69. Cerita Jeno dan Sanksi Sosial

1172 Words
Setelah keluar dari kontrakan Ralph tadi, kini Jeno berlari tak tentu arah. Kebetulan saat menuju ke kontrakan tadi, dia nebeng dengan Alvero. Alhasil dia sekarang harus berjalan kaki untuk bisa bebas dari sana. Langkah kaki Jeno terus melangkah tanpa tau arah. Hidup yang sudah ia tata dengan rapi, hancur dalam satu malam. Saat ini Jeno benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Jika cerita dengan kedua orang tuanya, pasti dia akan dimarahin habis-habisan atau lebih parahnya dia dibuang dari keluarga Icarus. Tidak, itu tidak boleh terjadi! Tetapi, bagaimana nasib anak di kandungan wanita itu? Apakah Jeno harus membiarkan Chloe hingga melahirkan kemudian mengambil anak itu? Tidak, pasti Jeno akan dibenci oleh anaknya suatu hari nanti. “ARRKKKHHHHHH!!!!” Teriakkan Jeno kali ini benar-benar memilukan. Jeno yang bahkan tidak pernah menangis, kini harus mengeluarkan air matanya. “Andaikan kita tumbuh bareng, Ren ...” bisik Jeno pada angin malam. Karena hari sudah semakin malam, akhirnya Jeno memutuskan untuk pulang ke rumah karena waktu sudah hampir tengah malam. Saat tiba di rumah, satpam yang berjaga di gerbang depan langsung terkejut saat melihat penampilan berantakan anak majikannya. “Den Jeno!” sapa Pak Ramlan yang tak ditanggapi karena pemuda itu sangat kalut saat ini. Pak Ramlan menatap heran anak majikannya kemudian beralih menutup pintu gerbang supaya bisa tidur malam dengan nyenyak karena tujuannya untuk menunggu Jeno sudah tercapai. *** Sampai tengah malam, Ralph belum juga tertidur. Mata pemuda itu bahkan masih terbuka lebar padahal jam sudah hampir pukul 12 malam. Kebahagiaan yang terlewat batas membuat Ralph akan sudah untuk tertidur. “Ralph, sudah tidur nak?”  Dari balik pintu, suara Andara menginterupsi. Karena tidak mau membuat Mamanya itu kepikiran, Ralph memilih tidak menyahuti supaya Mamanya mengira dirinya sudah tertidur. Hingga suara Andara tidak terdengar lagi, Ralph langsung menghela nafasnya lega. “Tuhan, terima kasih karena sudah memberikan petunjuk sebelum hari pernikahan itu tiba. Aku percaya kau akan selalu melindungi semua dari yang jahat, Tuhan ...” Bukan, Ralph tidak bermaksud menyebut jika Chloe pihak jahat. Inti dari ucapan Ralph adalah Tuhan akan selalu menjauhkan sesuatu jika itu bukan hal yang baik. Gumaman itu tak berlangsung lama karena akhirnya Ralph mulai memasuki alam mimpinya. *** Pagi hari di kediaman Icarus terasa sangat hangat karena kedatangan tamu yang tak lain adalah Wenda dan Ruslan. Kedua orang paruh baya itu berkunjung ke kediaman anaknya karena merindukan cucu tunggal mereka, Jeno “Mom ... Dad ... Kakek ... Nenek ... Jeno mau ngomong sesuatu,” celetuk Jeno tiba-tiba. Mereka yang memang belum memulai sarapannya langsung memusatkan perhatian pada Jeno yang saat ini terlihat ketakutan. Wenda sendiri heran karena biasanya cucu badungnya itu selalu ketawa-ketiwi. “Ada apa, Jeno?” tanya Mita sembari menyiapkan sarapan. “Jeno ahssehsjsehwj.” “HAH??” Keempat manusia dewasa disana menganga karena tidak mendengar ucapan itu. “Ngomong apa sih?” sembur Wenda geram. “Jeno hamilin anak orang.” Krik Krik Setelah Jeno mengutarakan, pemuda itu memejamkan matanya erat sembari menunggu bogeman dari keluarganya. Sementara Erland selaku kepala keluarga masih mencoba mencerna maksud dari putranya. Pria itu memegang bahu Jeno dan dihadapkan padanya. “Coba ulangi,” tegas Erland. “JENO HAMILIN CEWEK!” Bugh! “DAD!!” Mita memekik karena takut. Dia tidak pernah melihat suaminya se-emosi ini. Perangai Erland adalah hangat, bukan kasar. Erland ternyata tidak salah mendengar. Pria itu langsung melayangkan pukulan pada rahang anaknya. Sebagai seorang Ayah serta kepala keluarga, dia merasa gagal dalam mendidik. “DADDY TAU KAMU PLAYBOY, APAKAH HARUS BERMAIN HINGGA KELEWATAN?!!” bentak Erland dengan urat yang sudah menonjoll. Ruslan segera membawa dua wanita beda generasi itu pergi dari sana. Pemandangan seperti itu bukan hal yang baik. Namun sebagai seorang Ibu, Mita tentu saja menolak karena takut anak semata wayangnya dibunuhh oleh sang suami. “Enggak, Pa, Mita mau disini. Mita takut Mas Erland kelewatan dan akhirnya bunuh Jeno,” tolak Mita yang berusaha mendekati anak serta suaminya. Air mata wanita itu sudah mengalir deras membasahi wajahnya. “Erland tidak akan setega it—” Bugh! Prang! Mita, Wenda, serta Ruslan terkejut mendengar suara pecahan barang. Mata ketiganya membulat kala melihat Jeno yang tersungkur di atas sebuah guci yang sudah hancur berkeping-keping. “CUKUP MAS!!! KAMU MAU JADI PEMBUNUH??!!!” teriak Mita yang berhasil lepas dari mertuanya. Kini wanita itu berlari menghampiri sang suami yang nafasnya sudah tak beraturan. “DIA UDAH BIKIN MALU KELUARGA, MITA!” “KITA BELUM TAU CERITA DARI ANAK KITA, MAS! JENO JUGA BERHAK BUAT CERITA APA YANG TERJADI SEBENARNYA!” Mita balas berteriak. Jeno yang masih pada posisi sama, hanya bisa mengusap sudut bibirnya yang terasa perih. Pukulan Daddy-nya memang tidak main-main. Bahkan saat terdorong tadi, kepala Jeno menghantam ujung jendela. Melihat jika sudah mulai sedikit tenang, Ruslan menghampiri cucunya dan membantu pemuda itu untuk segera berdiri. Ruslan membawa Jeno menuju ruang keluarga dimana Erland sudah menunggu disana. “Ceritakan!” titah Erland tanpa menatap anaknya. Jeno menarik nafas terlebih dahulu kemudian meringis saat merasakan kepalanya berdenyut. Mita menangis seraya mengusap kepala Jeno dengan lembut. Merasakan usapan pada kepalanya, Jeno menatap Mamanya teduh dan meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. Pemuda itu mulai menceritakan apa yang terjadi dari awal hingga akhir tanpa ada yang dikurangi sedikitpun. Seluruh yang berada disana terkejut dengan cerita Jeno. “Astaga nak ...” Mita segera memeluk putranya yang terlihat sangat tertekan setelah menceritakan apa yang terjadi. “Maafin kesalahan fatal yang udah Jeno perbuat ... tapi Jeno bener-bener gak ada maksud buat bikin kalian malu. Kalau memang kalian malu, kalian boleh hapus nama keluarga dari nama Jeno,” ucap Jeno menatap keluarganya bergantian. Erland sedikit menimang tawaran anaknya. Sepertinya tidak ada yang salah jika ia menghapus Jeno dari KK. *** Seorang gadis memasuki SMA Bengawan dengan heran. Sejak menginjakkan kakinya di gerbang sekolah, gadis itu merasa diintai oleh semua pasang mata. Langkahnya dipercepat supaya bisa segera masuk ke kelas dan tidak menjadi objek tontonan murid di sekolahnya. “Ada apa, sih?” gumam gadis itu. Dia kan ya ceweknya? Ih, gak tau malu banget Licik ternyata Sejak dia pindah, cowok gue berulah njirr Sama woi Bisikan demi bisikan membuat gadis itu geram. Karena penasaran, gadis itu mendekati jajaran siswi yang sedang menatapnya sinis. “Ada masalah apa sih lo semua?” Salah satu siswi itu maju dengan tangan bersidekap dadaa. Pandangannya menatap remeh gadis yang tadi ia gosipkan. “Muka lo udah terpampang di mading, noh!” Penasaran dengan apa yang terjadi, gadis itu segera berlari menuju tempat yang sangat ia kenali. Di mading sendiri keadaannya penuh sesak. “Minggir woi minggir!” Dengan tidak tau malu, gadis itu menerobos kerumunan hingga berhasil tiba di depan sendiri. Matanya melotot saat melihat wajahnya terpampang dengan caption yang membuatnya frustasi. Cindy Claudyah Assegra, salah satu murid Bengawan yang setiap malam selalu ke club’ untuk menjual diri. Rencana jahatnya yang selama ini tersimpan rapat sudah diketahui oleh seluruh pihak. “APA-APAAN INI HAH???!!” “Semua itu gak sebanding sama apa yang udah lo perbuat ke sahabat gue, Diah!” Kepala Cindy menoleh dan mendapati salah satu orang yang juga ia benci sejak kedatangannya ke sekolah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD