Januar yang merasa bosan berada di apartemen, memutuskan untuk berkeliling di Ibukota dengan jalan kaki. Samuel tak bisa menemaninya karena sedang ada urusan dengan Omega yang berada di Indonesia. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku supaya tak terpapar panasnya matahari. Meskipun sudah sore, tetapi panas disini sangat tak wajar.
Langkah kakinya memasuki area taman yang ramai di datangi pengunjung sore ini. Matanya melihat seorang penjual es teh yang cukup menyegarkan.
Wush
Tak sampai dua detik, kini Januar sudah berada di samping penjual es teh, membuat pria yang sedang mewadahi es itu terkejut karena kedatangan Januar yang tiba-tiba.
“Aden kapan sampai? Perasaan tadi gak ada yang jalan kesini?” ujar penjual es tersebut.
“Saya mau es satu, Pak,” ucap Januar tanpa peduli kebingungan pria tua di hadapannya. Dia tak ingin jati diri sebagai seorang Alpha terbongkar.
Penjual itu mengangguk segera membuatkan pesanan pelanggannya. Setelah selesai, Januar menyerahkan selembar uang sepuluh ribu dan melesat pergi.
“Ini kembalian –” Penjual tersebut bingung lantaran tak melihat pelanggannya tadi. “Ini kembaliannya masih banyak sekali.” ucapnya pada diri sendiri.
Januar duduk di salah satu bangku taman sembari menikmati es teh tersebut. Matanya sesekali terpejam saat minuman tersebut melewati kerongkongannya.
Deg Deg
Jantungnya berdetak cepat tanpa aba-aba membuat Januar bingung sendiri. Matanya mengedar guna memastikan apa yang terjadi. Saat menatap sebuah titik, mata Januar membola sempurna.
Wush
Pyar
Bruk!
Januar dan seseorang yang saat ini berada dalam pelukannya, tersungkur di lantai. Beruntung ketika mata Januar menangkap sebuah keganjilan sehingga tak ada korban.
“Lo siapa sih? Lepasin gue!” Seseorang yang tadi ditolongnya meronta-ronta.
“Maafkan saya. Tadi ada peralatan shooting yang jatuh dan hampir menimpamu,” jelas Januar agar tak terjadi salah paham.
“Class, sini. Lo gak terluka kan?” Seorang pemuda membantu gadis yang tadi ditolong Januar.
“Gue gak kenapa-kenapa. Cuma tangan gue agak lecet aja,” jawab gadis tersebut.
Tiga orang diduga teman dari gadis tadi menghampiri dengan raut khawatir. Salah satu diantaranya memutar tubuh gadis tersebut karena ingin memastikan sesuatu.
“Ralin gak ada yang parah kan? Sini Bris obatin,” kata gadis yang menyebut dirinya 'Bris' tersebut.
“Cuma lecet.”
“Thanks udah bantu sahabat gue. Kenalin gue Jeno,” ucap salah satu pria yang wajahnya terlihat paling ramah diantara lainnya. “Mereka semua sahabat gue, kecuali tuh cowok satu.” Lanjutnya menunjuk Ralph yang sibuk membersihkan baju gadis yang tadi terjatuh.
“Saya Januar.” Januar mengulurkan tangan.
“Brisia.”
“Alvero.”
“Gue Ralph.”
“Gak ada yang nanya nama lo,” tukas Jeno sinis.
“Social Distancing. Gak perlu salaman segala,” skeptis Ralin membuat tangan Januar kembali diturunkan.
“Tidak masalah,” balas Januar.
“Lin, yang sopan,” tegur Jeno.
“Lo sendiri gak bisa sopan sama cowok gue,” tekan Ralin membuat Jeno bungkam.
Sepertinya Ralin beneran udah buka hati buat tuh besalus. Batin salah satu diantara ketiga sahabat Ralin.
“Ralph, ayo duduk sana. Lo juga Bris,” ajak Ralin membuat Brisia bersorak. Gadis itu mengira jika Ralin akan melupakannya.
“Gue gak diajak?” Jeno tersenyum miris.
“Lo kan sibuk sama kenalan baru lo. Mending lo main sama dia aja,” tukas Ralin berlalu terlebih dahulu.
Alvero segera menepuk bahu Jeno. “Jangan bikin Ralin kecewa sama sikap lo.” Setelah itu, Alvero mengikuti langkah kedua sahabatnya dan duduk bersama di sebuah kursi panjang.
Di tempatnya sekarang, Bro Andro menghampiri Ralin dengan raut khawatir. Tak dapat dipungkiri ia juga takut jika rumah produksi nya dituntut oleh keluarga Millano karena kelalaiannya kali ini.
“Ralin, apa ada yang terluka?”
Ralin yang tadinya mengobrol langsung mendengus. Ia tau jika Andro tak benar-benar khawatir padanya. Semua hanya bentuk formalitas dan takut dituntut keluarganya.
“Kalau Bro Andro bertanya hanya untuk melindungi nama baik PH, mending Bro diem aja. Saya masih bisa nafas sampai saat ini!” tuding Ralin muak. Menurutnya, semua orang tak ada yang benar-benar peduli padanya.
“Class,” tegur Ralph yang tak dipedulikan Ralin.
“Tapi –”
“Kalau Bro Andro takut saya ngadu, tenang aja. Saya bukan manusia yang seperti itu. Hanya saja, di sekeliling pasti sudah banyak mata-mata Papi yang ngawasin saya.”
Andro terdiam.
Benar, sekalipun gadis itu tak bercerita, pasti mata-mata keluarga Millano yang mengadu.
“Baiklah. Maaf atas kelalaian tim.” Setelah itu Bro Andro melenggang pergi karena merasa urusannya telah selesai.
“Sejujurnya gue muak sama manusia kayak Bro Andro. Mereka minta maaf bukan karena tulus, tetapi takut terjadi sesuatu sama bisnisnya,” curhat Ralin sadar.
Ralph, Brisia, serta Alvero hanya diam mendengarkan curhatan gadis itu. Mereka membiarkan Ralin mengeluarkan segala uneg-uneg nya. Tanpa diduga setelah mengeluarkan isi hatinya, Ralin bangkit dari duduknya dan berjalan menuju motor.
“BESALUS!! AYO BALIK!!” Ralph langsung melipir mengejar gadisnya sebelum kembali mengamuk. Menenangkan Ralin yang mengamuk sangatlah sulit sehingga dia harus bisa membuat Ralin diam.
***
Di sebuah kontrakan sederhana, Ralph menikmati makan malam bersama dengan Mama dan Adiknya. Mereka bertiga menikmati makanan yang sangat lezat tersebut diiringi candaan ringan.
“Ma, Bu Ratih masih suka kesini gak?” tanya Ralph disela makannya.
Kegiatan Andara terhenti kala mendengar pertanyaan anaknya. Dia belum sempat bercerita kejadian beberapa hari lalu dimana Bu Ratih meminta uang bulanan dan ada seorang pemuda yang membantunya. Andara lupa ditambah sang anak selalu pulang sangat malam setiap harinya.
“Sebenarnya ... beberapa hari lalu Bu Ratih minta uang kontrakan yang belum dibayar, Ralph,” jelas Andara pada akhirnya.
Ralph yang mendengar itu bersiap bangkit dari duduknya, namun keburu dicegah oleh Andara.
“Mau kemana, Ralph?” cegah Andara.
“Mau ambil uang kontrakan, Ma,” ucap Ralph meskipun bingung dengan cegahan yang dilakukan Mamanya.
“Gak usah.”
“Loh? Kok gak usah? Nanti kita diusir loh,” gurau Ralph karena merasa lucu dengan ekspresi Mamanya. Orang mau bayar kok dilarang?
Andara ragu untuk menceritakan tentang uang tersebut. Namun, dia tak ingin jika uang itu harus diberikan lagi untuk Bu Ratih.
“Waktu Bu Ratih marah-marah, ada pemuda seusia mu yang membayarkan kontrakan kita.”
“APA? BU RATIH MARAH-MARAH?” Ralph berteriak karena tak suka jika Mamanya dimarahin. Dia telat bayar hanya sehari, itupun karena tak ada waktu untuk ke rumah pemilik kontrakan.
Mata Sela mengerjap karena teriakan Kakaknya. Gadis cilik itu bingung karena reaksi sang Kakak terlalu lebay.
“Jangan teriak, Ralph. Iya memang Bu Ratih marah, tapi jangan kesana nak. Gak boleh begitu dengan yang lebih tua,” tutur Andara memberitahu. Ralph menghela nafas mencoba mengontrol emosinya.
“Oke. Terus siapa yang bayar kontrakan kita? Kata Mama pemuda? Namanya siapa?” cerocos Ralph membuat Sela semakin pusing.
“Nah itu Mama gak tau. Belum sempat tanya namanya.”
“HAH?”
***