34. Gue Pelakunya!

1067 Words
Di rumah sakit seorang diri, Alvero masih setia menunggu kabar dari dokter yang masih memberikan pertolongan pada Ralph. Pemuda itu sesekali mengerlingkan mata guna membaca info dari grup kelasnya. Cklek! Pintu UGD terbuka lebar menampilkan Dokter Rony yang keluar dengan peluh membanjiri wajahnya. Dalam diamnya, Alvero juga merasa sangat penasaran sekaligus khawatir mengingat saat dibawa ke rumah sakit tadi keadaan si besalus cukup parah. “Bagaimana keadaan teman saya?” Untuk pertama kalinya Alvero menganggap Ralph temannya. Dokter Rony tersenyum kecil, “Pasien sudah sadar. Namun tidak bisa terlalu banyak bergerak karena keadaannya masih terlalu lemah.” “Jadi, apa saya boleh masuk?” “Silahkan,” titah Dokter Rony, “Kalau begitu saya permisi mengecek pasien lain.” Pria paruh baya tersebut segera beranjak saat mendapatkan anggukan dari Alvero. Sementara di dalam ruangan ... Ralph terlentang dengan bibir yang sesekali meringis saat merasakan sakit pada perutnya. Pemuda itu sempat berpikir jika nyawanya tak dapat tertolong mengingat jalanan yang sepi. “Gue kira lo bakal matii.” Seruan dari seseorang yang sangat dikenalinya membuat Ralph sedikit menggerakkan mata. Ralph benar-benar tak bisa menggerakkan badannya karena serasa menyakitkan. Dia belum tau, jika masih menyakitkan ada di posisi Ralin. “Kenapa lo gak matii aja? Seharusnya gue langsung habisin lo saat itu juga.” Kali ini Ralph dibuat sangat terkejut dengan pengakuan Alvero. Selama ini dia tau jika Alvero membencinya, namun tak menyangka jika akan berbuat sejauh itu. “Gue ada salah apa sama lo?” tanya Ralph dengan suara yang lemah. Matanya sesekali memejam untuk menahan rasa sakit. “Lo gak ada salah sama gue. Tapi dengan lo nyakitin sahabat gue, itu termasuk kesalahan.” Pada akhirnya Ralph paham alasan Alvero memukulinya seperti ini. Ralph menyunggingkan senyum tipis sebagai balasan. “Gue harap lo gak buka mulut sama Ralin, atau gue akan beri pelajaran yang lebih daripada ini,” ancam Alvero sebelum pada akhirnya melenggang keluar, meninggalkan Ralph yang masih bungkam. “Classica ya ...? Gue jadi kangen sama dia ...” lirih Ralph. Dengan susah payah tangannya menyentuh tombol yang ada di sisi ranjang hingga tak lama datang dua orang bruder yang membawa peralatannya. “Ada apa Dek? Apa sakitnya masih gak bisa ditolerir?” tanya Bruder Roger. “Bukan, saya mau menanyakan barang-barang saya apa dibawa sekalian?” tanya Ralph sopan. Roger mengisyaratkan rekannya untuk keluar dan tak lama bruder satunya tadi kembali membawa barang yang diduga milik Ralph. “Ini barang yang tadi dibawa sama temanmu. Kalau membutuhkan sesuatu, tekan lagi ya tombolnya,” pesan Roger yang diangguki oleh Ralph. Selepas dua bruder tadi pergi, Ralph dengan perlahan membuka tas sekolahnya karena ingin mengambil ponsel. Dia perlu mengabari Mamanya supaya bisa membantu merawat dirinya. *** Andara berlarian di koridor rumah sakit setelah mendapatkan pesan dari putranya yang manis itu. Andara yang sebelumnya sedang sibuk memasak karena ingin mampir ke panti asuhan, langsung mengurungkan niatnya detik itu juga. Karena terlalu kencang ketika berlari, Andara sampai tak menyadari jika dari arah berlawanan ada seseorang yang mungkin akan bertabrakan dengannya. Bruk! Benar saja, Andara dan orang yang sedang berlawanan itu keduanya sama-sama tersungkur karena saling sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Duh, gimana sih!” dumel orang itu ketika tak menyadari keberadaan Andara. “Maaf ya, Dek, saya gak lihat jalan,” sesal Andara sembari membantu seseorang yang mengenakan masker serta jaket tertutup itu. “Ya gak masalah. Lain kali hati-hati,” judes orang itu kemudian berlalu pergi. Andara menggeleng heran dengan kelakuan anak jaman sekarang yang seperti kurang sopan-santun itu. Bukan sekali dua kali Andara bertemu remaja yang memiliki sifat seperti itu jadi ia sudah terbiasa. Tak ingin berlama-lama disini, Andara kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan rawat anaknya. Cklek! Aroma khas obat-obatan menyambut penciuman Andara. Wanita itu bisa melihat anaknya sedang terlentang dengan mata yang terbuka. “Ralph?” panggil Andara pelan. Kakinya mendekati sang putra yang membalas sapaannya dengan deheman pelan. “Bagaimana bisa, kamu terjatuh sampai seperti ini?” Andara memang hanya mengetahui jika anaknya itu terjatuh dari motor, bukan karena dipukuli oleh seseorang. Bahkan Ralph tak memberitahu perihal lambungnya yang pecah dan membutuhkan donor. “Namanya juga kecelakaan, Ma,” jawab Ralph pelan. Pemuda itu kembali meringis setelah mengeluarkan empat kata dari bibirnya. “Makanya hati-hati kalau naik motor. Kalau udah kayak gini, kamu mending naik sepeda aja, deh. Berhenti kerja jadi bodyguard sama cewek itu.” Ralph yang tadinya akan menyahuti ucapan Mamanya, langsung dibuat kicep saat mendengar 'bodyguard'. Mamanya tidak tau jika sudah beberapa waktu ini dirinya tidak melakukan tugasnya padahal bayaran dia terima rutin beserta bonusnya. Papi dari Ralin memang tak memberikan uang secara langsung, namun pria tampan itu meminta pada orang kepercayaannya untuk memberikan kabar tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi. “Ralph gak bisa, Ma ...” “Huh ... Terserah kamu saja ...” pasrah Andara karena tau jika anaknya ini keras kepala. Setelah itu keduanya hening karena sama-sama tak memiliki bahan pembicaraan. Hingga deringan ponsel milik Andara memecah keheningan. Bisa Ralph lihat jika Mamanya itu sesekali tertawa kecil menanggapi obrolan dari sebrang sana. Namun sebagai anak ia hanya diam sembari menguping. “Oh iya, Mama tadi bawakan kamu bubur ayam,” ucap Andara setelah mematikan sambungan teleponnya. Senyum kecut terukir dari bibir Ralph. Sepertinya Mamanya itu belum memperhatikan kondisinya yang hanya bisa menerima nutrisi melalui infus. “Ralph gak bisa makan, Ma. Cuma bisa nerima dari infus aja,” tutur Ralph. Andara menelisik keadaan putranya dengan mata memicing namun tak ayal ia juga mengangguk. “Kalau begitu biar Mama yang makan,” ujar Andara pengertian. Diam-diam Ralph menghembuskan nafasnya lega karena tak di curigai. *** Saat ini Ralin berada di kantin rumah sakit seorang diri. Brisia sedang menemani Jeno yang mendadak pingsan sejak dari sekolah tadi. Air mata gadis itu mengalir kala mengingat keadaan Jeno di kelas tadi. “Huh ... Banyak banget masalah di hidup gue,” ucap Ralin menengadahkan kepalanya. Masalah dengan Ralph tak memiliki titik akhir, sekarang ditambah Jeno yang tidak memiliki riwayat penyakit namun mendadak tak sadarkan diri. Jika dilihat dari luar, dia seolah baik-baik saja. Namun percayalah jika hatinya tak sekuat itu. Drrtt ... Drrtt Getaran pada ponselnya membuat kegiatan melamun Ralin terhenti. Segera gadis itu mengangkat panggilan dari kontak bernama 'Bro Andro'. Bisa diprediksi jika sutradara itu menelfon, pasti akan ada panggilan bermain film. Setelah panggilannya terputus, Ralin kembali menatap lurus saat mengingat jika biasanya dia akan selalu ditemani Ralph ketika sedang shooting. “Gue kangen boleh gak, sih?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD