67. Malam Itu

1139 Words
Chloe memegangi pipinya yang terasa kebas akibat tamparan Andara. Wanita itu masih tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi hingga tiba-tiba dia langsung ditampar begitu saja. “Ke—kenapa Tante tampar Chloe?” “Kamu tanya kenapa?” Andara masih menyempatkan diri untuk tersenyum manis. “KAMU MEMBOHONGI SAYA DAN JUGA MERUGIKAN ANAK SAYA!” Deg! Seketika itu juga jantung Chloe berdetak cepat namun masih saja dia harus berpikir positif. Mungkin saja ini persoalan lain yang tanpa dirinya sengaja menyakiti hati Andara. “Gak usah pura-pura lagi, ya, AUREL!” Brisia yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Chloe mundur selangkah kala Brisia memanggilnya dengan sebutan itu. Apakah mereka— “Bedebahh! Lo udah bikin sahabat gue pergi dari sini! Mana sahabat lo yang biasa lo panggil Diah, hah? Bawa sini!” teriak Brisia. Jeno segera mendekati Brisia dan merangkul sahabatnya itu. Jika seperti ini, Brisia hanya butuh sandaran supaya emosinya tidak semakin membludak. “Apa maksud kamu?” Chloe belum mengetahui jika semua yang ada disana sudah melihat kejadian sesungguhnya meskipun pria yang menjadi lawan Chloe saat itu sudah di blur. Ralph bangkit dari duduknya dan berjalan pelan mendekati Chloe. “Kebaikan gue selama ini, lo pergunakan seenaknya. Iya?” “Enggak!!!” panik Chloe saat melihat Ralph yang ternyata terlanjur kecewa. “Kamu harus percaya Cleon, aku gak pernah bohong!” Setelah mengatakan itu, Chloe langsung memegangi perutnya yang terasa kram. “Tolong ...” Andara yang tidak tega langsung membawa Chloe duduk namun hawa dingin dari wajahnya masih jelas sekali. “Siapa Ayahnya, nak?” tanya Andara lembut. Keempat remaja yang saat ini melihat drama itu hanya bisa mendengus. Kenapa gak langsung sat-set-sat-set gitu? “Cleon, Tante,” kekeuh Chloe tak mau jujur. “Gue gak pernah ngerasa tidur sama lo!” tukas Ralph marah. Urat-uratnya bahkan sampai menonjoll karena emosi yang ditahannya. Chloe meraung karena takut jika Ralph tidak memercayainya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai Ayah dari anaknya. *** Di sebuah taman, seorang gadis cantik duduk di atas kursi rodanya. Angin yang berhembus kencang menerbangkan anak rambutnya, membuat kesan manis semakin terpancar. Dari arah belakang, Ander datang membawa nampan berisikan makan siang untuk gadis yang saat ini hanya berdiam diri tersebut. “Nona?” panggil Ander lembut. Ralin, gadis itu menoleh sebentar kemudian kembali memusatkan pandangannya ke depan. Pemandangan taman di depannya lebih indah daripada wajah dokternya itu. Melihat jika Ralin sempat menoleh, Ander segera mendekat dan duduk di kursi panjang. “Saya suapin, ya? Sudah jam 12 dan Nona sudah waktunya makan siang.” Ucapan itu hanya mendapatkan anggukan dari Ralin namun sudah membuat Ander bahagia sekali karena akhirnya gadis itu mau memberikan respon. Ander segera menyendok makanan dan menyuapkannya pada bibir Ralin. Saat ini Ralin sedang menikmati oatmeal dan kue panggang yang tentunya lembut untuk dimakan. Makanan itu atas permintaan Mores dan tentu saja sudah melalui uji kelayakan untuk orang yang sakit. “Maaf Nona,” ucap Ander membersihkan sudut bibir Ralin yang terdapat kotoran. Ralin menoleh dan matanya saling bertubrukan dengan Ander yang juga menatap ke arahnya. Namun itu tak berlangsung lama saat dari arah belakang, Mores menghampiri keduanya. “Sayang, kok kamu diluar, nak?” tanya Mores khawatir. Pria itu berjongkok di depan Ralin yang saat ini berusaha memegang wajahnya. “Ralin bosen, Papi,” jawab Ralin pelan. Suaranya bahkan sangat kecil karena mental gadis itu belum sepenuhnya pulih. Mores menatap Ander penuh tanya. Ander yang mengerti langsung menjawab. “Tidak ada masalah, Tuan. Nona Ralin boleh jika hanya sekedar ke taman seperti ini.” Kini atensi Mores kembali menatap Ralin yang menatap lurus namun tersirat kekosongan di mata itu. Tangan Mores mengelus pipi Ralin yang semakin kurus tak berisi. “Ralin ada yang diinginkan?” “Apa Papi ingin menikah lagi?” Tak hanya Mores, Ander bahkan terkejut mendengar pertanyaan gadis cantik tersebut. Sebagai seorang dokter, Ander langsung menerka apa yang sebenarnya terjadi. “Maksud Ralin bagaimana sayang?” “Ralin sudah rela kalau Papi mau nikah lagi. Ralin takut, disaat Ralin pergi ... Papi sendirian.” “No, sayang.” Mores memeluk erat putrinya. “Ralin gak akan pergi ninggalin Papi. Kita akan hidup bahagia selamanya, nak ...” Ander tak tau harus berkata apa. Lebih baik ia membiarkan kedua orang itu saling mencurahkan isi hatinya *** Saat ini suasananya sudah sedikit tenang di kontrakan Ralph. Setelah ketenangan itu, mereka akhirnya kembali memulai percakapan yang diawali oleh Brisia. “Aurellia Chloecghasa Sliendtvi, putri dari Pedro Mahendra Anderson Sliendtvi.” Chloe tak bisa menutupi rasa terkejutnya kali ini. Lebih tepatnya, antara terkejut dan bingung karena rahasia yang ia simpan rapat bisa diketahui. Tak hanya Chloe saja, Jeno dan Alvero bahkan juga terkejut apalagi mengetahui ada marga Anderson pada nama Ayah dari Chloe. “Dia siapa lo?” desak Jeno. Dalam pikirannya saat ini, Brisia juga berkhianat. Brisia menatap mereka bergantian sebelum pada akhirnya menjawab. “Pedro Mahendra, dia suami dari sepupu jauh Mama. Bris baru tau saat tanpa sengaja lihat Chloe ketemu sama Om Hendra.” “Lalu Jeno, apa yang terjadi pada malam hari disaat lo pagi-pagi ke rumah gue dalam keadaan kacau?” Jeno mengernyit, mencoba mengingat yang terjadi disaat pagi hari dirinya seperti korban perampokan. Malam itu Jeno benar-benar kacau. Kehilangan salah satu sahabat yang sudah dianggap seperti Adiknya sendiri membuat Jeno murka. Ingin sekali ia marah, namun kepada siapa? Berhubung kedua sahabatnya sedang sibuk urusan masing-masing, Jeno memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang nantinya akan ia sesali seumur hidup. “KTP Mas,” todong pria berbadan kekar yang berjaga di pintu masuk. Jeno berdecak sembari menyerahkan KTP miliknya. Setelah di cek, pemuda itu masuk dan menuju bartender. “Apa aja yang bikin gue melayang,” pinta Jeno. “Coba Mas sebutin aja maunya apa. Semua disini ada yang penting Mas menyebutkan.” “Yang paling tinggi alkoholnya!” pinta Jeno mutlak. Bartender itu kemudian mengambil botol berisikan cairan berwarna merah pekat. Bak seperti vampir, Jeno melihat minuman itu disertai seringai. Pemuda itu meminum hingga tandas satu botol membuat sang bartender mendelik. Cepat sekali dalam beberapa tegukan? Begitu pikirnya. Tak berselang lama Jeno mulai meracau saat merasakan tenggorokannya terbakar, kemudian badannya terasa panas. Hingga saat matanya mengedar, ia mendapati seorang gadis dengan pakaian yang semlehot. Tanpa diduga, Jeno berlari membekap gadis itu dan membawanya menuju kamar. “Gue cuma inget itu aja,” ucap Jeno jujur. Tanpa basa-basi, Alvero kembali mengeluarkan sebuah rekaman dalam versi utuh. Kali ini Jeno tidak bisa untuk tidak menyentuh dadanya yang terasa sakit. “LO BERCANDA? GUE GAK MUNGKIN UNBOXING DIA!” Brisia sendiri sama shock-nya. Tidak menyangka jika kepergian Ralin karena ulah tanpa sadar dari salah satu sahabatnya. Plak! Semua yang berada disana terdiam setelah melihat Chloe menampar Jeno. Wanita itu menatapnya penuh kecewa. “Seharusnya malam itu jika sesuai dengan rencana, yang akan terjebak denganku itu Cleon. Bukan kamu!” Pada akhirnya kejahatan tersebut terbongkar dengan sendirinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD