"Jakarta digemparkan oleh kasus mutilasi sadis yang ditemukan di salah satu apartemen mewah di pusat kota. Korban, seorang wanita berusia 30 tahun, ditemukan dalam kondisi mengenaskan dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Kepolisian mengungkap bahwa pelaku, penghuni unit apartemen tersebut, berhasil diamankan di tempat kejadian setelah mencoba menyerang seorang saksi yang kebetulan berada di lokasi.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol. Arif Hartanto, menyampaikan dalam konferensi pers pagi ini bahwa korban telah mengalami kekerasan fisik sebelum akhirnya dibunuh. 'Pelaku mengakui telah memutilasi tubuh korban dengan pisau dapur. Motif sementara yang kami dalami adalah hubungan personal yang dilatarbelakangi oleh obsesi dan rasa cemburu. Rekaman CCTV dan bukti lainnya sedang kami analisis untuk memperkuat dakwaan,' ungkapnya.
Kasus ini telah menimbulkan keresahan di kalangan penghuni apartemen mewah tersebut, yang sebelumnya dikenal sebagai tempat tinggal yang aman. Korban, yang dikenal sebagai seorang pekerja profesional di bidang desain, diduga memiliki hubungan dekat dengan pelaku. Pihak kepolisian masih menyelidiki lebih lanjut apakah ada korban lain yang terkait dengan pelaku."
Paulina menatap layar televisi dengan wajah pucat. Berita tentang kasus mutilasi itu terasa seperti bayangan buruk yang terus menghantuinya. Gambar apartemen dengan garis polisi yang membentang di lorongnya terpampang jelas di layar, memperlihatkan tempat yang sama persis dengan unit tempat dia tinggal bersama Jagapathi. Dia menggigit bibir, membaca ulang deskripsi mengerikan tentang kepala korban yang dipisahkan dari tubuhnya dengan brutal.
Tatapannya teralih ke arah Jagapathi yang masih terlelap di ranjang rumah sakit. Wajah pria itu terlihat lebih tenang dalam tidurnya, namun bekas luka di sisi pinggang, tangan dan perutnya terlihat dililit perban. Tidak hanya sekali tusukan, Jagapathi mendapatkan tusukan berulang kali saat melakukan perlawanan. Masih teringat di kepala Paulina saat dirinya gementar turut melawan penjahat itu sampai akhirnya disinilah dia sekarang, dirinya tanpa luka, tapi Jagapathi… begitu parah. Bahkan dia belum sadarkan diri dari semalam.
Ruang VVIP rumah sakit itu lebih mirip suite hotel mewah daripada ruang perawatan. Dindingnya dilapisi panel kayu bernuansa hangat, dengan aksen marble putih yang memancarkan kesan elegan. Lampu gantung modern berbentuk lingkaran menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang tidak menyilaukan. Di sudut ruangan, terdapat jendela besar dengan tirai elektrik yang bisa diatur untuk membiarkan sinar matahari pagi masuk.
Ranjang pasien yang ditempati Jagapathi berada di tengah. Ranjang itu dilapisi seprai putih bersih dengan selimut abu-abu yang tebal, memberikan kenyamanan maksimal bagi pasien. Di sebelahnya, meja kecil dengan vas bunga segar dan lampu baca menyala redup, seolah mengingatkan bahwa ruangan ini tidak hanya untuk pemulihan fisik tetapi juga mental.
Di sisi lain, terdapat ruang tambahan yang dirancang untuk keluarga atau kerabat yang menemani. Sebuah tempat tidur kecil berlapis linen mahal, lengkap dengan bantal empuk dan selimut tebal, siap memberikan kenyamanan bagi siapa pun yang menunggu. Namun, Paulina tidak pernah menyentuhnya. Dia tetap duduk di sofa empuk berwarna abu-abu dekat ranjang pasien, menolak meninggalkan sisi Jagapathi.
Sofa itu sendiri besar dan nyaman, dengan desain minimalis yang seharusnya memanjakan tubuh siapa pun yang duduk di atasnya. Tetapi bagi Paulina, kenyamanan itu tidak ada artinya. Semalaman, dia hanya duduk di sana, memeluk lututnya sendiri, matanya terus menatap Jagapathi yang masih belum sadarkan diri. Pagi ini, tubuhnya terasa berat, tetapi dia tetap tidak bergerak. Matanya sembab karena kurang tidur, rambutnya sedikit berantakan, tetapi perhatian sepenuhnya hanya tertuju pada pria yang terbaring di ranjang itu.
Sekalipun ruangan itu mewah dan nyaman, dengan aroma bunga segar dan pendingin ruangan yang lembut, Paulina tidak merasa rileks. Hatinya terlalu kacau, pikirannya terus dipenuhi rasa takut dan bersalah. Bagi Paulina, yang penting bukanlah istirahatnya, tetapi memastikan bahwa pria yang terbaring di hadapannya itu membuka matanya lagi.
“Kamu gak tidur semaleman?”
“Bapak? Udah sadar?” tanya Paulina kaget, dia terlalu tenggelam dalam lamunan. Dengan segera dia mendekati ranjang. “Bapak gak papa?”
“Kamu pikir saya gak papa huh?”
“Ma-maf, hiks…” paulina bergegas menyeka air mata yang turun begitu saja, padahal dia sudah meyakinkan diri tidak akan menangis nanti. “Saya panggilkan dokter ya, Pak.”
“Jangan dulu.” Tangan Jagapathi menggenggam pergelangan tangan Paulina. “Kamu bener gak tidur semaleman?” kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat terjawab.
“Gimana saya bisa tidur semalem dengan kondisi bapak yang kayak gini? Bapak hampir sekarat kalau gak ada dokter Zurech yang ambil alih, hiks… saya juga bingung gak tahu harus gimana. Dan intinya sayalah sumber kesialan bapak… hiks… saya minta maaf, Pak. Maafin saya…. Hiks… hiks… Hueeeee!”
“Jangan nangis, Paulina. Kamu malah kayak anak kecil yang nggak dikasih jajan.”
“Maaf… hiks…. Saya gak bisa kendalikan air mata ini.” tangan Jagapathi dia lepaskan supaya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba meredam tangisan yang susah dia kendalikan, bahkan sampai sesegukan dan itu membuat Jagapathi kembali meraih tangannya. “Hiks… jangan ditarik nanti berisik… hiks… saya mau ke kamar mandi aja…”
“Buka tangan kamu. Buka,” perintahnya dengan tajam seperti biasa. Begitu telapak tangan terbuka, Jagapathi melihat wajah Paulina yang semerah tomat, rambut yang berantakan dan kena air mata hingga menempel pada wajah. “Duduk. Cepetan duduk.”
Paulina menurut, dia duduk di bibir ranjang, masih terisak saat Jagapathi menyingkirkan rambut yang menempel di wajahnya, seperti seorang ayah yang membereskan penampilan anaknya. “Jangan nangis, berhenti nangis. Itu gak akan mengubah kenyataan kalau kamu memang banyak salah sama saya.”
“Maaf, Bapak… hiks… saya harus gimana sekarang? Hiks.. hiks…”
“Tarik napas dulu, saya gak mau ngomong sama orang yang sesegukan kayak gini.” Paulina mulai tenang, entah efek Jagapathi yang mengelus tangannya atau memang dia lelah menangis. “Ada polisi yang datang?”
“Kayaknya ada, dokter Zurech bilang focus aja pemulihan diri, itu urusan dia.”
“Kamu ada luka?”
Paulina menggelengkan kepala. “Keburu dipeluk sama bapak.”
“Bagus, sekarang kamu tidur sana. Ada ruangan tunggu ‘kan?”
“Ada, tapi saya gak ngantuk, gak bisa tidur dicoba semalam juga.”
“Karena saya ‘kan? Sekarang saya udah baikan, jadi kamu bisa tidur.”
Paulina menggelengkan kepalanya. “Gak mau,” suaranya kembali bergetar hampir menangis melihat Jagapathi yang bahkan tidak bisa menggunakan tangan kanannya sebab luka tusukan itu sampai tembus! “Nanti aja. Bapak butuh apa? Saya bantu bapak ya?”
Jagapathi mengembuskan napas terdengar kesal, membuat Paulina langsung menunduk dan memainkan jemarinya. “Tidur disini.” Jagapathi menepuk sisi ranjang kirinya, membuat Paulina membulatkan mata kaget. “Jangan mikir yang aneh-aneh, saya butuh dipijet, lebih mudah kalau kamu sambil tiduran.”
“Emang iya? Emang bapak mau dipijat bagian apa?”
“Tiduran dulu kamunya disini.”
Ranjang Jagapathi yang lebih luas itu muat untuk dua orang, tapi begitu pas hingga tubuh mereka berdempetan. Paulina jadi ngeri, lebih takut kena luka di pinggang, punggung dan tangan kanannya, dia bahkan meringis melihatnya. “Posisinya bikin bapak bahaya deh. Ini pijet apa yang harus sampe tiduran kayak gini?”
Apalagi Jagapathi sekarang memposisikan lengan kirinya menjadi bantalan Paulina. “Lengan kiri saya pegel, butuh ditindih bentar kayak gini.”
“Bukan dipijet itu namanya, pak. Lagian ini posisi bisa bikin kena luka bapak.”
“Diem seenggaknya lima menit.”
“Oke deh.” Mulut Paulina bungkam seketika, dia diam saja menunggu lima menit berlalu berada diranjang dan begitu dekat dengan Jagapathi. Sebab lima menit terasa lama, Paulina bosan dan matanya tiba-tiba saja berat. Tidak lama kemudian, terdengar suara napas teratur. Jagapathi menunduk melihat perempuan itu sudah terlelap, membuatnya menghela napas.
“Ciee…. Harus banget tidurnya disatu ranjang?” pertanyaan tiba-tiba itu terlontar dari mulut dokter yang baru saja datang, Zurech tersenyum lebar melihat temannya, membuat wajahnya langsung tampak jahil. “Udah gue duga sih lu nyicip ni anak. Jangan denial gitu, ni anak cantik sama semoknya kebangetan. Pulen banget kalau dipeluk juga. Seorang Jagapathi akhirnya punya manusia yang bisa dia jag-”
“Mau diem atau gue jahit mulutnya?”
Bukannya takut, Zurech malah tertawa dan sengaja mendekat untuk menyimpan obat di nakas. “Duh, tidurnya aja cantik banget.”
“Bukan type gue. Gak usah mikir yang aneh-aneh. Abis ini pasti bakalan diperiksa polisi, ini anak harus tetep VIT.”
“Iya deh, tetep VIT dengan cara di charger di pelukan Pak Dekan. Iya nggak?”
“Serius lu mau gue jahit itu mulut?”
“Hahahaha, kasih tahu Jedidah sama Prabu ah,” ucapnya tidak takut sama sekali.
****
Jika saja Paulina tidak mencium aroma yang sangat enak, dia tidak akan membuka mata sebab terlalu nyaman dalam dekapan yang sudah lama tidak dia temukan. Seingatnya, pelukan hangat seperti ini diberikan Mamanya sebelum meninggal. Kemudian samar-samar Paulina mendengar suara tawa, disusul suara Jagapathi, “Diem gak lu pada, anaknya lagi tidur.”
Yang langsung membuat Paulina membuka matanya, dan langsung bertatapan dengan Jagapathi yang sekarang sudah duduk bersandar di ranjang, dengan tangan kirinya menepuk kepala Paulina. “Tidur lagi, bentar lagi mereka keluar kok.”
“Mereka siapa?” tanya Paulina langsung ikut mendudukan dirinya, betapa terkejutnya dia melihat ada 3 orang pria dewasa disana. Satu Dokter Zurech yang sedang makan pizza bersama Jedidah, dan satu pria lag tidak dikenali Paulina sebab sibuk menelpon.
“Udah gue atur di kepolisian, nanti mereka yang kesini buat kebutuhan keterangan saksi. Lu sama cewek lu bisa istirahat,” ucap Prabu.
“Cieee gak ngelak disebut cewek lu,” ucap Zurech sambil memukuli Jedidah yang sibuk mengunyah sambil menahan tawa.
Jagapathi tidak mempedulikannya, dia malah sibuk membenarkan rambut Paulina dengan mata tertuju pada Prabu. “Thanks, Prab. Apartemen gue tolong kondisikan. Males kalau banyak orang.”
“Gue mau langsung ketemu sama kepala polisinya sama Jaksanya sekarang sekalian ada keperluan lain. Pizza punya gue abisin aja sama lu pada.” Prabu meraih coatnya.
“Dih, gak rame lu masa bentaran doang jenguk ya?” Tanya Jedidah.
“Daripada ganggu orang pacarana?” Kemudian Prabu berlalu.
“Oh iya ganggu orang pacarann.” Jedidah beralih menatap Paulina yang tampak bersembunyi dibalik punggung Jagapathi sekarang. “Paulina masih syok ya? Sini makan pizza dulu.”
“Gak usah sok manis, lu pada ganggu dia yang tidur.” Jagapathi kesal.
“Kesel amat ceweknya diganggu, lagian udah siang bagian makan dia.” Jedidah melangkah dengan sekotak pizza yang belum dimakan kemudian memberikannya pada Paulina. “Ini ya, makan sekalian suapin Jagapathi.”
“Huh? Harus disuapin?” Paulina masih linglung.
“Kan tangan kanannya luka, jadi dia daritadi nontonin kita makan doang.”
Tawa Zurech kembali mengudara saat Paulina tampak ragu menerimanya. Jedidah pun berpamitan setelah minta maaf telah mengganggu tidur Paulina, tidak lupa memberikan pesan, “Yang betah ya tidur disamping Jagapathi, soalnya jarang yang betah deket dia.”
“Pulang gak lu atau mau gue stop pasok-”
“Iya iya gue balik.” Jedidah masih bisa tertawa dengan ancaman Jagapathi. “Bye bye, Pulu pulunya Jaga.”
Belum selesai sampai disitu, masih ada Zurech yang kini datang membawakan dua minuman. “Gak ada pantangan buat makan atau minum. Nih, dikasih minuman rasa anggur biar serasa lagi minum wine.”
“Keluar gak lu?”
“Sans ih, gue mau ngomong sesuatu dulu,” ucap Zurech kali ini lebih serius. “Tadi sekretaris lu di fakultas dateng nganterin dokumen pengunduran diri dia, katanya ada urusan pulang kampung. Terus gue minta dititip ke gue soalnya lu lagi pelukin itu si Paulina pake erat banget.”
“Gak usah ngomong aneh-aneh. Dokumennya bawa kesini.”
Tapi Zurech tidak semudah itu pergi. “Pau, Jaga kan kayak gini gara-gara kamu. Sekarang sekretarisnya ngundurin diri, pembantu di apartemennya juga lagi sakit, kamu pastikan rawat dia ya. Kalau butuh apa-apa hubungi saya, khususnya cara memandikan Jagapath-” BUGH! Zurech lebih dulu dilempar bantal, pria itu tersenyum karir kemudian mengangguk. “Silahkan lanjutkan makan pizza nya.”
Dan tinggalan mereka berdua di dalam sana, akhirnya Paulina pun memiliki kesempatan untuk bicara, dia menatap Jagapathi. “Mau saya suapin, Pak?”
“Gak usah ikut terkontaminasi sama kelakuan mereka.”
“Ih serius, saya lihat tangan kanan bapak itu pake perban susah makenya. Janji gak akan goda, Pak,” ucapnya bersungguh-sungguh membuat Jagapathi diam sejenak.
“Yaudah, mau yang keju.”
“Iya,” ucap Paulina langsung turun dari ranjang dan menarik kursi dekat dengan Jagapathi. Sungguh dirinya hanya ingin mengganti semua kesalahannya. “Buka mulutnya, Aaaaa…”
“Saya bukan anak kecil.”
“Iya siap salah.” Walaupun dalam hatinya, Paulina jedag jedug akibat takut. Iya dia sangatttt takut!
***
Dan mereka tidak tertahan lama di rumah sakit. Jagapathi langsung pulang malam itu juga setelah seharia memberikan keterangan bersama Paulina. Iya, yang datang polisi ke tempat Jagapathi dirawat. Cukup lamaaaa sekali, sampai Paulina kelelahan padahal hanya menjawab pertanyaan. Sekarang, mereka menuju ke apartemen lantai 24 tersebut. Dengan Jagapathi yang berdiri tegak tidak terlihat luka sedikitpun. Sementara Paulina melangkah dibelakangnya. Dia takutttttt, takut hantu jelas dan takut Jagapathi juga sih. Maksudnya, lantai 24 itu hanya ada 6 unit apartemen karena terbatas dan juga lebih exclusive, bahkan memiliki lift tersendiri setiap unitnya.
Walaupun unit Jagapathi liftnya di arah berlawanan dengan tempat criminal terjadi, tapi Paulina tetap saja merasa takut terlebih masih ada garis polisi disana dan juga beberapa orang… sepertinya? “Besok juga mereka beres. Nanti saya suruh mereka gak berisik.”
Paulina menaikan alisnya, padahal dia tidak bicara apa-apa. “Bapak mau makan sama apa?”
“Pesen aja, kamu juga capek ‘kan?”
“Enggak kok, bapak mau makan apa? Yang bikin bapak lebih semangat dan ada tenaga gituh? Biar cepet sembuh. Saya kalau sakit suka dibikinin sambel goreng tempe sama Mama biar makannya nikmat. Mau gak?”
“Cerewet kamu ya,” gumam Jagapathi yang langsung membuat Paulina melipat bibirnya. “Yaudah bikin aja, saya mau ke kamar dulu.”
“Kalau bapak butuh sesuatu, panggil saya aja ya.”
Walaupun tidak dijawab, Paulina tetap panas dingin khawatir pria itu kenapa-napa. Setelah pintu kamar Jagapathi benar-benar tertutup, barulah Paulina mulai memasak dengan resep andalannya. Sebenarnya dia sangaaaatttt lelah, belum lagi membantu Jagapathi yang masih keterbatasan bergerak. Sekarang saja Paulina kepikiran, apa pria itu baik-baik saja di dalam sana?
Setelah makan malam siap, Paulina memanggil Jagapathi dari luar pintu, dan tidak mendapatkan jawaban. Paulina tetap menunggu disana, takutnya sang dekan membutuhkannya dan dia tidak men- CRAI!
“Bapak?!” Paulina lantas langsung masuk, dan mendapati Jagapathi yang berusaha memakai baju. Berakhir dengan menyenggol vas bunga. “Aduh, bapak hati-hati dong. Awas kena pecahan kaca. Kesini saya pakein ba…. Tuhkan lukanya kebuka lagi. duduk deh duduk, saya ganti dulu perbannya.”
Biasanya Paulina yang tidak diberikan kesempatan bicara, kali ini Jagapathi yang diam dan mendengarkan omelan Paulina yang menggantikan perban di pinggang dan punggungnya. “Bapak ini masih sakit kalau dipake kan? Panggil saya aja.” dengan telaten membalut luka, sangat rapi dan nyaman terasanya. Paulina sendiri sangat takjub dengan pekerjaannya, sampai dia menatap lama tubuh Jagapathi yang dibalut perbannya.
“Jangan liatin saya kayak gitu.”
Paulina tersentak. “Maaf, gak bemaksud apa-apa, Pak. Serius saya Cuma merasa senang sama hasil balutan saya. Ekhem!” dan paulina sendiri baru menyadari betapa panasnya tubuh Jagapathi, dengan cepat dia pakaikan piyama berkancing supaya mudah.
Setelah itu, Paulina juga menyuapinya makan malam sebab Jagapathi masih harus disibukan dengan ipad. Pekerjaannya benar-benar menupuk padahal dirinya sedang sakit, terlebih lagi sekretarisnya mengundurkan diri. paulina kasihan. Dia jadi terfikirkan sesuatu. Katakan atau tidak ya? Dia takut juga kalau lama-lama dekat Jagapathi.
“Hallo, Prab? Cariin asisten dulu lah, di Fakultas gue gak ada yang kompeten dan bisa imbangin gue. kirim dulu dari Fakultas lu, ada gak? Yang magang aja, iming-iming nanti diangkat disini.”
Yang membuat Paulina yakin dengan pilihannya. Dia pun berucap, “Bapak… eumm… sebelum dapat asisten yang baru, saya bisa bantuin bapak. Saya bisa ngimbangin bapak. Kalau bapak marah-marah, saya gak pernah ngambek, jadi aman.” Begitu Jagapathi selesai bicara.
Membuat pria itu mengerutkan keningnya. “Kamu, jadi asisten?”
“Eum… jadi pembantu aja istilahnya gak papa. Kalau sekedar beresin file atau disuruh kirim atau bikin dokumen masih bisa, Pak. Soalnya… tadi saya lihat ruang kerja bapak berantakan di kamar.”
Jagapathi tampak berfikir sejenak. “Oke, beres makan malam kamu ke kamar. Ada yang harus saya selesaikan malam ini.”
Paulina mengangguk, tersenyum getir sebab pikirnya pria itu tidak akan menerima. Kan paulina harus menyiapkan hatinya yang selalu ketakutan jika dihadapkan dengan Jagapathi. Tapi tidak apalah. Paulina benar-benar menyanggupi ucapannya. Setelah makan malam, dia beres-beres sebentar lalu menyusul ke kamar Jagapathi yang pintunya dibuka lebar.
“Saya mau ke kamar mandi dulu, kamu beresin berkas yang berserakan.”
“Mau dibantu gak, Pak?”
“Gak usah,” ucapnya ketus membuat Paulina langsung diam dan melipat mulutnya.
Kasur adalah hal pertama yang dia lihat, ada beberapa berkas dokumen disana, jadi Paulina memilih membereskannya sambil memainkan pengaturan suhunya. “Panas, anget, dingin… beuh mantap banget kasurnya.”
Sementara itu, Jagapathi tengah menggosok giginya dulu. Jujur saja agak kesulitan dengan tangan kanan dan tubuhnya yang terluka, tapi dia tidak mau Paulina membantunya sampai sejauh ini. Begitu selesai, Jagapathi langsung keluar bersiap untuk bergadang. Namun sepertinya dia akan bergadang sendiri, sebab terlihat Paulina tengah menungging dengan mata terpejam dan wajah yang terkubur di bantal.
Jagapathi menelan salivanya kasar, kenapa posisinya seperti itu?