Setelah tiba di rumah, Jeno langsung memarkirkan motornya dengan asal. Pemuda itu bahkan tak menghiraukan atau lebih tepatnya tak mendengar sapaan dari satpam yang biasa mengobrol dengannya.
Erland yang sedang bersantai sembari memandangi laptopnya dibuat tercengang saat putranya itu melewati dirinya begitu saja.
“LOH JENO KENAPA?”
Teriakkan itu membuat Mita yang sedang mengeluarkan kue dari oven terkejut. Wanita itu meninggalkan kue buatannya dan berlari ke arah sumber suara.
“Ada apa, Dad? Kok teriak?” seru Mita khawatir.
“Itu Jeno gak tau pulang-pulang langsung lari ke kamar. Mana gak ada salam sama sekali,” cerocos Erland yang tak digubris Mita karena wanita itu langsung berlari menuju kamar anaknya, membuat Erland mendengus dibuatnya.
Mita berlari menuju kamar putranya namun saat akan membuka pintu tersebut, dia mengurungkan niatnya saat mendengar isakan dari dalam.
Anaknya tidak mungkin menangis, kan? Seingat Mita, anaknya itu menangis saat mengingat cerita tentang saudara kembarnya.
Tok! Tok!
“Jeno? Mom boleh masuk?”
Tak ada sahutan dari dalam namun Mita sudah tidak mendengar suara isak tangis lagi. Tak lama terdengar derap langkah kaki diikuti pintu yang terbuka.
“Ada apa, Mom?” tanya Jeno dengan wajah biasa saja seolah tidak terjadi sesuatu.
Mita menerobos masuk kemudian menarik tangan anaknya dan mengunci pintu kamar tersebut. Kali ini dia berhadapan sebagai Ibu dan anak. Bukan sebagai sahabat seperti biasanya.
“Kamu yang ada apa? Mom dengar, kamu menangis. Mau cerita?”
Jeno membuang muka sebelum akhirnya bangkit menuju jendela kamar. Pemuda itu kali ini berbicara dengan Mommy nya dalam suasana serius. Selama ini Mommy nya tidak pernah ia ceritakan tentang apa yang terjadi.
“Hati Jeno sakit pas tau cowok yang Ralin cintai, mau menikah sama cewek lain karena tanggung jawab kehamilan.”
Mata Mita membulat sempurna walaupun anaknya baru bercerita awalan saja. Meskipun awalan, namun Mita tau sebesar apa rasa sakit ditinggal menikah orang yang kita cintai.
“Ni—nikah?”
“Hm. Meskipun Mommy hanya Jeno ceritakan, namun Jeno yakin kalau Mom bisa merasakannya,” ucap Jeno. Tangannya bersandar pada jendela yang saat ini terbuka sebagian.
Mita tidak tau harus berkata apa saat ini. Namun rasa sakit itu, dia bisa merasakannya.
“Tapi Jeno bakal cari bukti secepatnya sama Alvero dan Brisia. Pernikahan masih sekitar dua minggu dan Jeno rasa itu waktu yang cukup buat selesaikan semuanya kalau memang niat,” terang Jeno agar Mommy nya tidak mencari jika sewaktu-waktu dia menghilang karena misi ini.
“Bantu Ralin, nak. Dia sudah seperti Adik kamu, kan?”
Jeno berbalik badan dan tersenyum.
“Ya. Ralin akan selalu menjadi Adik Jeno.”
***
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim, seorang pemuda dengan kacamata yang membingkai wajah tampannya itu berkutat serius dengan laptopnya. Keningnya sesekali mengerut tipis saat membaca sesuatu yang dirasa keliru tersebut.
“Halo? Apa anda yakin dengan data ini?” tanya orang tersebut setelah telepon tersambung.
“Saya 100% yakin, Tuan. Bahkan anak buah saya sudah mengecek terlebih dahulu sebelum saya mengirimkannya kepada anda.”
“Baik, terima kasih.”
Tut
Ke jalan Arum 30 sekarang sebelum gue potong leherr lo!
Sembari menunggu seseorang yang dia hubungi tiba, pria tersebut kembali mengotak-atik file tadi sekaligus berpikir.
Haruskah dia bermain-main terlebih dahulu?
Tidak sampai 30 menit, seseorang yang ditunggu tiba dengan nafas tersengal-sengal. Mata orang itu memicing tak suka dengan perintah yang seenaknya tersebut.
“Lo bener-bener gak tau aturan, ya!” hardik orang itu.
“Duduk.” Tanpa peduli ocehan itu, pria tadi memerintahkan seseorang yang baru saja tiba itu supaya duduk di tempatnya.
“Ada apa? Lo suruh gue cepet cuma buat duduk-duduk doang kayak gini?”
“Apa yang udah lo dapet hari ini?”
Seakan tau maksud dari pria di depannya, dia langsung menjawab.
“Mereka bakal nikah dua minggu lagi.”
“DUA MINGGU??!!” Alvero, pemuda yang memberi perintah itu berteriak karena saking kagetnya. “Sorry. Besalus nikah tanpa cari bukti? Bener-bener otak penyu!”
“Ya itu emang kenyataannya. Dia bahkan tadi nangis pas gue samperin ke lapangan besar.”
Mata Alvero memicing curiga dengan sahabatnya. Seakan tau jika sedang dicurigai, Jeno langsung melotot.
“Gak usah mikir macem-macem! Tadi gue pingin beli baso aci, eh ketemu dia disana. Terus pas mau balik, ada nyokapnya sama Chloe bawa barang banyak dan dia cerita kalau habis fitting baju nikah,” sergah Jeno yang tak mau dianggap penghianat.
“Terus Brisia gimana? Apa yang dia dapet?”
Percayalah, demi misi ini Alvero rela berbicara panjang x lebar x tinggi.
“Gue belum tau. Tapi feeling gue, cewek kayak dia bakal dapet banyak disaat sifat paparazi nya muncul.”
“Iya semua bakal keluar dan lo bakal hancur,” lirih Alvero yang samar-samar bisa didengar.
“Hancur? Siapa hancur?”
“Bukan siapa-siapa. Mending lo balik ke habitat lo,” usir Alvero mengibaskan tangannya.
“Jerk!”
***
Saat ini Brisia sudah memasuki salah pusat perbelanjaan. Niat awalnya sebelum berangkat, dia ingin me-time dengan cara kulineran sampai meledakk. Kali ini dia menyebut me-time karena memang seorang diri, bukan untuk membahagiakan diri sendiri. Sebelum Ralin pergi jauh, biasanya mereka akan menghabiskan waktu akhir pekan berdua dengan cara berbelanja dan membeli apapun dengan kartu yang diberikan oleh Mores. Bukan perihal kartu, tetapi perihal kenangan yang ada. Gadis itu melihat kartu berwarna black yang ada di tangannya. Kartu tersebut milik Mores yang memang diwariskan untuk ketiga sahabat anaknya. Keistimewaan kartu tersebut akan otomatis terisi jika saldonya limit. Namun kali ini, Brisia tak akan lagi memakai kartu tersebut.
Saat akan memasuki salah satu butik, Brisia melihat dua orang manusia yang memang sedang dalam pemantauannya. Niatnya untuk me-time seketika itu juga lenyap karena mengintai dua makhluk itu lebih penting saat ini. Namun saat akan mengikuti, pergerakan kaki Brisia harus terhenti kala matanya melihat seseorang yang sangat ia kenali.
“Bagaimana kabarmu, Aurel? Lalu cucu Daddy, bagaimana keadaannya?” Seorang pria setengah baya menghampiri sosok bernama Aurel itu dengan penuh kerinduan.
Daddy? Cucu?
“Aurel baik, Dad, cucu Daddy juga baik-baik aja. Udah tambah gede sekarang.”
Pandangan pria itu beralih pada gadis yang berada di sebelah Aurel. “Terima kasih sudah menjaga anak Daddy, Diah.”
Diah tersenyum dan mengangguk. “Saya minta maaf jika di sekolah harus menyakiti Aurel hanya karena supaya tidak ketahuan.”
“Tidak masalah.”
Brisia menyelesaikan rekamannya dengan perasaan hancur. Tangannya menyentuh dadanya yang masih berdetak cepat karena takut ketahuan.
Apa lagi ini, Tuhan?
Karena tak ingin ketahuan, Brisia akhirnya berlari menjauh dari tempat tersebut.
Bruk!
“Ssshhhh ...” Ringisan Brisia membuat seseorang yang bertabrakan dengannya kelabakan.
“Ma—maaf saya tidak sengaja menabrakmu.”
“Samuel? Jadi Samuel yang udah nabrak Brisia? Dasar gak sopan!”
Samuel melongo melihat gadis di depannya mengoceh. Dia kira akan ada adegan tampar-menampar seperti yang ada di sinetron. Ternyata justru ia hanya mendengar ocehan seperti ini.
“Kamu tidak marah denganku?”
“Samuel anggep ocehan Brisia ini bercanda? Brisia ini marah ya!!!!” Gadis itu bahkan sudah mencak-mencak karena melihat Samuel yang terus tertawa.
***
Ting!
Sebuah pesan masuk pada ponselnya membuat Ralph harus menghentikan aktivitasnya sejenak. Pemuda itu mengernyit saat melihat sebuah nomor asing mengirimkan file. Karena penasaran, Ralph akhirnya membuka file tersebut.
Awalnya hanya video di sebuah club’ malam. Namun pada menit ke 10, Ralph harus mem-pause layar bergerak itu.
“A—apa?”
***