77. Rencana Kepindahan

1147 Words
Keadaan di ruang makan saat ini benar-benar hening setelah kejadian beberapa menit lalu. Andara sendiri tak berani membuka suara apalagi melihat wajah Mores yang dalam mode cool tersebut. Ralph sendiri harus berusaha menahan tawa melihat ekspresi Mamanya saat ini. Baru kali ini Ralph bisa melihat wajah sang Mama yang terlihat takut-takut tapi ingin sekali mendekat. Katakan saja dia tidak sopan karena menertawakan kedua orang tuanya yang sedang perang dingin. “Mama sama Papi kenapa?” Sela yang sejak tadi melihat tingkah keduanya sebenarnya sudah sangat jengah. Namun sebagai anak yang masih kecil, dia bingung harus mengutarakan ekspresi seperti apa. “Nggak papa, Sela. Memangnya Mama kenapa?” ujar Andara. Mata Sela membidik keduanya seperti orang dewasa, “Kalian beltengkal?” “Enggak,” sergah Mores. Tidak baik anak sekecil itu melihat pertengkaran orang tuanya. Sudah cukup Ralin yang dahulu menjadi keegoisan keduanya. Mores sendiri tidak membahas kejadian masa lalu yang menjadi penyebab keduanya bertengkar hingga menimbulkan rasa egois untuk berpisah rumah. Tak lama setelahnya, keempat orang yang berada di ruang makan itu akhirnya selesai dengan sarapannya. Ralph sendiri sudah menyampirkan tasnya ke badan, bersiap mengamit tangan kedua orang tuanya sebelum suara Mores menginterupsi. “Berangkat sekarang, Ralph?” tanya Mores yang kini ikutan bangkit. “Engghh iya, Pi,” jawab Ralph kikuk. Mores mengangguk kemudian berpamitan pada Andara, “Mas berangkat, ya!” Andara mengangguk dan tersenyum kemudian menyalami tangan Mores. “Ralph sama Sela tunggu Papi di mobil, ya,” titah Mores membuat Ralph semakin bingung. Sedangkan Sela gadis itu mencium punggung tangan Mamanya kemudian berlari menuju mobil yang sudah menunggu di depan. “Tunggu gimana, Pi?” Mendadak Ralph seperti orang linglung. “Berangkat sama Papi dong. Nanti motor kamu Papi bakar aja,” terang Mores santai. “HAH??” *** Setelah kebingungan di istana Millano tadi, akhirnya Ralph paham jika Papinya meminta untuk berangkat bersama. Pemuda itu terdiam di dalam mobil dengan pandangan menatap jalanan dari kaca. Mores memperhatikan anak sulungnya itu dengan pandangan iba. Iba karena harus merelakan perasaannya sendiri akibat kesalahan masa lalu kedua orang tuanya. Jika saja mereka hidup bersama sejak kecil pasti baik Ralph ataupun Ralin tidak akan terjebak cinta dengan saudara. “Maafkan Papi, Ralph.” Ucapan tiba-tiba Mores membuat Ralph mengalihkan pandangannya. Untuk Sela, gadis itu sudah turun beberapa menit lalu di depan sekolahnya. “Maaf untuk apa, Pi?” bingung Ralph. “Maaf karena kisahmu harus terhenti. Ralin Adik kamu ...” Deg! Tadinya Ralph tidak kepikiran itu. Namun saat Mores mengingatkannya kembali, Ralph akhirnya kembali dibuat terhempas. Tidak menjawab ucapan Mores, Ralph langsung membuang muka ke kaca mobil. Mores memahami apa yang dirasakan anaknya. Maka dari itu ia membiarkan Ralph hingga akhirnya mobil tiba di gerbang SMA Bengawan. “Ralph sekolah dulu,” pamit Ralph menyalami tangan Mores. Mores mengangguk dan menatap punggung Ralph dengan sendu. “Jalan, Pak,” titah Mores kepada sang supir. Sementara Ralph, sejak pemuda itu keluar dari mobil ... pandangan seluruh murid-murid disana mengarah kepadanya. Agaknya Ralph merasa risih karena mereka semua melihat Ralph seolah tidak percaya. “RALPH!” Dari arah belakang, Brisia berlari setelah meneriaki namanya. Ralph menoleh sebentar sebelum kembali melanjutkan langkahnya. “Berhenti dulu!” Karena tak mau terjadi keributan, Ralph akhirnya berhenti sesuai dengan permintaan Brisia. Dengan sabar ia menunggu Brisia mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. “Tadi Papi Mores, kan?” desak Brisia. Ralph berdeham singkat. “Kok bisa sama Papi?” Brisia yang tidak mudah percaya begitu saja, kembali mempertanyakan sesuatu yang membuat Ralph sebal. “Lo tanya aja sama orangnya.” Setelah itu Ralph meninggalkan Brisia yang benar-benar terdiam mematung. Hanya sebentar karena kemudian mata Brisia membola sempurna. Jika ada Papinya disini, itu berarti ... “Bris harus kasih tau Vero sama Jeno!” *** Setelah mengantar kedua anaknya tadi, Mores meminta kepada supir untuk membawanya kembali ke rumah. Hari ini ia berencana mengajak Andara ke kantor supaya wanita itu tidak bosan di rumah. “Resya?” Mores berteriak saat tak mendapati Andara dalam jangkauannya. Tak lama Andara datang dengan tergesa. Wanitanya itu mengenakan dress biru selutut yang membuatnya semakin terlihat cantik. “Mas? Ada yang ketinggalan?” “Ada.” “Apa? Biar aku ambilkan,” kata Andara panik. “Kamu.” “Hah??” Andara yang dalam mode lemot hanya menganga setelah mendengar jawaban suaminya. “Yang bener dong!” Mores terkekeh kecil, “Ganti baju sana. Ikut aku ke kantor.” Ucapan Mores adalah mutlak. Maka dari itu Andara mengangguk seperti orang yang terkena hipnotis. Sembari menunggu Andara berganti pakaian, Mores duduk di sebuah sofa santai. Pria itu merenungkan ucapan yang akan ia sampaikan pada keluarganya kelak. “Mas, ayo.” Penampilan Andara benar-benar membuat Mores terkesima. Namun sebisa mungkin pria itu bertingkah biasa saja supaya tidak malu-maluin. “Ayo.” Mores menggandeng Andara keluar menuju mobilnya. “Kantor cabang 2, Pak,” ucap Mores kepada sang supir yang langsung diangguki. Andara hanya mendengarkan saja karena ia tidak paham dengan ucapan suaminya. Saat di perjalanan, Andara mengeluarkan butiran obat dan air mineral dari dalam tasnya. Wanita itu segera meminumnya supaya saat jam siang nanti tidak terlambat waktunya. “Kamu minum apa, Resya?” “Obat, Mas,” jawab Andara. “Obat? Kamu sakit?” khawatir Mores. Andara tersenyum kemudian menggeleng. “Sejak aku sembuh, Dokter mewajibkan aku untuk minum obat ini rutin.” “Sembuh?” Andara menepuk keningnya pelan karena belum menceritakan tentang dia yang koma saat itu. “Iya. Aku koma selama tiga tahun lebih waktu itu.” “Koma?” Mata Mores membulat karena kaget. “Iya.” Mendengar jawaban dari sang istri, Mores langsung mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar melupakan sang istri sejak 12 tahun lalu. Pasti banyak kejadian berat yang sudah dilewatkan oleh Andara selama ini. “Maaf kalau Mas sudah menelantarkan kalian begitu saja,” sesal Mores membawa Andara kedalam pelukannya. Tak lama mobil akhirnya tiba di depan kantor cabang Millano Corp. Mores segera mengajak Andara untuk memasuki gedung bertingkat itu. Banyak pegawai yang terkejut melihat kedatangan Mores mengingat bosnya itu pindah ke Amerika. Selamat datang Tuan Tuan Mores Sapaan demi sapaan dibalas dengan anggukan kecil oleh Mores. Sedangkan Andara hanya bisa tersenyum kaku karena bingung harus melakukan apa. *** Malam ini keluarga Mores sedang menikmati waktu bersantai di ruang keluarga. Mores, Andara, Ralph, serta Sela berada disana atas permintaan Mores yang katanya ingin menyampaikan sesuatu. “Boleh Papi bilang sesuatu?” ujar Mores mengawali. “Boleh,” jawab Ralph singkat. Dia masih teringat apa yang tadi pagi Papinya ucapkan saat berada di mobil. Mores menarik nafas perlahan kemudian menatap ketiganya bergantian. “Papi akan membawa kalian semua ke Amerika. Ralin, gadis kecilnya Papi membutuhkan keluarga yang lengkap untuk mengobati lukanya. Papi mau, Ralin kembali merasakan kebahagiaan meskipun Papi sedikit takut mengingat apa yang terjadi dengannya dan Ralph terakhir kali.” Jantung Ralph rasanya ingin meledak saat ini juga. Antara senang dan sedih, yang pasti Ralph harus menguatkan hati untuk bertemu ... Adiknya, kembarannya. ***

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD