64. Rencana Pernikahan

1150 Words
Ralph memasuki rumah bersama dengan Chloe. Keduanya langsung disambut hangat oleh Andara yang memang menunggu kedatangan mereka. “Duduk dulu, Mama mau bicara penting sama kalian berdua,” titah Andara yang sudah berada di karpet. Baik Ralph maupun Chloe langsung duduk di karpet. Tidak jauh berbeda dengan Chloe yang sudah berkeringat dingin karena gugup, Ralph pun sama namun dengan penyebab yang berbeda. “Ada apa, Ralph? Kamu mau ngomong sesuatu?” tegur Andara saat melihat anaknya  bergerak gelisah. “Hah—oh enggak, Ma,” elak Ralph karena sejujurnya lambungnya sakit. Sejak kejadian dia dipukul oleh Alvero hingga detik ini belum juga mendapatkan donor lambung. Andara mengangguk percaya kemudian beralih pada tujuan utamanya. “Mama lihat perut Chloe mulai terlihat. Ini sudah hampir empat bulan, kan?” Meskipun ragu, Chloe tetap mengangguk atas pertanyaan Andara. “Mama mau kalian segera menikah. Memang tidak diadakan besar-besaran karena kalian masih bersekolah. Namun tetap harus segera dilakukan supaya anak kalian keberadaannya diakui,” jelas Andara yang membuat kedua remaja itu membelalakkan matanya kaget. “MENIKAH?” Tanpa sadar Ralph berteriak dan melupakan segala rasa sakitnya. “Iya, kan Chloe hamil anak kamu. Wajib buat kamu nikahin dia,” ujar Andara yang sedikit bingung melihat reaksi anaknya. “Tap—tapi Ralph masih sekolah, kan?” Chloe yang ingin menanggapi langsung mengurungkan niatnya karena Andara sudah kembali mendebat. Dia tak ingin membuat kericuhan dalam percakapan tersebut. “Besok Mama akan bawa Chloe cari gaun,” putus Andara mutlak yang tentu saja tidak bisa dibantah oleh keduanya. Bak boneka keduanya hanya bisa mengangguk saja. *** Motor yang dikendarai oleh Ralph tiba di sebuah lapangan. Tanpa sadar senyum pemuda itu terpatri kala melihat deretan pedagang yang menjual beraneka ragam makanan. Beberapa bulan lalu, dia pernah kesini bersama dengan gadisnya. Mengingat kenangan itu, Ralph hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya. “Gue beli ini Ralph!” Ralph yang sedang bermain ponselnya langsung mengalihkan pandangan saat mendengar suara gadisnya. Sedetik kemudian matanya melotot saat melihat Ralin membawa beberapa bungkus jajanan berwarna merah. “Lo yakin beli ini? Nanti Tuan Mores marah.” Ketakutan terbesar Ralph adalah melihat Mores menatapnya tajam karena membiarkan Ralin jajan sembarangan. “Kok ngelarang? Gue kan beli, bukan ngambil doang,” dengus Ralin sebal. Tangannya menusuk cimol yang sudah dibalur bubuk cabe kering. Ralph menanggapi wajah merengut Ralin dengan senyuman. Selama berpacaran dengan Ralin, dia tidak pernah melanggar batas. Paling jauh hanya berani mengecup puncak kepalanya saja jika terlewatkan rasa gemasnya. “Apa kabar lo sekarang, Class? Gue harap, dimanapun Keberadaan lo, Tuhan selalu jagain lo ... buat gue.” Mata pemuda itu menatap langit sore yang terlihat cerah saat ini. Ralph tau dia salah karena masih memikirkan gadis lain disaat Mamanya sudah meminta dirinya untuk menikah dengan wanita lain. “Mas, ini cimolnya.” Seorang pria paruh baya dengan senyuman lebar mengantarkan pesanan Ralph yang langsung diterima dengan baik. “Terima kasih, Pak,” ucap Ralph menerima makanan yang sudah dibalur dengan bubuk cabe kering tersebut. Pria tadi mengangguk dan kembali ke gerobak untuk melayanii pembelii lainnya. Sedangkan Ralph mulai memasukkan cimol tersebut ke dalam mulut. Dengan susah payah Ralph menelan makanan itu hingga pada akhirnya bisa tertelan juga. “Gue ... Gue kangen ...” Setetes air mata luruh dari sudut matanya. Ralph akui jika dia kalah dengan perasaan rindu yang menggebu dalam hatinya. “Sedih? Basi!” Ralph segera menoleh saat suara yang tidak asing di telinganya mengusik. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Jeno menatapnya sinis. Terlihat dari sudut bibirnya yang terangkat seolah mengejek dirinya. “Ada apa, Jen?” tanya Ralph basa-basi. Jeno mendekat dan berujar. “Gak ada. Cuma lewat aja dan kebetulan lihat penampakan manusia miris kayak lo.” “Miris?” Ralph mengernyit karena tidak paham maksud ucapan Jeno yang ternyata menyindirnya. “Ya, miris. Menyesal setelah orangnya bahkan udah gak bisa lo gapai lagi,” sarkas Jeno membuat Ralph yang akan kembali menelan cimol langsung terhenti. Ralph menggenggam bungkus cimol itu dengan erat kemudian tersenyum miris. “Lo bener. Gue bahkan baru sadar kalau kehilangan, setelah dia pergi.” “Gue gak akan mukul lo kayak apa yang udah Alvero lakukan sama lo,” Mata Jeno menatap langit-langit dengan pandangan sendu, “karena gue tau luka yang lo dapet dari Ralin lebih besar daripada saat lo di pukul sama Alvero.” “Lagi pula Ralin gak akan suka lihat gue pukul lo kayak yang udah lo dapet dari Alvero. Gue gak mau Ralin benci sama gue karena hal ini,” sambung Jeno kemudian menghela nafas panjang. “Percuma juga gue nyesel, Classica udah pergi bahkan kayaknya gak bakal kembali lagi,” cetus Ralph pasrah. Jeno ingin menceritakan perihal dua orang yang sangat tidak terduga. Sebenarnya hanya satu orang saja karena satu lainnya sangat tidak mungkin untuk melakukan itu. Namun kenyataan di lapangan seperti itu. Tetapi jika dia menceritakan, apakah manusia di depannya ini percaya? “Sebenarnya gu—” “Cleon? Ternyata beneran kamu.” Jeno menghentikan ucapannya saat ada suara seseorang yang memotong, sedangkan Ralph menoleh dan mendapati wajah Mamanya beserta dengan Chloe yang saat ini membawa cukup banyak paper bag. “Mama? Chloe? Kalian ngapain disini?” “Mama tuh sama Chloe habis fitting baju. Terus pas turun dari angkot, eh lihat ada orang jualan gini, ya udah Mama ajak aja mampir,” jelas Andara tanpa disuruh dan tak menyadari jika ada Jeno yang menatap bingung. “Fitting?” Setelah Jeno mengeluarkan suaranya barulah Andara sadar jika tak hanya mereka bertiga yang berada disini. Wanita itu menelisik penampilan Jeno yang sepertinya seumuran dengan anaknya. “Kamu ...?” “Saya temannya Ralph.” Baru kali ini Jeno mau mengakui, lebih tepatnya berpura-pura mengakui karena ingin tau maksud dari ucapan Andara tadi. Chloe yang hanya diam kini langsung merapalkan doa supaya Andara tidak menjelaskan soal pernikahan tersebut. “Oh ... Ini saya habis fitting buat pernikahan Ralph sama Chloe. Acaranya dua minggu lagi karena menunggu pranikah dari gereja yang kebetulan harus mengantri.” Ralph membuang muka saat Jeno menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh ... dua minggu lagi ya, Tante?” Jeno ingin memastikan kembali supaya rencananya bersama dengan Alvero dan Brisia bisa lebih cepat. “Iya.” Jeno kini menatap Ralph sepenuhnya. “Gue bakal selesaikan ini secepatnya. Cari bukti dulu sebelum lo milih buat bertanggung jawab.” pesan Jeno sebelum meninggalkan ketiga orang yang saat ini sibuk menerka ucapan Jeno. “Udah gak usah di pikirin. Mending kita pulang,” alih Ralph karena tak mau Mamanya kepikiran hal macam-macam. Pemuda itu mengambil alih barang bawaan kedua wanita berbeda usia tersebut dan mencegat angkutan umum yang kebetulan lewat. “Bawa motor hati-hati, Ralph.” Ralph tersenyum melambaikan tangan saat angkutan tersebut mulai berjalan meninggalkannya. Sementara Ralph masih duduk di atas motor sembari menikmati cimol yang selalu mengingatkannya tentang Ralin. “Kalau memang kita gak ditakdirkan buat bersama, gue cuma berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa ketemu lagi, Class.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD