Ralph keluar dari lobby rumah sakit setelah pertemuannya dengan Dokter Alex tadi. Pemuda itu menghampiri sepeda kesayangannya dengan sedikit tergesa karena waktu sudah memasuki dini hari. Bukan perihal dini hari nya, tetapi ia meninggalkan Sela sendirian di rumah.
Sepanjang jalanan Ibukota terlihat sangat ramai hingga ia memasuki area jalanan yang biasa dipakai sebagai area balapan liar oleh remaja seumurannya di hari Sabtu malam.
"JANGAN LARI LO ANJINGGl!!"
Suara bentakan dari ujung jalan disertai teriakan seorang perempuan membuat Ralph mempercepat laju sepedanya. Ia yakin jika ada perempuan yang akan dijadikan objek kejahatan.
Matanya memicing saat melihat perempuan seusianya berlari kearahnya. Ralph meminggirkan sepedanya lalu berlari menghampiri gadis tersebut.
Brug!
Gadis itu tersungkur setelah menabrak badannya. Terlihat dengan jelas badan mungil itu gemetaran setelah menabraknya. Mungkin dia berpikir jika Ralph adalah komplotan dari para penjahat tersebut.
"A-ampun, jangan bunuh gue. Tolong ..."
Dahi Ralph menukik saat mendengar suara yang tak asing di telinganya.
"Heh, bocah! Lepasin mangsa kami!" Bentakan itu membuat Ralph tersadar dari rasa penasarannya. Ia segera membawa gadis itu berlindung ke belakang tubuhnya.
"Lo siapa ngatur gue?" delik Ralph menantang.
"Wah, sok banget lo jadi bocah. SERANG!!!!"
Para preman itu membentuk lingkaran karena berpikir akan lebih mudah menghajar Ralph.
Bugh!
Bugh!
Suara pukulan demi pukulan terasa nyaring karena sepinya jalanan saat ini. Maklum saja, waktu sudah pukul 1 dini hari.
"TOLONG!!! TOLONG!!!"
Mendengar teriakan meminta tolong, para preman itu merasa jika nyawanya saat ini dalam bahaya.
"Bubar. Kita cari waktu lain," perintah salah satu diduga bos-nya.
Preman berjumlah 6 orang itu berlari meninggalkan Ralph yang terduduk dengan mengusap darah pada sudut bibirnya.
"Lo pasti sengaja, kan? Mereka pasti komplotan lo semua! Jahat!"
Ralph tersentak mendengar bentakan gadis yang tadi ditolongnya. Keningnya menukik karena bingung dengan tuduhan itu.
"Maksud lo apa?"
Gadis itu, Ralin, menghampiri Ralph dengan mata memerah. "Pasti mereka semua temen-temen lo, kan? Segitu gak sukanya anak Bengawan sampai harus nyelakain gue?"
"Astaga ..." Ralph tertawa tak habis pikir. "Apa gue seburuk itu di mata lo, Classica?"
"Gue berpikir realistis! Selama ini, murid-murid di SMA Bengawan gak suka dengan sifat gue! Gak menutup kemungkinan, ini salah satu cara lo balas dendam ke gue!" tuding Ralin tak beralasan.
"Classica, denger ... Mereka memang mungkin gak suka sama lo. Tapi, bukan termasuk gue! Gak ada dalam pikiran gue yang berstatus sebagai murid beasiswa ini harus melawan apalagi mencelakai seorang putri. Gue ada dibawah lo jauh, Class. Lo bisa minta bokap lo buat sewa detektif termahal buat lacak, siapa mereka yang mencelakai lo malam ini. Maaf kalau gue cuma bisa bantu lo segini aja." ujar Ralph panjang lebar sebelum akhirnya pergi dari hadapan Ralin. Ia menaiki sepedanya dan berlalu meninggalkan Ralin yang terdiam membeku.
Ralin menatap punggung yang terlihat tegap itu dengan sendu. Tangannya memegang dadaa yang terasa sakit.
Kenapa ucapan itu terdengar menyakitkan di hati gue? Tanpa terasa air matanya menetes melihat Ralph yang seolah menjauhinya padahal selama ini mereka tak pernah dekat. Mungkin.
Sepanjang perjalanan, Ralin terus memukul dadanya yang terasa sesak. Rasa sakit ini seperti ditimpa batu berukuran besar.
"Alin, kamu kenapa nangis?" Mores menghampiri sang putri yang baru saja tiba dengan wajah sembabnya. Hal tersebut membuatnya khawatir karena waktu sudah memasuki dini hari.
"Rasanya sakit, Pi," balas Ralin ambigu.
***
"Hei Ralin, lo kenapa diem aja?" Jeno yang melihat sahabatnya berdiam diri di depan mobil pun menghampiri.
"Gue ... Gue ..."
"RALIN!" Teriakan Brisia membuat sebagian orang yang melintas pun kaget. Gadis cantik dengan pipi chubby itu berlari kecil kearah Ralin.
"Ralin kenapa sih? Kelihatannya banyak pikiran?" tanya Brisia polos.
"Gue--" Ucapan Ralin terhenti saat melihat seseorang yang berada di depan gerbang. Tanpa menghiraukan kebingungan sahabatnya, Ralin melangkah lebar kearah gerbang.
"Ralph!" seru Ralin dengan memberikan jarak yang lumayan jauh. Bagi Ralin, social distancing dengan kaum miskinn itu perlu.
"Kenapa?" tanya Ralph bingung. Dia seakan melupakan kejadian semalam yang membuat hatinya sakit.
"Lo gak marah sama gue?" tanya Ralin sembari memilin jemari tangannya.
"Enggak, Lin. Gue bukan orang pendendam yang harus membawa kenangan buruk sampai hari berikutnya," tutur Ralph tulus. Tangannya terulur menepuk pelan puncak kepala Ralin. "Gak perlu dipikir masalah semalem. Lo juga gak perlu berubah jadi orang lain supaya disukai banyak orang. Lo kayak gini aja gue udah suka, apalagi kalau lo berubah?" Guraunya di akhir kalimat. Setelah itu Ralph berlalu menuju kelas karena masih ada urusan yang belum terselesaikan.
"Heh! Lo ngapain harus nyamperin anak besalus, sih? Gak malu, harga diri lo jatuh?" cetus Jeno dengan nada bicara yang ketara tak sukanya.
"Ayo ke kelas. Udah mau masuk." ajak Alvero kemudian berjalan terlebih dahulu.
Dari kejauhan, sepasang mata menatap kepergian Rab'J dengan miris. Lebih tepatnya ke sang primadona sekolah.
Andai kita sederajat, Lin. Pasti gue bisa dengan mudahnya Deket sama lo. Batin orang tersebut.
"Jangan nyari penyakit hati, kalau nyatanya lo gak berani ungkapin secara langsung," ujar seseorang membuat orang yang tadi mengintip Ralin dan sahabatnya langsung tersentak.
"Lebih baik gue simpen rasa ini, daripada bikin dia malu," jawab Ralph yang memang sejak dulu menyimpan rasa untuk Ralin.
"Kenapa harus malu? Lo pandai, ganteng, apalagi kurangnya?"
"Lo masih nanya apa kekurangan gue? Kita gak sederajat!" tegas Ralph membuat Zigo bungkam.
***
Sezigo Magda, biasa dipanggil Zigo oleh orang terdekatnya itu merupakan sahabat satu-satunya yang dimiliki oleh seorang Ralph. Hanya Zigo yang mau berteman dengan semua orang tanpa memandang kasta.
Kening Zigo sesekali mengerut saat melihat sahabatnya tak fokus dengan apa yang di jelaskan oleh Bu Indah, guru yang terkenal paling garang di SMA Bengawan.
"Psssttt ... Lo jangan ngelamun," tegur Zigo berbisik.
"Gue gak ngelamun," elak Ralph kembali fokus dengan suara Bu Indah. Zigo terkekeh melihat sahabatnya salting karena ditegur olehnya.
"Kamu kenapa senyum-senyum Zigo!!"
Kali ini Zigo dibuat tak berkutik saat Bu Indah menegurnya. Bahkan Ralph sudah mati-matian menahan tawa agar tak terkena semprot guru garang tersebut.
"Saya gak senyum, Bu," bantah Zigo kepalang malu.
"Yasudah. Semuanya harus fokus dengan materi yang disampaikan oleh setiap guru di sekolah ini. Kalian harus bisa membedakan standar sekolah kita dengan sekolah lain. Bukan saatnya main-main."
Di kelas 11 IPA 4
"Ver! Kenapa lo?" celetuk Jeno saat melihat sahabatnya menukikkan alis.
Alvero mendongak kemudian menggeleng. "Gue lagi main game."
"Game apa sih? Kayaknya seru banget." Brisia menghampiri Alvero dengan raut penasaran. Setelah mendarat di samping Alvero, gadis itu dibuat menganga setelah melihat apa yang dimainkan oleh sahabatnya.
"ALVERO SIBUK MAIN SOPIIPET??"
Pemuda yang namanya disebut langsung menutup wajahnya malu. Dia bermain SOPIIPET hanya penasaran, ingat! Tetapi, salah satu sahabatnya membongkar rahasianya tersebut.
Mendengar teriakan Brisia, seisi kelas menahan tawanya. Mereka masih punya otak untuk tidak mencari keributan dengan Rab'J.
"KETAWA LO SEMUA!" seru Jeno tak suka saat ada salah satu temannya diketawakan.
Tak ingin menjadi sasaran dari si playboy, mereka langsung menyibukkan diri dengan aktivitasnya masing-masing.
Sementara Ralin, gadis itu terlihat sibuk dengan ponselnya karena sedang memposting sesuatu untuk kebutuhan dalam dunia hiburan.
"Done!"