Seorang pria berjas putih kembali memasuki sebuah ruangan dengan santai dan sesekali bersiul. Kebetulan hanya pengecekan biasa, dan keadaan sepi makanya dia bisa seperti ini. Namun saat mendengar pintu kamar mandi terbuka, pria tersebut benar-benar kaget setengah mati.
“Maaf Tuan atas ketidaksopanan saya,” ucap pria itu langsung.
Mores yang bahkan belum menyadari kehadiran Dokter Ander disana turut terkejut. “Astaga, bahkan saya tidak tau jika ada orang yang masuk.”
Dokter Ander menggaruk kepalanya sebentar kemudian berujar. “Saya izin mengecek keadaan Nona kembali, Tuan.”
“Silahkan.” Mores menuju sofa untuk memulai pekerjaannya yang dilakukan secara online karena saat ini dia tidak mempercayai siapapun untuk menjaga putrinya.
Segera saja Dokter Ander menuju tempat dimana Ralin tertidur. Sepertinya pergerakan Ander kali ini cukup grasak-grusuk sehingga membuat Ralin terbangun. Mata gadis itu masih mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dan Ander membiarkan itu.
“Bagaimana tidurnya, Nona? Nyenyak?” tanya Dokter Ander ramah.
“Baik.” Suara Ralin sangatlah kecil. Namun karena telinga Ander tajam, akhirnya suara itu bisa masuk ke indera pendengaran Ander.
“Wah, saya senang karena Nona bisa menyahuti ucapan saya!”
Suara Ander yang tanpa sengaja terlalu keras karena rasa semangat melihat anak Tuannya perlahan membaik, membuat Mores di tempatnya juga mendengar apa yang Ander ucapkan. Pria itu mendekati kedua orang yang tak menyadari kehadirannya.
“Ralin?”
Mendengar suara yang sangat dirindukan, Ralin sedikit melirik ke kanan, “P—papi ...”
Mores tak bisa untuk diam saja. Pria itu segera merengkuh pelan tubuh ringkih putrinya. Ander yang melihat itu langsung tersenyum haru.
“Anak Papi cepet sembuh, oke?” bisik Mores sebelum kembali menegakkan badannya. “Terima kasih sudah membantu anak saya.”
***
Elvira baru saja keluar dari toko buku langganannyaa. Gadis itu menenteng dua paper bag berisikan n****+ dan buku pelajaran yang sudah ia pesan beberapa hari sebelumnya. Matanya melirik tangannya yang tiba-tiba saja merinding.
Tak mau terlalu banyak berpikir, Elvira berjalan menuju mobilnya dengan langkah santai hingga tak menyadari jika ada motor melesat cepat dari arah kanan. Bahkan hingga jarak yang sangat dekat, Elvira juga belum juga menyadari keberadaan motor tersebut.
Wush
Gadis itu tersentak saat merasakan tubuhnya melayang karena tarikan yang sangat kencang pada badannya. Saat pergerakan itu terhenti, barulah Elvira melihat sosok yang sangat dia kenali tengah menatapnya tajam.
“Apa yang ada di pikiranmu, El?”
Elvira yang bingung hanya bisa menggaruk kepalanya kikuk.
“Kamu nyebrang gak konsentrasi dan membiarkan ada kendaraan hampir menghancurkan tubuhmu, iya?”
“Aku ... Aku benar-benar tidak melihat jika ada kendaraan. Fokusku tadi tidak kesana,” jelas Elvira gugup.
Januar, kekasih dari Elvira itu bersidekap dadaa dengan mata yang tak lepas menatap tajam Elvira.
“Satu detik saja aku telat mengawasi keberadaanmu, mungkin saat ini kamu sudah terkapar dalam wujud serigala!”
“Maaf,” cicit Elvira. Karena terlalu senang dengan apa yang dia beli hari ini, Elvira sampai melupakan bahwa posisinya masih berada di jalan.
“Pulang.”
Jika Januar sudah berkata seperti itu, tandanya pemuda itu sedang marah dan Elvira tidak berani untuk berkata ataupun membantah lagi. Meskipun berat, gadis itu tetap saja mengangguk supaya tidak bertengkar.
***
Saat ini Rab'J minus Ralin sedang menikmati waktu bersantai malam minggunya di sebuah tongkrongan anak muda. Keadaan dan suasana yang berbeda membuat ketiga orang itu tersebut merasa ada yang kurang.
“Sudah tiga bulan Ralin pergi,” ucap Brisia dengan wajah sendunya.
Bersahabat sejak masa kanak-kanak nyatanya meninggalkan banyak luka untuk mereka bertiga ketika Ralin dibawa pergi oleh Papinya. Jika biasanya mereka selalu bersama dan melakukan apapun bersama, kini ketiganya merasa tak sempurna karena tidak hadirnya satu orang disisi mereka.
“Andaikan dia masih ada disini ... pasti bakal ada yang marah-marah ke gue tiap hari,” sahut Jeno.
Alvero hanya bisa terdiam menahan rindu. Dia termasuk orang yang susah mengekspresikan sesuatu. Maka dari itu, dia lebih suka menjadi pendengar dan akan bersuara jika memang dibutuhkan.
“Diem aja lo!” Jeno mulai beraksi membangunkan singa yang sedang tertidur pulas.
“Bachot!”
“Dih galak,” Brisia menyahuti yang tidak dihiraukan oleh Alvero.
Jeno yang dasarnya jelalatan kini mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tempat hingga berhenti pada dua orang yang duduk berhadapan.
“Eh, lihat arah jam satu.”
Alvero dan Brisia langsung mengikuti arah pandang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Jeno. Keduanya sama-sama terkejut melihat dua manusia yang sangat ia kenali, lebih tepatnya pernah bertemu tengah duduk berhadapan.
“I—itu kan?” Brisia sampai tidak bisa berkata-kata karena saking terkejutnya.
Alvero langsung menyelinap ke belakang badan salah satu pengunjung yang baru saja datang.
“Ada apa Mas?” tanyanya risih.
“Sebentar, Mbak, tolong tutupi saya.”
“Sumpah gue juga gak tau kenapa bisa gagal sedangkan orang suruhan gue itu ahli banget!”
“Lo sih cari orang yang salah, makanya dengerin omongan gue.”
“Jangan nyalahin aja, gue bahkan kaget waktu lihat rekaman CCTV sekitar. Gak terdeteksi tuh angin.”
Dahi Alvero mengerut tipis setelah mendengar ucapan keduanya. Bisa ia simpulkan jika yang dibicarakan kedua orang itu bukanlah hal baik mengingat salah satunya memiliki track record buruk selama bersekolah.
“Kita harus susun siasat lagi Diah. Gue mau tuh cewek sama hancurnya dengan Ralin tanpa terkecuali. Kalau bisa temennya yang waktu itu bikin keributan!”
“Aurel, gue juga udah pikirin itu semua tapi nyatanya waktu di lapangan semuanya berantakan!”
Diah? Aurel?
Alvero segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku setelah sempat memvideokan percakapan tersebut. Teringat sesuatu, Alvero kembali mengambil ponselnya dan mengirimkan video itu kepada orang suruhannya.
Ya, dia tidak sebodoh itu untuk menyalin sekali. Dan dia bukanlah orang yang kekurangan akal untuk tidak menyelidiki apa yang sudah di dengarnya sendiri.
“Mas, apa sudah?”
Wanita yang tadi diminta untuk menjadi tameng Alvero merasa lelah karena tujuannya kesini hanya untuk makan. Bukan menjadi seorang bodyguard sekaligus paparazi seperti ini.
“Maaf Mbak, terima kasih.”
Wajah Alvero memerah menahan malu. Wanita itu sempat menggerutu sebelum akhirnya pergi ke lantai dua. Sedangkan Alvero kembali ke tempat duduknya dimana Jeno dan Brisia sudah menatapnya penasaran.
“Ada apa? Lo dapet sesuatu?” ujar Jeno antusias.
“Kita harus segera keluar. Nanti dijalan bakal gue ceritain sekaligus kasih lihat apa yang udah gue dapet.”
Kedua orang itu setuju dan keluar dari cafe mengikuti langkah Alvero.
Mobil milik Alvero sudah berjalan menjauh dari cafe tempat dimana ketiganya nongkrong. Kini mobil tersebut berhenti di sebuah jalanan yang sepi supaya tidak ada yang mengetahui pembicaraan mereka.
“Jadi, ada apa?”
Alvero tak menjawab, pemuda itu langsung mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman dimana ia mendapatkan jawaban atas apa yang sudah terjadi dengan sahabatnya.
Rahang Jeno benar-benar mengeras setelah melihat video itu terputar. Sementara Brisia, pandangan gadis itu seketika kosong.
“Bris bakal minta Daddy buat cari semua tentang Aurel sama Diah!”
Gadis bersuara cempreng itu sungguh ingin menjambak rambut kedua orang yang berada di video itu.
“Gue sudah memulai penyelidikan!”
***