Ralph memasuki kamar di bagian Utara panti asuhan. Hari ini dia bisa menyelesaikan pekerjaannya pukul 8 sehingga tak terlalu malam ketika menjemput Sela.
"Kakak, kenapa diam aja?" Sela memeluk kaki panjang Ralph yang terdiam di depan pintu.
"Pulang sekarang, ya? Takutnya hujan, Dek." ajak Ralph menggendong Adiknya.
Sela tak menjawab. Gadis kecil itu menatap ke ruangan lalu melambaikan tangan. "Sela pulang dulu. Bye-bye!"
"Dadah Kakak!!"
"Besok kesini lagi Sela."
Para anak panti saling menyahut ucapan Sela yang berpamitan pulang. Fyi, Sela memang terbiasa bermain dengan anak panti setiap pulang dari sekolah. Maka dari itu, Ralph mengizinkan sang Adik untuk tinggal disini sampai dia selesai bekerja.
"Kakak, kok dingin ya?" ujar Sela dengan pipi menggembung.
Pemuda itu peka jika cuaca malam ini memang ber-angin, maka dari itu, Ralph melepaskan Hoodie hitamnya untuk dipakai sang Adik.
"Masih dingin hm?"
Sela menyengir lalu menggeleng lucu. "Let's go!!"
Keduanya melewati jalanan malam dengan senyuman. Sela yang duduk didekat kemudi tak hentinya tertawa saat mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Ralph.
Banyak pengendara lain yang menatap keduanya dengan pandangan berbeda-beda. Ada yang mengejek, ada yang iba, ada yang ilfeel karena merasa aneh melihat seorang pemuda tampan harus menambahkan kursi kecil di bagian depan sepeda. Namun Ralph tak mempedulikan pandangan mereka semua.
"Sela mau makan apa?" tanya Ralph disela kayuhan kakinya.
"Mau nasi goleng baljo, Kak!" jawab Sela antusias. "Tapi kita makan beldua ya?"
Alis Ralph menukik tajam. "Kenapa harus berdua? Nanti Sela gak kenyang."
"Kenyang, Kak. Pokoknya kita beli satu, oke?"
Mau tak mau Ralph mengangguk. Tentu ia tak dapat menolak permintaan Adik kesayangannya.
Tak lama sepeda itu berhenti di salah satu gerobak penjual nasi goreng. Pak Barjo yang sedang bersantai langsung melambaikan tangan.
"Adek Sela mau beli, ya?" seru Pak Barjo yang sudah hafal dengan pelanggannya.
"Iya. Sela mau satu."
“Tunggu sebentar Mas Ral," ucap Pak Barjo dan dibalas dengan senyuman oleh Ralph.
Sembari menunggu pesanannya jadi, Ralph membuka ponselnya sebentar agar dapat mengetahui informasi dari grup sekolahnya.
"Kakak, Sela lindu Mama."
Gerakan Ralph seketika terhenti mendengar ucapan Adiknya. Meskipun gadis itu baru berusia 4 tahun, tetapi ia paham dengan keadaan di sekitarnya.
"Sela doakan Mama ya? Biar cepet bangun. Minta sama Tuhan, biar kita bertiga bisa kumpul bareng," ujar Ralph lembut.
Tak bisa dipungkiri, saat pertama kali menjelaskan pada Sela, ia bingung harus berkata apa. Mamanya koma saat Sela berusia 8 bulan. Otomatis gadis itu tak tau menahu tentang Mamanya. Ralph juga tak pernah membawa Adiknya kesana karena usia Sela masih terlalu kecil jika harus mondar-mandir di area rumah sakit.
"Mas Ral, ini pesanannya." Pak Barjo menyerahkan sebungkus nasi goreng kepada Sela. Dengan segera Ralph menyerahkan satu lembar uang berwarna ungu.
"Makasih, Pak."
"Sama-sama, Mas. Hati-hati, ya," pesan Pak Barjo kepada Kakak ber Adik tersebut.
"Dadah ...!!!" Sela melambaikan tangan mungilnya.
***
"Dasar Ibu gak berguna!"
"Kenapa kamu mencelakai anak kita hah?"
"Bodoh!"
"Dokter, pasien kejang!" Seorang Suster berteriak dari ambang pintu. Kebetulan ruang bersantai Dokter hanya berjarak 2 ruangan saja.
Mendengar teriakan tersebut, Dokter Alex yang kebetulan sedang berjaga langsung menghampiri sumber suara.
"Atur tombol. Daya tekanan terlalu tinggi. Pasien sudah menunjukkan kemajuan lebih," ujar Dokter Alex. Suster itu berbinar senang. Pasalnya ia menunggu mata cantik pasiennya terbuka.
"Sudah, Dok. Saya tak menyangka jika pasien akan segera sadar," sahut Suster Disa semangat.
"Saya harus segera kabari keluarganya. Kamu jaga pasien terlebih dahulu." Dokter Alex berpesan sebelum meninggalkan ruangan.
Setelah menghubungi keluarga pasien, Dokter Alex kembali memasuki ruangan karena ada yang harus dibicarakan dengan wakil dari pasien.
Suster Disa yang berada di dalam ruangan terus menatap wajah cantik pasiennya. Matanya bergulir kearah pintu guna memastikan apakah ada yang masuk atau tidak. Setelah dirasa aman, Disa mendekatkan diri kearah wanita tersebut.
"Apa yang kau lakukan, Suster Disa?" Disa tersentak mendengar seruan Dokter Alex. Sial!
"Ti-tidak, Dok," balas Disa gugup.
Meskipun tidak percaya, Dokter Alex tetap mengangguk saja.
Cklek!
"Apa yang terjadi dengan Mama saya, Dok?" tanya Ralph khawatir. Tadi saat akan terlelap, ia mendapatkan kabar dari Dokter kepercayaannya jika ada sesuatu dengan sang Mama.
"Bisa kita bicara di ruangan saya?"
Ralph melirik Mamanya sebentar kemudian mengangguk.
"Jaga pasien dengan baik, Suster." pesan Dokter Alex sebelum keluar dari ruangan diikuti dengan Ralph dibelakangnya.
Selepas kedua orang itu pergi, Disa mengurut dadanya lega. Berhadapan dengan Alex membuatnya takut.
"Astaga ... Untung gue masih hidup ..."
Kini Ralph sudah berada di ruangan Dokter Alex. Pemuda itu masih menunggu apa yang akan dijelaskan perihal Mamanya. Dokter Alex terlihat membaca hasil rekam medis dengan sangat serius.
"Ralph, saya ingin sedikit bertanya denganmu perihal keadaan Ibu Andara."
"Apa yang Dokter ingin tanyakan?" bingung Ralph.
"Sebelum koma, apa ada suatu kejadian yang membuat Mama kamu drop?" tanya Dokter Alex tanpa menatap lawan bicaranya. Matanya masih fokus dengan apa yang dia baca.
Kening Ralph menukik tajam. Ia sedikit berpikir mengenai maksud dari pria dihadapannya.
"Kejadian? Setau saya, tidak ada, Dok," jawab Ralph seadanya.
"Setelah saya lihat keadaannya tadi, ada sesuatu yang memicu Ibu Andara untuk bangkit, namun dia juga tidak mau untuk kembali."
"Hah? Maksudnya bagaimana, Dok?" Ralph semakin membeo.
"Intinya, ada dorongan namun Ibu Andara menolak," jelas Dokter Alex singkat.
Kepala Ralph menatap langit-langit ruangan. Pandangannya terlihat kosong setelah mendengar penjelasan Dokter Alex.
"Jangan khawatir, kamu bisa memancingnya agar segera kembali. Sering ajak Ibu Andara mengobrol." tutur Dokter Alex menepuk bahu Ralph pelan.
Mama, ayo bangun ... ujar Ralph dalam hati.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun Ralin masih saja berada di antara orang-orang yang berkeliaran. Bukan tanpa alasan Ralin masih berada dijalan, gadis itu baru saja pulang dari kegiatannya sebagai seorang artis.
"Emang gini ya, jalanan kalau malem?" dumel Ralin menutupi rasa takutnya. Jalanan yang ia lintasi saat ini sangat sepi, bahkan tak ada tanda-tanda orang yang lewat.
Tak!
Gadis itu tersentak saat kaca depan mobilnya sedikit retak karena dilempar oleh sesuatu. Karena tak mau ambil resiko, Ralin bersiap menambah kecepatan laju mobilnya.
Ciiiitt
Dugh!
"Aawwwssshhh ..." Tangan Ralin terulur memegang keningnya yang terpentok dashboard mobilnya karena menginjak rem secara mendadak.
Tok! Tok!
"BUKA MOBILNYA!" Dari samping pintu kanan dan kiri, ada dua orang preman yang menggedor kaca mobilnya. Ralin yang terdidik sebagai gadis berontak, mengambil ponselnya diam-diam.
"TELFON SESEORANG, LO BAKAL GUE HABISIN DISINI!"
Mata Ralin membelalak saat ancaman tersebut tak main-main. Kini datang lagi empat orang lainnya dengan membawa balok. Tak ingin terjadi sesuatu, Ralin akhirnya keluar dari mobil dengan badan gemetaran.
"Woah, anak dari Mores Millano ternyata secantik ini. Kalau kita jual organ nya, pasti mahal," celetuk salah satu preman.
Mendengar saran tersebut, sontak Ralin menggeleng tegas. "Jangan macem-macem, lo!"
"Gue suka cewek yang memberontak gini, bikin penasaran."
"Ayo kita pakai rame-rame."
Ralin bukan cewek bodoh apalagi polos yang akan bertanya maksud dari ucapan mereka. Matanya bergulir kemudian tersenyum dalam hati.
Bugh!
"SIALAN! KEJAR DIA!!"
Sekuat tenaga Ralin berlari. Dalam hati ia terus mengumpat karena ponselnya lowbat.
"b******k! Pake acara mati segala!"
"JANGAN LARI LO ANJING!"
Nafas Ralin tersengal karena ia memacu kakinya lebih cepat. Para preman itu terlihat hanya 10 langkah dari posisinya berlari.
Brug!
"A-ampun, jangan bunuh gue. Tolong ..."
Gadis itu semakin ketakutan saat badannya menabrak seseorang. Ia duga, jika itu adalah salah satu preman yang tadi mengejarnya.
Tamat riwayatmu, Ralin!