31. Keegoisan Seorang Ralph

1149 Words
Apa yang kalian pikirkan tentang Ralph saat ini? Egois? Seenaknya? Atau kalian marah? Mungkin kalian akan merasa dongkol dengan sifat plin-plan yang dimiliki Ralph. Namun itu adalah hal wajar untuk remaja sepertinya yang memiliki sifat labil. Tidak hanya Ralph, namun semua remaja biasanya memiliki sifat seperti itu. “Cleon ... Kenapa kamu bicara seperti itu sama Ralin? Dia kekasihmu, wajar kalau cemburu,” tutur Chloe dengan suara lembutnya. Ralph yang tadinya sibuk meletakkan helm, langsung menatap sepenuhnya pada Chloe. Gadis yang menurut Ralph, hatinya sangat bersih dan baik. “Lo kenapa bisa sebaik ini sama Classica? Dia bahkan udah ngehina lo segitu parahnya, Chloe!” tegas Ralph tak habis pikir. “Ya tap—” “Ssssttt ...”Ralph memotong ucapan Chloe dan berlalu lebih dulu masuk ke dalam kontrakan. “Shalom ... Ma???” Apa yang kalian pikirkan saat ini? Iya, Ralph membawa Chloe ke rumah kontrakannya. Ralph berpikir jika Chloe yang hidup sebatang kara sangat membutuhkan peran seorang Ibu disaat seperti ini. “Ralph? Kok jam segini sudah pulang, nak?” Andara bertanya dengan raut heran yang sangat kentara. Wajar saja karena waktu masih menunjukkan pukul 10.30 siang sedangkan jam pulang sekolah seharusnya pukul 15.00. Ralph menyalami tangan Mamanya sopan kemudian menjawab. “Iya, Ma. Ralph bawa Chloe, dia lagi sakit.” Pandangan Andara berpendar hingga mendapati sosok gadis dengan penampilan sederhana namun terkesan lembut. Wanita cantik itu menyunggingkan senyum karena menyadari jika Chloe terlihat kikuk. “Ayo masuk cantik,” ucap Andara merangkul bahu Chloe memasuki kontrakan sederhana miliknya. Di belakang Ralph hanya bisa berdecak kesal karena dihiraukan. “Ralph, kamu ganti baju dulu sana. Mama mau siapin makan siang dulu.” Sebelum benar-benar bangkit, Andara merasakan jika tangannya dicekal Chloe. Wanita itu menatap gadis di depannya heran. “Ada apa, nak?” tanya Andara lembut. Chloe memilin jarinya gugup. “Boleh saya bantu, Tante?” Senyum Andara merekah karena permintaan gadis lembut tersebut. “Tentu saja. Ayo.” Andara kembali merangkul Chloe menuju dapur sementara Ralph langsung menuju kamarnya karena ingin berganti pakaian. Di dalam kamar, Ralph termenung menatap kosong cermin besar di depannya. Ia merasa bersalah dengan gadisnya, namun rasa bersalah terhadap Chloe lebih besar. Apa masih pantas ia menyebut Ralin sebagai gadisnya? Tentu saja, tidak ada kata putus diantara keduanya. Ucap Ralph dalam hati dengan percaya diri. Karena pusing dengan segala yang terjadi, Ralph akhirnya segera melepaskan seragam yang melekat pada tubuh idealnya. Meskipun bukan dari kalangan berada, Ralph termasuk pemuda dengan ketampanan yang tidak diragukan lagi. Tok! Tok! Ketukan pada pintu kamarnya membuat Ralph mempercepat kegiatannya dalam berganti pakaian. Sebelum benar-benar keluar, Ralph terlebih dahulu mengacak poninya yang mulai memanjang supaya tak menutupi matanya. Cklek! “Loh, Chloe? Kenapa?” kaget Ralph saat mendapati bukan Mamanya yang mengetuk pintu. Chloe tersenyum kecil kemudian menjawab, “Aku disuruh Mama kamu buat panggil anaknya.” “Oh ...” Bibir Ralph membulat paham kemudian segera mengajak Chloe untuk menghampiri Andara yang terlihat menata makanan di tikar. “Tadi Mama yang minta tolong sama Chloe buat panggil kamu. Ngomong-ngomong dia pandai sekali masaknya. Kayaknya kamu bakal cocok makan masakan Chloe,” celetuk Andara sekaligus bercerita. “Kan Chloe pernah satu tempat kerja sama Ralph, Ma ... Udah pasti dia bisa masak,” dengus Ralph seraya memutar kedua bola matanya. Andara terkekeh geli setelah melihat wajah anaknya yang terlihat kesal. Sementara Chloe hanya bisa menatap kedua orang itu miris karena dia sudah tak punya keluarga lagi. Hidupnya sebatang kara ditambah sekarang menderita sebuah penyakit yang sangat berbahaya. “Jangan ngelamun, Chloe,” tegur Ralph. Dia sadar jika Chloe tengah bersedih dilihat dari matanya yang berkaca-kaca. Gadis itu tersentak pelan kemudian menggeleng. “Ya sudah ayo makan,” ajak Andara yang lebih dahulu duduk. Melihat jika Andara sudah duduk dengan manis, kedua remaja itu segera ikut di bagian yang lain. Mereka bertiga memulai makan dalam keadaan hening, seperti adab pada umumnya. “Makan yang banyak kalian berdua. Ralph, itu Chloe nya ambilkan lagi,” kata Andara seraya menyendok sayur cah kangkung kesukaannya. “Udah Tante, kebanyakan,” tolak Chloe yang sebenarnya sungkan dengan kebaikan berlebih Mama temannya itu. Andara pasrah dengan penolakan gadis tersebut. *** Pukul 19.00 Mores baru saja memasuki istana kesayangannya. Pria tampan yang sayangnya tidak memiliki pasangan hidup itu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan yang baru saja dia datangi. Keningnya mengerut saat mendapati lantai 2 mansion nya terlihat sepi. “Mbak!” panggil Mores pada salah satu ART yang sedang melintas. Mendengar panggilan dari Tuan besarnya, wanita yang dipanggil 'Mbak' karena memang Mores tak hafal nama Art di rumahnya itu langsung menghampiri. Wanita itu menunduk setelah berada di depan Mores sebagai bentuk rasa sopan terhadap majikan. “Ada apa, Tuan?” tanya Shinta, panggilan wanita itu dengan segan. “Dimana Ralin? Apa dia di rumah? Saya lihat rumah seperti tak berpenghuni,” cecar Mores beruntun membuat Shinta pusing sendiri. “Sebentar Tuan ...” Ucapan Shinta yang menggantung membuat Mores menaikkan sebelah alisnya. “Nona Ralin di kamarnya sejak pulang sekolah, Nona Ralin tentu saja ada di rumah, tentu saja disini sepi karena memang jam malam seperti ini para ART hanya akan mondar-mandir jika mempersiapkan makan malam saja. Sekian.” jelas Shinta panjang dan penuh sopan-santun. Mores menggaruk dagunya seolah berpikir, kemudian berlalu tanpa sepatah katapun saat otak cerdiknya mengingat sesuatu. “Punya majikan kaya dan songong emang perlu sabarrrrrrrrr,” ucap Shinta dramatis. Di umurnya yang sudah tidak muda lagi, wanita itu tentu tau perkembangan zaman karena ia tak pernah sedikitpun melewatkannya. Apalagi ia juga memiliki majikan seorang artis, tentu sedikit-sedikit tau apa yang sedang booming saat ini. Sedangkan Mores, terus bersabar menunggu lift yang bergerak menuju lantai 8 tempat dimana anaknya menghabiskan waktu untuk tidur alias kamar pribadi putrinya. Ting! Dentingan lift disusul pintu yang terbuka menjadi tanda jika Mores Harus segera turun. Pria itu meletakkan asal jas dan tas kerjanya di sofa yang berada di dekat kamar putrinya. Tok! Tok! Gerakan lembut Mores ketika mengetuk pintu, tak membuat si pemilik kamar segera membuka. “Ralin?” panggil Mores dari balik pintu. Pria itu berdecak karena tak mendengar tanggapan dari putrinya. Karena malas menunggu lama dan khawatir dengan keadaan putrinya yang beberapa hari ini terlihat aneh, Mores langsung memegang kenop pintu. Cklek! “Lah? Gak dikunci?” Mata Mores mendelik karena shock dengan hal baru seperti itu. Selama ini Ralin selalu mengunci pintu kamar dan tak pernah seperti ini, kecuali .. Buru-buru Mores mendesak masuk karena pikirannya sudah melanglang buana. Saat berada di kamar bernuansa putih itu, helaan nafas lega terlontar dari bibir Mores saat melihat ada seonggok daging sedang tidur membelakanginya. Tak sepenuhnya lega sebenarnya karena ia merasakan sesuatu yang ganjil terjadi pada putrinya. Hingga sebuah suara membuat kecurigaan Mores semakin kuat jika ada sesuatu dengan putrinya. “Kenapa lo egois?” Perkataan itu disusul dengan isakan kecil dalam tidur indah Ralin. Mores yang mendengar langsung mengepalkan kedua tangannya karena anaknya itu tidak pernah menangis. Menurut penglihatan Mores. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD