Ralph memijit pangkal hidungnya yang terasa pusing setelah mengingat ucapan Mamanya semalam. Bagaimana mungkin wanita itu menerima bantuan orang tanpa bertanya namanya terlebih dahulu? Harus kemana ia mencari seseorang yang sudah membayarkan hutang kepada Ibu kontrakannya?
Tak mau semakin pusing, Ralph memilih keluar dari kamar setelah dirasa seragam sekolahnya rapi.
“Ralph,” seru Andara yang baru saja keluar dari kamar Sela.
“Kenapa, Ma?” Ralph berjalan menghampiri Mamanya.
“Apa kamu masih kepikiran soal pemuda yang membayarkan uang kontrakan kita?” tuding Andara langsung. Ralph mengangguk sebagai jawaban.
“Tentu saja. Ini sama aja kita berhutang sama dia, Ma,” tutur Ralph.
Sela yang baru saja keluar dari kamar langsung menghampiri Mama dan Kakaknya.
“Selamat pagi, semua,” sapa Sela dengan suara lucunya.
“Pagi anak cantik,” sahut Andara terkekeh. Wajah Sela merona karena pujian Mamanya.
“Aaaaaa!!!” Sela berteriak karena merasa badannya melayang.
“Ish Kakak!” kesal gadis kecil itu. Wajah menggemaskan tersebut membuat Ralph terbahak.
“Yok sarapan.” Ralph membawa Sela menuju ruang tengah diikuti Andara yang langsung melipir ke dapur.
Sembari menunggu Andara menyiapkan sarapan, Ralph sedikit berbincang mengenai sekolah Adiknya yang membuat Sela bisa bercerita dengan bebas.
“Waktunya makan!” Andara berseru membawa nampan berisi tiga piring nasi goreng.
Ketiganya makan dalam keadaan hening sembari menikmati masakan itu melewati lidah mereka. Masakan Andara memang tak dapat diragukan lagi. Setelah selesai dari kegiatan makannya, Ralph bangkit bersama Sela yang berniat diantarkan ke sekolah.
“Ayo Sela.” Ralph mengulurkan tangannya bersiap mengangkat badan mungil Sela.
“Ndak Kak. Sela sama Mamanya Seli,” cegah Sela saat Ralph mengulurkan tangan.
Kening Ralph menukik karena ucapan Adiknya. Seli? Siapa lagi itu? Apa kembaran Sela? Ralph segera menepis pikirannya yang ngelantur tersebut.
“Ya sudah. Jadi, Kakak harus tunggu Sela?”
Sela menggeleng lucu. “Ndak usah, Kak. Sela tunggu Seli aja.” Gadis itu mendorong kecil kaki Ralph supaya segera berangkat.
“Baik lah. Sini kiss dulu.” Ralph mengecup pipi merah Adiknya kemudian menstarter motornya.
“Bye, Kak.”
Ralph menikmati pagi hari dengan siulan ringan. Hari ini dia sangatlah bahagia karena tepat satu minggu sudah menjalin kasih dengan Ralin. Bahkan selama seminggu ini, gadis itu selalu memintanya untuk menemani ke tempat shooting.
Tin!
Bunyi klakson cukup memekakkan telinga membuat Ralph tersadar dan mengerem motornya mendadak. Jantungnya berdetak cepat kala melihat seorang perempuan terduduk di trotoar. Karena dia tidak suka lari dari tanggung jawab, Ralph akhirnya turun dari motor guna membantu perempuan tersebut.
“Sorry, gue bener-bener gak sengaja,” sesal Ralph membantu perempuan yang masih menundukkan kepalanya tersebut.
Perempuan itu meringis kemudian mengangkat kepalanya. Kali ini, tak hanya perempuan itu yang terkejut saat melihat wajah pemuda di hadapannya tetapi Ralph juga.
“Cleon?”
“Chloe?”
Keduanya berseru bersamaan karena memang saling mengenal. Mengetahui siapa yang ditabraknya, rasa bersalah Ralph semakin besar.
“Gue antar ke rumah sakit, ya?” tawar Ralph tak tega.
“Gak usah Cleon, aku gak papa kok,” tolak Chloe dengan suara lembutnya. Siapa saja yang mendengar suara Chloe pasti akan terpanah.
Ralph tak peduli dengan penolakan Chloe, justru dia menggendong gadis itu ke jok motornya dengan sangat hati-hati. Chloe yang diperlakukan seperti itu hanya bisa pasrah.
“Harusnya gak perlu Cleon, kamu bisa terlambat ke sekolahnya,” ucap Chloe sebelum motor melaju.
“Udah gak masalah,” balas Ralph menjalankan motornya dan lupa jika Ralin sudah menunggunya di rumah.
Sementara di kediaman Millano
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit, namun seseorang yang ditunggu tak kunjung tiba. Berkali-kali Ralin menghubungi seseorang di seberang sana, namun tak ada tanggapan.
“Ini orang kemana sih? Gue udah telat astaga ...” Ralin mengacak rambutnya dongkol. Kembali ia menghubungi Ralph namun tak ada tanggapan dari sebrang sana. Karena sudah terlambat, Ralin memutuskan untuk kembali memasuki rumah daripada dihukum oleh guru BK di sekolahnya yang sudah mirip malaikat maut tersebut.
“Non kok nggak berangkat?” tanya seorang ART.
“Udah telat, Bi. Tuh manusia gak jemput,” balas Ralin kemudian melanjutkan langkahnya menuju lift.
Setibanya di kamar, tanpa berganti seragam Ralin langsung merebahkan dirinya di queensize kesayangannya. Pikirannya menerka-nerka kemana perginya sang kekasih.
Kekasih?
Ralin menggeleng aneh. Memang benar Ralph adalah kekasihnya, tetapi apa perlu ia mengingatnya?
***
Di kontrakan kecil, Ralph terlihat sibuk melayani Chloe yang kakinya terluka. Dia bahkan melupakan kewajibannya untuk Ralin. Seharusnya dia ingat jika Ralin harus dijaga.
“Cleon, kamu kembali aja gak papa,” ucap Chloe pelan. Sesekali gadis itu meringis kala Ralph mengobati lukanya.
“Udah gak usah ribet sama gue, Chloe. Ini udah jadi tanggung jawab gue karena nabrak lo,” jawab Ralph. Mau tak mau Chloe mengangguk.
Sebenarnya Chloe sangat bahagia bisa ditemani Ralph seperti ini. Namun dia juga tak mau egois dengan mengorbankan sekolah Ralph.
“Kenapa lo ngelamun? Apa ada yang sakit?” teguran itu membuat Chloe segera menoleh.
“Enggak.”
“Cleon, kamu beneran pacaran sama artis itu?” tanya Chloe hati-hati, takut Ralph tersinggung.
Ralph yang akan bangkit seketika teringat dengan gadisnya.
“Iya, gue pacaran sama Classica.”
Chloe yang mendengar itu hanya mampu tersenyum pedih. Cintanya pada Ralph bertepuk sebelah tangan.
“Oh, selamat ya.”
Ralph mengangguk. “Lo masih ada yang dibutuhkan gak?”
“Eum sebenarnya ada sih,” jawabnya kikuk.
“Apa yang lo butuhkan? Bilang aja, biar gue beliin,” tawar Ralph bertanggung jawab.
“Aku butuh kamu temenin aku disini sampai kaki aku membaik,” cicit Chloe menunduk.
Ralph terdiam sebentar seraya berpikir. Namun tak lama karena pemuda itu mengangguk membuat senyuman Chloe melebar.
“Terima kasih, Cleon.”
***
Malam hari ini, Ralin disidak oleh Mores yang kebetulan ada dirumah. Pria tampan itu terus menatap anaknya dengan pandangan mengintimidasi.
“Kamu tadi bolos, Alin?” tanya Mores tajam. Ralin langsung menggeleng tegas.
“Alin gak bolos, tapi tadi lebih milih gak sekolah karena terlambat.”
Alis Mores menukik setelah mendengar jawaban sang anak, “Kenapa? Kamu ada shooting?”
“Gak ada, Pa.”
“Lalu?” Mores masih menatap anaknya menuntut. Tatapan itu membuat Ralin mati kutu.
“Besalus gak jemput, Pa. Sedangkan jam udah hampir setengah 8,” kilah Ralin.
“Sekolah itu mahal nak. Jangan karena gak dijemput, kamu jadi punya alasan buat bolos,” tukas Mores masih tak menerima jawaban sang anak.
“Bukan alasan, tapi emang jam nya udah gak memungkinkan buat Alin berangkat,” bantah Ralin. Dia tak salah!
Mores tak mau menanggapi penjelasan anaknya. Pria itu lebih memilih melenggang, meninggalkan Ralin yang membisu.
“Gue kecewa sama lo, Ralph.”
“RALIN! LIN!” Teriakan dari lantai 1 membuat Ralin segera mengecek. Nafasnya terdengar lelah saat melihat Jeno yang tersenyum lebar.
“Kenapa?” balasnya malas. Kepala Ralin menengok dari pembatas tangga.
“Sini atuh, gue mau nanya-nanya nih,” seru Jeno melambaikan tangan.
“Ogah. Gue mau tidur.” Gadis itu berlalu menuju kamarnya. Toh, dia sudah yakin jika Brisia dan Alvero akan segera menyusul juga.
***