22. Kegelisahan Andara

1206 Words
Di dalam kontrakan, Andara terdiam sembari memegang dadanya yang terus berdetak. Wanita itu tak tau dengan perasaannya saat ini, namun ia khawatir terjadi hal buruk dengan putranya. Mata Andara melirik jam dinding yang mengarah pada pukul 12 siang. Masih sangat jauh untuk jam kepulangan anak sulungnya. Sedangkan Sela, gadis itu berkata ingin mampir ke panti asuhan seperti biasanya. Andara tak bisa melarang itu karena ia tau jika putri kecilnya bosan tak memiliki teman. Cling! Tiba-tiba saja ia memiliki ide cemerlang untuk menghilangkan segala pemikiran negatifnya. Alhasil Andara memilih menuju dapur untuk memasak banyak makanan. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dibawa ke panti asuhan. Dia akan mengunjungi panti asuhan tempat dimana Sela bermain selama dirinya koma. Dengan cekatan Andara memasukkan satu-persatu bahan masakan untuk diolah menjadi makanan yang sehat. Dia tak akan membawa makanan siap saji untuk anak-anak manis disana. Sekarang Andara sudah tak khawatir perihal uang karena semenjak putra sulungnya bekerja menjadi bodyguard, kehidupan mereka sedikit demi sedikit berangsur membaik. Setelah masakannya siap semua, Andara segera berganti pakaian dan keluar menuju panti asuhan. Kali ini Andara menggunakan bus supaya lebih berhemat. Andara menatap jalanan Ibukota yang semakin hari, semakin padat merayap. Sekitar 20 menit bus yang ditumpangi Andara berhenti di salah satu halte. Andara segera memberikan uang pada kernet yang berada di sebelahnya dan turun di halte tersebut. Langkah kaki Andara melewati lapangan kosong supaya bisa cepat sampai di panti. Bruk! Sayang seribu sayang. Karena jalanan yang sedikit bergelombang, Andara tersungkur dengan tak elite. Wanita itu meringis hingga tak lama ada seseorang yang mengulurkan tangannya. Kepala Andara mendongak dan badannya seketika menegang saat mendapati wajah pria tersebut. Tanpa menerima uluran tangan dari pria itu, Andara bangkit membawa barang-barangnya dan berlari menjauh. Andara tak mau bertemu dengan pria itu lagi. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk menghindar demi kebaikan bersama. “Hufffttt ...” Helaan nafas lega terlontar dari bibir Andara saat sudah berada di depan panti asuhan. Wanita itu segera mengetuk pintu dan beruntung ada penghuni yang mendengarnya. “SEBENTAR!!” Pintu terbuka menampilkan seorang wanita setengah baya yang tersenyum ke arahnya. Andara membalas senyuman itu dan melangkah masuk setelah dipersilahkan oleh wanita tadi. “Bu, ini saya bawakan makanan untuk anak-anak,” kata Andara. Tangannya menyerahkan bungkusan berisi makanan yang sudah dimasak Andara. Bu Alya tersenyum bahagia. “Wah ... Terima kasih sekali, Bu Andara. Oh iya, Sela sedang istirahat siang. Sudah sejak tadi sepertinya.” “Tidak masalah, Bu. Saya ingin berkunjung kesini karena kebetulan juga ada rezeki lebih,” ucap Andara. “Mama ...” Saat sedang mengobrol, suara lemah Sela menginterupsi. Gadis kecil itu terbangun kala mendengar suara Mamanya. “Sini sayang,” panggil Andara. Sela langsung berlari dan memeluk leher Andara. “Ngantuk ya?” Kini Sela sudah berada dalam pangkuan Andara. Mata gadis itu kembali terpejam saat Andara dengan sengaja menggoyangkan badannya. Bu Alya sedang berpamitan karena ingin menyiapkan minum serta makanan yang sudah dibawa oleh Andara untuk dimakan bersama dengan anak-anak panti. Tiba-tiba suara tawa anak kecil saling bersahutan memenuhi indera pendengaran Andara yang tak lama disusul gesekan antara lantai dan telapak kaki. Benar saja, kini anak-anak panti mulai terlihat dengan wajah cerianya sembari memegang roti. “Lia mau Kakak.” “Jangan terlalu banyak makan coklat, Lia!” Andara dibuat terkekeh saat melihat perdebatan dua anak berbeda jenis itu. Wajah mereka terlihat bahagia sekalipun tak pernah mengerti bagaimana sosok orang tuanya. “Bu Andara, mari di cicipin dulu.” Bu Alya tiba dengan membawa sepiring roti dan segelas teh hangat. “Jadi ngerepotin saya, Bu,” kata Andara sungkan. Wanita itu mengambil segelas teh hangat dan menyeruputnya pelan. “Eunggghhh ...” Lenguhan yang cukup keras disertai pergerakan kecil menandakan jika Sela mulai terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengerjapkan matanya pelan. “Mama, Sela ada dimana?” Bu Alya yang melihat itu langsung terkekeh kecil. “Bu Alya, Adek Lia dari tadi makan coklat terus!” Salah satu dari bocah yang tadi berdebat, kini menghampiri Bu Alya dengan wajah cemberut. “Eh? Lia, benar apa yang dikatakan Kakak Rio?” tanya Bu Alya lembut. Wanita yang tak memiliki suami itu begitu menyayangi anak-anaknya sekalipun mereka semua bukanlah anak kandung. “Lia mau, Bu ... Sudah lama Lia ndak makan coklat,” jawab Lia dengan kepala menunduk. Sementara Sela melihat itu sembari memeluk Andara erat. Gadis kecil itu merasa lebih bersyukur karena memiliki Ibu kandung dibandingkan anak-anak panti disana. *** “Ralph! Tunggu Ralph!” Dalam hati, Ralph hanya bisa menggumamkan kata 'sabar' untuk hari ini. Dia heran dengan kegigihan Cindy dalam mendapatkannya. Pemuda itu melangkah lebih cepat bersama dengan Zigo yang selalu berada di sampingnya. “Lo gak bisa diemin dulu tuh cewek?” Pertanyaan menyebalkan itu membuat Ralph mendengus. “Ogah. Apaan banget berurusan sama dia,” tolak Ralph mentah-mentah. Wajah pemuda itu terlihat sangat keruh karena gangguan dari gadis yang selalu mengganggunya itu. Hingga wajah itu berubah cerah saat melihat Ralin berada di salah satu bangku di kantin. Langkah Ralph semakin cepat mendekat hingga senyuman itu berganti menjadi raut datar saat mendapati seorang pemuda yang tadi pagi nempel dengan gadisnya. Zigo yang melihat arah pandang sahabatnya berusaha sekali menahan tawa. Dia juga tak bisa menyalahkan Ralin karena semua berawal dari Ralph. “Classica,” panggil Ralph. Bukan hanya Ralin yang menoleh, namun para sahabatnya termasuk Januar dan Samuel juga menoleh setelah mendengar bariton yang menginterupsi. Ralin mengangkat sebelah alisnya sebagai tanggapan. “Mau makan apa? Gue pesenin,” tawar Ralph. Pemuda itu memberanikan diri duduk di sebelah Ralin. Tak menjawab tawaran Ralph, gadis itu justru mengangkat realfood di tangannya. Melihat itu Ralph menghela nafasnya. Susah sekali gadisnya itu jika disuruh makan. Dengan inisiatif dari dirinya sendiri, Ralph melangkah menuju penjual nasi goreng di sekolahnya. Ralin yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Ralph hanya mengangkat bahunya. Mungkin saja Ralph sedang lapar. “Lin, ini enak banget. Asli deh.” Jeno mengangkat piring berisikan batagor dengan bumbu kacang dan sambal. Sungguh nikmat jika melewati tenggorokan memang. Mencoba acuh, Ralin melengos tak peduli dengan ucapan Jeno. Gadis itu kembali menenggak realfood strawberry kesukaannya. Namun bukan Jeno jika tak memancing keributan. Pemuda itu kembali melayangkan sendok ke hadapan Ralin hingga gadis itu geram sendiri. “MAU APA SIH LO?!” Teriakan itu benar-benar membuat seisi kantin menoleh. Mereka saling berbisik mengenai apa yang terjadi. Hingga tak lama Ralph kembali dengan sepiring nasi gorengnya. “Gue harap lo mau makan, Class. Gue gak mau lo sakit.” Dalam diamnya, Jeno mencibir tingkah caper Ralph untuk sahabatnya. Hatinya sudah tertawa sarkas sejak tadi karena ia berpikir jika murid besalus itu akan diamuk seperti dirinya. Namun pemandangan selanjutnya, benar-benar membuat Jeno membuka matanya lebar-lebar. “Eum, lo gak makan juga?” tanya Ralin kikuk. Alvero sampai dibuat heran dengan perubahan sifat sahabatnya. Namun pemuda itu lebih memilih diam dan menyimak tontonan di depannya. “Tunggu lo dulu. Gue gak –” Ucapan Ralph terhenti saat tiba-tiba saja Ralin menyodorkan sesuap nasi goreng ke bibirnya. Yang lebih mengejutkan lagi, setelahnya gadis itu juga memakan nasi goreng dari sendok yang sama. “Kenapa lo semua lihatin gue kayak gitu?” ketus Ralin saat menyadari tatapan teman-temannya. “I—itu Ralin pake sendok?” Alis Ralin menukik karena ucapan Brisia yang tak lengkap. “Apa sih?” katanya kemudian kembali melanjutkan kegiatan makannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD