33. Wali Untuk Ralph

1099 Words
Di dalam mobil, Jeno masih menyempatkan diri untuk menghibur sahabatnya yang hanya diam menatap keluar jendela. Pemuda itu menyetir sembari mengetuk jarinya pada dagu karena masih berusaha mencari cara. “Ralin,” panggil Jeno. Hening dan tak tak ada tanggapan karena sepertinya Ralin tengah melamun. Dengan sengaja Jeno membunyikan klakson mobilnya keras. Tiiiinnnn!!! Benar saja, dengan suara itu Ralin langsung tersentak kaget. “Apaan sih, lo!” sentak Ralin shock. “Lo sih ngelamun.” Gadis itu terdiam setelah mendengar teguran Jeno karena jarang sekali pemuda itu memberi teguran. Jika sudah seperti ini, berarti apa yang dilakukan olehnya melampaui batas. “Jangan ngelamun, Lin. Lo bisa cerita, ada gue, Brisia, atau Alvero. Kalau lo gak nyaman ngomong sama gue, lo bisa ke Brisia sebagai sesama cewek,” tutur Jeno bijak. Tak sekalipun ia mempermasalahkan jika para sahabatnya kurang nyaman bercerita dengannya karena ia sendiri sadar jika terlalu sering bercanda. Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipi Ralin namun segera gadis itu membuang muka dan menghapusnya dengan kasar. “Lo kalau sedih sama Ralph, atau gak nyaman sama dia, biar gue yang pukul,” ucap Jeno sedikit bercanda. Ingat, sedikit. Karena sejujurnya Jeno ingin sekali menghabisi Ralph. Selang beberapa meter mobil yang membawa kedua anak muda itu mulai berjalan lambat karena ada kerumunan dari warga yang entah kenapa. Tok! Tok! Jeno menurunkan kaca mobilnya saat ada seorang wanita yang mengetuk. Kening pemuda itu mengerut karena tak mengenal wanita tersebut. “Apa apa ya, Bu?” tanya Jeno sopan. “Mas, saya mau minta tol—“ Wanita itu tak jadi melanjutkan ucapannya saat menyadari pakaian yang digunakan Jeno dan Ralin. “Gak jadi, Mas. Maaf mengganggu.” Segera wanita itu berlalu meninggalkan Jeno dan Ralin yang saling menatap. *** “Ya Tuhan ... Ini sakit ...” Di pinggir jalan, Ralph yang baru saja menjadi korban kekerasan hanya bisa merintih menahan sakit. Jalan kali ini masih terlihat sepi sehingga keberadaannya disana tak diketahui. “Tolong ...” Suara lirih itu sudah pasti tak akan didengar oleh siapapun. Matanya semakin sayu dengan kedua tangan berusaha mengepal menahan sakit. Sesekali Ralph juga terbatuk darah akibat pukulan pada perutnya. Hingga beberapa waktu setelahnya, samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat diiringin suara teriakan yang menyebutkan kata 'tolong'. “Mas, sadar, Mas!” Seorang pria menatap khawatir tubuh Ralph yang terasa dingin karena keringat. Tak berapa lama, satu-persatu orang mulai berdatangan menghampiri Ralph yang sudah tak sadarkan diri. “Tolong cari mobil yang bisa angkut Mas ini, kalau nunggu ambulance terlalu lama,” ucap Bapak tadi khawatir. Seorang wanita mengangguk sanggup dengan permintaan Bapak tersebut dan berlalu menjauh. Matanya berpendar hingga mendapati mobil yang melaju lambat karena kemacetan mulai panjang. Segera saja ia berlari ke mobil itu. Tok! Tok! Dengan rasa tak sabar, tangannya mengetuk pintu mobil hingga menampilkan seorang pemuda yang menatapnya bingung. “Ada apa ya, Bu?” tanya pemuda itu sopan. “Mas, saya mau minta tol—” Wanita itu langsung terdiam dan merutuk dalam hati saat menyadari kesalahannya yang tidak memperhatikan siapa yang sedang ia mintai pertolongan. “Gak jadi, Mas. Maaf mengganggu.” Segera ia pergi mencari pertolongan dari orang lainnya karena tak mau menyusahkan pelajar tadi. “Semoga kali ini ada yang bisa nolong pemuda tadi,” gumamnya celingukan. Hingga suara dari arah belakang membuat wanita itu segera menoleh. Minggir, korban akan dievakuasi Yang tidak punya kepentingan menyingkir Nafas yang sejak tadi tertahan seketika langsung ia keluarkan dengan lega saat melihat korban luka parah tadi sudah ada yang menolong. “Puji Tuhan ...” *** Di rumah sakit proses evakuasi masih terjadi ketegangan karena Dokter yang memeriksa berkata bahwa pukulan yang terjadi pada lambung korban membuat organ tersebut pecah. Maka dari itu pihak rumah sakit sedang mencari donor supaya korban bisa diselamatkan. “Anda teman dari korban bernama Cleon Ralpheus?” Seorang dokter menghampiri pemuda yang tadi membantu membawa Ralph ke rumah sakit. “Ya. Bagaimana keadaannya?” tanya pemuda itu. “Nama anda siapa? Kalau memungkinkan, anda sebagai saksi sekaligus yang bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu dengan pasien.” Dokter itu kembali berujar. Pemuda itu menghela pelan kemudian menjawab, “Saya Alvero.” Dia Alvero, sahabat dari Ralin yang tanpa sengaja berada di lokasi kejadian. Entah bagaimana bisa namun pagi ini Alvero memang katanya ada urusan di sekitar sana. “Apa anda bisa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dengan pasien?” Pertanyaan itu membuat Alvero bungkam. Tanggung jawab untuk orang yang sudah membuat sahabatnya menangis? CIH! Alvero bukanlah manusia berhati malaikat! “Tidak bisa. Lebih baik pihak rumah sakit mengabari orang tuanya jika terjadi sesuatu dengan Ralph. Saya tidak mau menjadi objek yang akan dipersalahkan ketika terjadi sesuatu,” tukas Alvero membuat dokter itu menghela nafasnya. “Baiklah. Maafkan kelancangan saya yang meminta anda untuk menjadi wakil atas pasien. Saya permisi.” pamit dokter tersebut semakin membuat Alvero tercenung. “Tunggu!” seruan itu menghentikan langkah sang dokter. Pria paruh baya itu menatap Alvero heran. “Ada apa? Anda membutuhkan sesuatu?” tanya pria tersebut, sebut saja Dokter Rony. “Saya mau bertanggung jawab atas pasien bernama Cleon.” Dan jawaban tersebut membuat senyuman Dokter Rony tak bisa ditahan lagi. Segera ia berlalu mengurus pasiennya yang sudah mendapatkan wali untuk ditindak lanjuti lagi. Sementara Alvero menyandarkan punggungnya pada dinding dengan mata terpejam. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya saat menyetujui permintaan Dokter Rony tadi. *** Di kelas 11 IPA 4, para murid terlihat saling bergurau karena kebetulan guru sedang ada rapat. Termasuk Ralin dan Brisia yang sedang membahas mengenai fashion karena rencananya Brisia akan datang pada perayaan 8 tahun seorang Classica Ralin Millano menjadi seorang public figure. Di kursi belakang, Jeno memegang perutnya yang terasa sakit. Dia berpikir keras mengenai makanan apa saja yang ia konsumsi pagi hari ini. Roti dan s**u. Hanya itu saja yang dikonsumsi olehnya pagi ini namun beban pada perutnya seperti menghabiskan nasi goreng satu wajan. “Lin,” panggil Jeno pelan. Wajahnya pucat pasi disertai keringat dingin. Mendengar suara rintihan dari arah belakang, Ralin dan Brisia yang tadinya mengobrol langsung menoleh. Keduanya terkejut saat mendapati Jeno yang menatap mereka dengan pandangan sayu. “Eh, kenapa lo?” Ralin yang biasanya kesal dengan segala tingkah Jeno, langsung menghampiri. “Playboy bisa sakit, ya?” Dibalik gurauan itu, Ralin menyimpan rasa khawatir yang besar. “Sakit banget ...” Brisia segera mengambil minyak kayu putih dari dalam tasnya dan menyerahkan itu kepada Jeno. “Jeno olesin ya di perut. Gak mungkin dong kalau Bris yang olesin.” Gadis itu menyerocos dengan cepat sehingga Jeno langsung mengambil botol itu supaya ocehannya tak semakin panjang. “Th –” Bruk! “JENO!!!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD