ... Mama mau bertanggung jawab atas waktu yang sudah hilang untuk kamu sama Sela.”
Betapa bersyukurnya Ralph memiliki Mama seperti Andara. Orang tua tunggal yang sangat sayang kepada anak-anaknya.
***
Brisia menatap jengah kedua sahabatnya yang terlihat bersitegang tersebut. Dia memang belum mengetahui perihal masalah Alvero dan Ralin karena keduanya saling bungkam.
“Lebih kalian jelaskan sama Bris apa yang terjadi!” tegas Brisia tak mau dibantah.
Bel pulang sudah berbunyi namun ketiganya masih betah berada di dalam kelas. Ralin seketika menyunggingkan senyuman sinis karena permintaan Brisia. Tanpa menjelaskan apapun, Ralin berlalu meninggalkan Alvero dan Brisia yang masih di dalam kelas.
Ralin langsung berlari menghampiri Pak Mono dan meminta pria paruh baya itu mengantarkannya ke rumah sakit lagi. Sebagai supir, tentu saja Pak Mono menuruti permintaan Nona mudanya.
Sekitar 45 menit mobil hitam itu tiba di pekarangan rumah sakit. Segera Ralin turun dan berlari masuk.
“Sebenarnya Nona menjenguk siapa, ya?” Pak Mono berdebat dengan pemikirannya sendiri.
Sedangkan Ralin yang kini sudah berada di depan pintu langsung menarik nafasnya perlahan. Dengan penuh tekad, gadis itu membuka kenop pintu.
Cklek!
Saat kakinya melangkah masuk, mata bulat gadis itu bersitatap dengan mata tajam Ralph. Bisa Ralin lihat jika Ralph sangat terkejut dengan kehadiran dirinya.
“Class?” Berulang kali Ralph mengerjapkan mata guna memastikan.
Perlahan Ralin melangkah mendekati ranjang dimana Ralph terlentang. Gadis itu merasa bersalah dengan keadaan Ralph yang seperti ini karena salahnya juga.
“Hai?” Pada akhirnya Ralin yang membuka suara karena dia tau jika Ralph hanya diam terpaku.
Setelah mendengar sapaan lembut itu, Ralph langsung tersadar dari lamunannya.
“I—ini beneran lo?” tanya Ralph memastikan.
Anggukan kecil Ralin layangkan sebagai balasan.
“Maaf ...”
Kening Ralph mengerut karena tak paham dengan maksud permintaan maaf itu. Ralin yang paham kembali membuka suaranya.
“Maaf karena kita berantem, lo sampai dibuat celaka sama Alvero ...”
Deg!
Deg!
Jantung Ralph berdetak cepat. Dia sudah menutup rahasia ini rapat-rapat supaya Alvero tak marah padanya, namun saat ini ...?
“Class --?”
“Ceritakan semuanya, mulai dari kejadian di toilet yang bikin lo marah.”
***