Pagi ini suasana di taman rumah sakit sedikit lebih ramai. Banyak anak-anak berlalu lalang dengan kondisi tak jauh berbeda dari gadis yang saat ini duduk di kursi rodanya.
Ralin menikmati kegiatan berjemurnya dengan senyum yang terpatri di wajah cantiknya. Menatap anak-anak yang sedang bermain memang membawa dampak positif karena hawanya selalu ceria.
Dari jarak yang cukup jauh, Dokter Ander memperhatikan gadis yang masih dalam pengawasannya tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum kala melihat Ralin tertawa melihat anak kecil yang bermain bersama sebayanya.
“Kakak, hai!”
Mata Ralin mengerjap saat seorang gadis kecil dengan rambut yang diikat tinggi menghampirinya. Sesaat kemudian Ralin menyunggingkan senyum kepada gadis itu, membuat si gadis kecil senang bukan main.
“Hai!”
“Kakak ndak pelnah masuk TV lagi, ya?” tanya gadis kecil itu penasaran.
“Eh? TV?” Ralin membeo yang diangguki cepat si gadis kecil.
“Iya!” jawab gadis itu semangat. “Aku dali Indonesia, sama sepelti Kakak!”
Ralin tersenyum kemudian mengusap pipi tembam gadis kecil itu. “Kakak sudah pindah kesini. Jadi kamu nggak akan lihat Kakak di TV lagi.”
Gadis itu menunduk lesu setelahnya dan itu membuat Ralin merasa bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Dia memang sudah tidak kembali lagi ke negara asalnya.
Saat asik mengobrol dengan gadis itu, Dokter Ander datang menginterupsi keduanya.
“Nona, waktunya untuk kembali ke kamar. Dessert kesehatan akan segera tiba,” tutur Ander melirik jam di pergelangan tangannya.
Ralin mengangguk sekilas.
“Kakak kembali, ya? Besok kita ketemu lagi,” janji Ralin kepada gadis kecil itu.
“Okai Kakak!”
Dokter Ander tersenyum kepada gadis itu kemudian mendorong kursi roda Ralin kembali ke kamarnya.
***
Di Indonesia ...
Mobil yang membawa Mores dan keluarganya kini melaju dengan kecepatan sedang melewati gemerlap lampu Ibukota pada malam hari. Setelah berbincang selama tiga jam, Andara akhirnya menyetujui permintaan Mores untuk tinggal di rumahnya.
Saat mobil mulai memasuki kawasan rumah Millano, Andara dibuat tertegun karena ia ingat betul rumah tersebut. Meskipun belasan tahun tidak berkunjung, ingatan Andara tentang rumah itu tidak pernah berkurang sedikitpun.
“Sudah sampai, ayo turun,” seru Mores. Saat menurunkan pandangannya, Mores tersenyum kecil karena ternyata Sela masih tertidur di pangkuannya.
“Biar Sela aku gendong, Mas?” Andara mengucapkan itu dengan ragu. Panggilan yang selalu ia sebutkan dahulu kala mereka masih bersama, kini terucap kembali. Sebenarnya tidak pernah ada kata cerai dari keduanya saat itu. Namun memang perpisahan keduanya sudah lama sekali.
“Biar aku saja,” cegah Mores yang langsung membawa Sela turun.
Ralph sendiri hanya melihat perbincangan kedua orang tuanya dengan diam. Dia sendiri masih canggung berhadapan dengan Mores Sebagai Ayah dan anak.
“Ralph, mikirin apa?”
Setelah mendengar teguran dari Andara, barulah Ralph tersadar akhirnya. Pemuda itu menyengir seolah semuanya baik-baik saja.
“Gak ada, Ma. Ayo,” alih Ralph membuka pintu mobil dan turun terlebih dahulu.
Andara memperhatikan gerak-gerik putranya sekilas kemudian menyusul turun dari sisi lain.
Keempat orang itu berjalan memasuki rumah yang sudah sangat dihafal oleh mereka dengan beriringan. Ralph sendiri berjalan dengan perasaan campur aduk tak menentu karena ia tiba dengan suasana yang berbeda.
“Wah, ini lumah siapa?” Sela yang terbangun langsung shock saat matanya disuguhkan pemandangan sebuah rumah mewah. Gadis itu terbengong-bengong dibuatnya.
“Sini sama Mama. Kasihan Papi kamu berat.” Andara mengambil Sela dari gendongan Mores.
“Mama, ini lumah siapa?” tanya Sela lagi saat tak mendapatkan balasan. “Papi, ini lumah siapa?”
“Rumah Sela,” jawab Mores yang mulai bersikap hangat pada Sela.
Mata Sela membola karena kaget. Gadis itu meronta ingin turun dari gendongan Andara. Setelah berhasil turun, Sela langsung berlari kecil di sekitar membuat semuanya tertawa.
“PAPI, ADA MAINAN NDAK DISINI?”
Mores meringis karena belum menyiapkan itu semua untuk Sela. Keberhasilannya membawa Andara pun sempat tidak ada dalam benaknya karena ia berpikir jika wanita itu tidak mau ikut bersamanya.
“Ada, Nona kecil. Mau saya antar?”
Aksa yang baru saja bergabung langsung menginterupsi perbincangan. Memiliki anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tentu saja membuat reaksi Aksa sebagai seorang Ayah tergerak.
“Mau, dimana Om?” Sela berlari menghampiri Aksa yang saat ini tersenyum ke arahnya.
“Tuan, Nyonya, saya izin membawa Sela ke lantai 8,” izin Aksa yang diangguki Mores sedangkan Andara menatapnya sungkan.
“Maaf merepotkanmu.”
Aksa menanggapi dengan senyuman karena itu memang tidak merepotkan.
Sepeninggal Aksa dan Sela, Mores mulai menginterupsi kembali.
“Ralph, kamu bisa ke kamar yang ada di lantai tiga. Bebas mau menempati kamar yang mana,” ujar Mores kepada anak sulungnya.
Ralph mengangguk kemudian berlalu dari hadapan kedua orang tuanya. Pemuda itu masuk ke dalam lift seperti yang diperintahkan Mores sebelumnya.
Di dalam lift, Ralph lagi-lagi dibuat tertegun karena terdapat wajah Ralin yang berstatus sebagai Adik kembarnya. Mengingat itu hati Ralph benar-benar sesak hingga sulit bernafas.
Ting!
Mendapati pintu lift terbuka, Ralph segera keluar dan masuk ke salah satu kamar. Pemuda itu membanting tubuhnya ke kasur dengan mata yang terpejam. Kenyataan yang diterima hari ini membuat Ralph hancur.
Bagaimana mungkin, gadis yang dicintai ternyata Adik kembarnya sendiri? Apakah Ralph masih memiliki muka untuk bertemu Ralin, dengan statusnya sebagai Kakak? Memikirkan itu semua membuat Ralph tanpa terasa mulai memasuki alam mimpinya.
***
Sinar matahari menyongsong sebuah kamar, menembus kelopak mata yang masih terpejam dari si pemilik kamar. Tak lama terdengar lenguhan panjang kala si empu perlahan membuka kedua matanya.
Keningnya mengerut saat mendapati tempat asing saat ini. Badannya refleks menegak dan menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika kejadian buruk terulang kembali. Namun ingatan tentang kejadian semalam, membuat pemuda yang nyawanya terkumpul sempurna itu bernafas lega.
Melirik jam yang menunjukkan pukul lima pagi, Ralph segera bangkit menuju kamar mandi supaya tidak terlambat ke sekolah. Hanya membutuhkan 10 menit Ralph akhirnya keluar dengan handuk yang menutupi bagian bawahnya. Pergerakannya menuju lemari untuk mengambil seragam baru yang sudah tersedia disana.
Setelah semuanya selesai, Ralph segera membawa tas sekolahnya dan keluar dari kamar. Melintasi lorong, Ralph berpapasan dengan pekerja yang sedang membersihkan area sekitar.
Tiba di lantai satu, Ralph melihat Mamanya yang berniat menuju dapur. Langsung saja ia menghampiri sang Mama.
“Ma,” panggil Ralph.
Andara menoleh kemudian tersenyum. “Pagi ganteng.”
“Pagi, Ma. Mau ngapain?”
“Masak, dong. Mama tau kamu bakal kurang semangat kalau gak makan masakan Mama,” canda Andara kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur.
“Nyonya mau ngapain?” Seorang wanita paruh baya terkejut melihat kedatangan istri Tuannya.
“Mau masak saya,” jawab Andara meskipun bingung.
“Jangan, Nyonya,” cegah Raya takut, “Tuan Mores melarang siapapun keluarganya memasak.”
Andara memutar matanya sedikit tidak sopan. Namun tujuan Andara melakukan itu karena ingat dengan tingkah berlebihan Mores.
“Dia terlalu berlebihan, Bu,” komentar Andara tanpa tau jika Mores berada di belakangnya.
“Siapa yang kamu maksud berlebihan, Resya?”
Tidak hanya Andara, nyatanya Bu Raya juga ketakutan melihat kedatangan Mores di dapur. Bukan pertanda baik sepertinya.
***