Bagian 28 - Kebrutalan Murid Erebus

1076 Words
Erebus duduk bersama ketiga juri penguji s*****a untuk menonton muridnya yang sedang diuji. Ia tahu bahwa juri penguji s*****a pasti mengakui kehebatan anak didiknya. Ia tersenyum melihat Matton yang masih merasa kesal padanya. Ia tahu bahwa akhirnya pasti begini.  Paeon dan Motton bersiap-siap di arena. Mereka yang akan melakukan pertandingan selanjutnya.  “Semoga mereka tidak menambah kerusakan arena!” Kata Ponos pelan. Paeon memilih s*****a meriam sorong yang besar. Meriam ini memiliki roda yang bisa dibawa kemanapun arahnya. Ia sengaja diciptakan dengan roda karena bentuknya yang besar dan penguji s*****a bisa lebih efektif memberikan serangan. Sedangkan Motton, ia memilih s*****a meriam yang ditempatkan di d**a. Meriam d**a ini memiliki tali yang dikaitkan di kedua tangannya sehingga moncong meriam menyembul ke depan panjang. Jika tidak memiliki keseimbangan yang baik dan juga otot yang kuat, penguji s*****a yang menggunakan s*****a ini akan jatuh saat berlari ataupun ketika menembakkan peluru. ‘ Paeon menyerang terlebih dahulu. Dengan meriam sorongnya, ia mudah membidik lawannya. Ia menembakkan meriamnya tanpa ragu berkali-kali kemanapun Motton berlari. Ini salah satu tantangan Motton karena meriam dadanya tidak bisa membuatnya seimbang dalam berlari. Ia pun memutuskan untuk menyerang balik Paeon. Ia akan melaga bola peluru meriamnya dengan bola peluru milik Paeon. Ia berdiri tegak dan menembakkan peluru meriamnya ke arah tembakan Paeon. Peluru-peluru miliknya, ditembaki oleh Motton hingga habis. Saat ada kesempatan, ia menembak Paeon bertubi-tubi. Paeon memaksimalkan senjatanya. Ia menembak peluru yang lebih besar lagi, tapi kali ini jangkauan ledakannya lebih besar. Motton tahu itu. Ia langsung berlari dan menembak Paeon dari sudut berbeda saat pelurunya belum sampai ke tanah. Paeon terpaksa menembak lagi peluru Motton dengan dua peluru besar, sehingga peluru milik Motton bisa hancur.  Paeon mendorong meriamnya lagi ke tempat yang aman, lalu menyerang Motton yang sedang bergerak menghindari peluru miliknya. Saat peluru spesial Paeon meledak dengan kuat, Motton tercampak tinggi ke atas lalu terjatuh ke bawah. Ia terguling-guling ke tanah. Saat ia belum bangun, Paeon bersiap-siap dengan peluru spesialnya lagi.  Matton langsung berteriak, “STOP! Kau tidak lihat dia mencoba untuk bangun? Tunggu ia sampai bangun dulu!”  Paeon melihat Matton. Ia berhenti dan melakukan sesuai dengan perintahnya.  Matton melihat Erebus. “Apakah mereka penguji s*****a atau mesin pembunuh!” Komentar Matton dengan kesal.  Erebus hanya tersenyum kaku, tidak bisa menjelaskan mengapa murid-muridnya semuanya seperti itu. Paeon menunggu Motton sampai ia berdiri. Ia lalu menembakkan lagi meriamnya berkali-kali. Matton tidak ingin kalah. Ia merasa Paeon telah memberikannya kesempatan. Kali ini ia tidak akan kalah. Motton tahu bahwa Paeon tidak akan bisa secepat dirinya karena ia harus mendorong meriamnya.  Motton menggunakan kecepatannya. Ia mengaktifkan mode lain dari senjatanya. Bagian moncong dari meriam Motton melebar. Peluru yang akan keluar menjadi bertambah. Peluru yang akan keluar akan double di waktu yang sama, sehingga peluru-peluru itu semakin kuat. Ia berlari kencang dan Paeon menembakkan pelurunya. Paeon mencegah agar Motton tidak terlalu dekat dengannya. Karena sedikit sulit untuk mengeker di saat musuh dekat. Jarak satu atau dua meter sudah menyulitkan Paeon untuk menembak.  Motton menembak Paeon dengan double pelurunya yang cepat. Paeon menghindar tapi ia juga mundur karena tahu Motton semakin lama semakin dekat. Paeon tidak bisa kemana-mana lagi. Di belakangnya sudah tembok. Ia mencoba untuk mengeker Motton tetapi tangannya gemetaran. Kecepatan Motton tidak bisa diimbangi dengan kecepatannya mengeker target. Motton semakin dekat, dan di jarak dua meter ia melemparkan peluru doublenya berkali-kali dan mengenai Paeon. Ia menembakkan peluru bertubi-tubi kepadanya. Dinding lain arena pun tumbang, dan reruntuhannya menimpa Paeon.  Matton langsung ternganga. Kerusakan arenanya bertambah. Ia semakin kesal. Ia meletakkan tangannya di kepala. “Waduh! Tambah rusak!” Ucapnya kesal. Paeon keluar dari reruntuhan itu. Ia membalas Motton. Ia mengekernya dan menembaknya lagi sebagai pembalasan. Matton berdiri. “Cukup! Hentikan! Ini sudah cukup. Kalian sudah cukup, kalian semua diterima!” Kata Matton. Ia berdiri dengan kesal karena arenanya sudah hancur berantakan.  “Kau ingin arena mu tetap utuh di tengah-tengah pertarungan?” Kata Porus kepada Matton.  “Bukan begitu! Ini sudah keterlaluan. Mereka tidak lagi memperkirakan arena. Aku sudah cukup tahu bahwa mereka pasti akan memaksimalkan semua s*****a yang mereka pakai!” Kata Matton menjawab Porus. “Jadi kau menerima semuanya?” Tanya Erebus. “Tentu! Aku menerima semua muridmu!” Jawab Matton sambil menyuruh mereka keluar dari arena dan berkumpul di depannya. “Tapi, ada satu lagi yang belum bertanding!” Kata Aporia.  “Aku sudah yakin, dia pasti juga brutal seperti teman-temannya!” Kata Matton.  Mereka berlima pun berkumpul. Panakea belum bertanding. Ia berdiri sambil memegang meriam yang ditempatkan di pundaknya, s*****a yang seharusnya dipakainya bertanding.  “Aku belum bertanding!” Katanya kepada Matton. “Seharusnya kau bangga. Temanmu diterima karena diuji, sedangkan pun tanpa ujian!” Kata Matton yang membuatnya tidak bisa berkata lagi. “Sekarang kau mengakui kehebatan mereka bukan?” Tanya Erebus kepada Matton. “Baiklah, aku mengakuinya. Aku juga tidak menyesal telah melihat pertandingan ini! Sudah lama tidak melihat pertandingan dengan semangat membara dan penuh dengan keberanian seperti ini!” Kata Matton. “Kita belum bisa mengatakan bahwa mereka berani! Mereka belum melihat betapa kerasnya kehidupan penguji s*****a!” Ucap Porus. “Memang ada benarnya juga. Di awal mereka memang berani, tapi setelah lama kelamaan terlalu banyak pertimbangan. Mempertahankan memang tidak mudah!” Kata Matton. “Bagaimana menurutmu? Sebagai juri penguji s*****a disini!” Tanya Matton kepada Ponus. “Mereka memang layak. Kita kan melihat apa yang ada di depan kita. Kalau kedepannya, kita tidak bisa nilai sekarang, tapi nanti! Untuk sekarang, mereka kandidat yang sangat cocok. Banyak penghuni Surga yang mengirimkan s*****a yang berat dan besar. Mereka kandidat yang cukup dinantikan oleh pembuat s*****a!” Kata Ponus.  “Baiklah, kalian bisa kembali! Keberangkatan kalian ke bagian surga ke 5 akan diatur nanti!” Kata Matton.  Mereka pun pergi dari arena itu. Matton melihat arena nya dan merasa menyesal. Ia melihat Aporia. “Apa ada yang bisa kita lakukan dengan arena ini?”  Aporia hanya menatap Matton. Ia tidak bisa memprediksi apa-apa. Karena ini baru pertama kalinya ia melihat arena yang rusak saat pertandingan. “Ini akan sulit diperbaiki. Tentu butuh waktu yang cukup lama. Mencari bahannya yang sulit!” Kata Porus menjawab Matton. “Aduh! Ini akan sulit!” Kata Matton. Erebus menyeringai. Ia merasa kasihan, tapi senyuman di wajahnya terlihat seperti kebanggaan.  “Aku tidak tahu ini! Aku pergi!” Kata Erebus meninggalkan mereka dan tidak ingin bertanggung jawab atas hal tersebut.  “Dia tidak bisa diharapkan disaat genting seperti ini!” Kata Porus.  “Memang dia begitu. Suka-suka hatinya saja meninggalkan orang tanpa pertanggungjawaban!” Kata Matton kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD