Paulina tertidur sangaatttt dalam, dan juga nyaman. Bahkan semalam dirinya memimpikan sang Mama mengelus pipinya, dan meminta Paulina belajar Bahasa Jerman supaya tidak mempermalukan leluhurnya. Seketika juga Paulina membuka mata, kenapa harus Bahasa Jerman? Tapi yang lebih kaget adalah, kenapa dirinya ada dalam pelukan Jagapathi yang tidak memakai baju? Terlebih mereka berhadapan, dengan hembusan napas Jagapathi yang terasa menyentuh ujung kepalanya. Ditambah lagi, panasnya matahari membuat Jagapathi dan dirinya berkeringat. Karena apa? Karena ranjangnya juga panas. Dan Paulina melihat dengan jelas bagaimana keringat itu meluncur di sela-sela ototnya yang naik turun.
Dan Jagapathi pun terlelap begitu dalam, memeluk Paulina bagaikan guling dan tidak bisa mengendalikan kemana tangan merayap. Sampai telapak tangan kekar itu mengejutkan Paulina dengan tiba-tiba mendarat di…. Dadanya. “Aaaaaa!” BUGH!
“Ah! s**t!”
Paulina yang kaget refleks mendorong, membuat Jagapathi hampir jatuh dan tubuhnya bergerak terlalu liar hingga perut dan pinggangnya kembali berdarah. “Shhhhh…”
“Bapak, ya ampun maaf, Pak. Maaf,” ucap Paulina yang kini bersujud di hadapan Jagapathi. Dia ingin menangis, adakah hari dimana dirinya tidak membuat kesalahan pada sang Dekan? “Maaf, Pak, maafin saya. Saya gak sengaja.”
Jagapathi menghembuskan napasnya kasar, tanpa berkata apa-apa dirinya pergi ke kamar mandi, meninggalkan Paulina yang merasa bersalah terlebih dia mendengar lagi desisan kesakitan Jagapathi dari dalam kamar mandi. Paulina meskipun takut, ingin bertanggung jawab. “Bapak… buka pintunya, saya mau obatin. Saya bantuin ya?”
Ditambah lagi semalam dirinya malah tertidur. Jadilah semakin merasa bersalah. “Bapak… saya obatin ya? Bantuin? Saya minta maaf.”
“Masuk. Bantuin saya,” ucap Jagapathi dengan tegas.
Untuk pertama kalinya, Paulina melangkah masuk ke kamar mandi pribadi Jagapathi, dan seketika merasa seolah masuk ke dalam katalog desain interior kelas dunia. Kamar mandi itu luas, dengan langit-langit tinggi dan dinding marmer putih berkilauan dengan urat keemasan yang memancarkan kemewahan. Sebuah bathtub besar berbentuk oval terletak di sisi ruangan, tepat di depan dinding kaca besar yang menghadap ke pemandangan kota Jakarta
Di sebelah bathtub, lantai marmer yang halus seolah memantulkan setiap cahaya dari lampu LED yang tersembunyi, menciptakan suasana yang hangat dan elegan. Sebuah rak kecil dengan handuk putih tebal dan lilin aromaterapi berdiri di dekatnya, menambah kesan relaksasi. Shower berdinding kaca dengan pancuran hujan berada di sisi lain, lengkap dengan panel kontrol digital. Wastafel ganda dengan keran berlapis emas berdiri di bawah cermin besar dengan bingkai kayu berukir, menambah kesan maskulin namun tetap memikat.
Namun, keindahan itu segera sirna dari pikiran Paulina saat pandangannya tertuju pada sosok Jagapathi. Pria itu duduk di tepi bathtub, punggungnya sedikit membungkuk, dan handuk putih melilit di pinggangnya. Cahaya lampu dari plafon memantulkan kilauan dari bathtub marmer yang terlihat hampir seperti permata, tetapi perhatian Paulina sepenuhnya tertuju pada darah yang merembes di sisi tubuh Jagapathi, mengalir pelan ke lantai marmer di bawahnya.
“Bapak…” suara Paulina hampir tidak keluar, tangannya gemetar saat matanya terpaku pada luka itu. Perut Jagapathi terlihat berdarah, dan meskipun wajahnya tetap tenang, garis-garis tegang di dahinya menunjukkan rasa sakit yang dia tahan.
“Bantu saya obati,” ucap Jagapathi dengan suara rendah namun penuh otoritas, tatapannya tajam meski terlihat letih.
Paulina mengangguk gugup, kakinya nyaris tersandung saat dia mendekat dengan tangan gemetar. Perempuan itu bersimpuh di bawah kaki Jagapathi supaya sejajar dengan luka. “Ngapain kamu duduk disana?”
“Biar mudah, Pak. Janji kok gak godain,” ucapnya seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran sang Dekan. Paulina dengan telaten membelit dengan perban hingga darah mulai terhentikan. Dia baru bisa menghela napas lega setelah semuanya tertutupi, kemudian meminta maaf lagi.
“Saya gak punya maaf. Minggir kamu,” ucapnya memilih untuk melangkah menjauhi Paulina yang masih bersimpuh.
Paulina yang masih diselimuti rasa bersalah itu tidak bisa menahan isak tangisanya, tapi tentu saja berusaha membuat suara pelan supaya Jagapathi tidak terganggu. Dan baru juga hendak bangun, Paulina tiba-tiba merasakan usapan di kepalanya. “Mandi, abis itu bikin sarapan. Kita bakalan keluar.”
“Hmmm? Kemana?”
“Saya jadi pemateri, kamu bantu jadi asisten saya.”
Paulina mengangguk, dia segera berdiri dan menyeka air matanya. Sebelum keluar, perempuan itu berbalik lagi. “Pak, maaf semalem saya gak bantuin, malah tidur.”
“Hmmm…”
Tidak ada lagi pembicaraan, Paulina langsung keluar dari kamar itu. Namun sebelum mencapai kamarnya, Paulina bersih-bersih dulu supaya tidak lelah double, kan dia yang bertanggung jawab di apartemen ini. Kan untung saja Paulina pernah ada di fase terburuk Papanya, jadi bersih-bersih bukan hal aneh meskipun kenyataannya dia ingin duduk manis seperti Princess.
Barulah setelah semuanya beres dengan tubuhnya wangi, Paulina mulai membuat sarapan. Sangat teliti sampai tidak sadar Jagapathi sudah siap dengan penampilannya yang sangat menawan. Ketika Paulina akhirnya berbalik untuk mengambil piring, pandangannya langsung bertemu dengan pria itu. Napasnya tercekat. Jagapathi tampak seperti pria yang baru saja keluar dari majalah mode kelas dunia. Jas abu-abu gelap yang pas di tubuhnya, dengan potongan tailored yang mempertegas bahunya yang lebar dan tubuh atletisnya. Dasi berwarna biru tua melengkapi kemeja putih bersihnya yang terlihat sempurna, tanpa satu pun lipatan. Rambutnya yang selalu rapi kini disisir ke belakang dengan gaya klimis elegan, menonjolkan rahangnya yang tegas dan dagu yang kokoh dihiasi janggut rapi. Aroma maskulin dari cologne mahal samar-samar tercium, menambah aura otoritas yang tak terbantahkan.
Matanya yang tajam, seperti mata elang, mengamati Paulina dengan intensitas yang membuat gadis itu hampir melupakan apa yang sedang dia lakukan. Tapi sebelum ia sempat terpesona lebih jauh, Paulina cepat-cepat menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran konyol itu. Gak ya, Pau, lu bakalan hidup dibayangi ketakutan. Hihhhhh ngeri banget kalau hidup selamanya sama orang kayak gitu.
“Ini sarapannya udah siap, Bapak.”
“Kenapa Cuma satu? Punyamu mana?”
“Saya mau roti panggang aja. sekalian nunggu bapak, saya mau telpon Papa saya dulu ya,” izinnya langsung menuju kamar sebelum Jagapathi menjawab, dia terlihat lebih menyeramkan dengan pakaian formal, lebih terasa aura Dekan nya.
***
Entah ini efek dari sarapan sedikit atau karena perkataan Papanya, tapi sepertinya asam lambung Paulina naik. Teringat jelas ucapan sang Papa, “Disini lagi gak baik, Paulina Sayang. Maafkan Papa kalau mobil belum bisa Papa kasih dulu, dan kamu harus hemat, uangnya masih Papa puter disini.”
Padahal Paulina ingin sekali berbelanja skincare. Namun semua kekecewaan itu harus dia pendam dulu, sebab sekarang sedang bersama Jagapathi. Mereka datang ke acara seminar yang diadakan instansi pemerintah. Jagapathi sebagai seorang pemateri disana menjelaskan dengan penuh wibawa. Paulina sebagai asisten pribadi pun melakukan pekerjaannya dengan baik, sebab hanya membawakan macbook dan mengatur beberapa hal, yang mana tidak harus menggunakan otak, hehehe.
“Pau, lu disini?” tiba-tiba seseorang yang baru saja dari kamar mandi itu mendekat pada Paulina yang ada disamping stage. Samar-samar Paulina ingat, itu adalah teman sekelasnya. “Ngapain disini? Lagi butuh sertifikat seminar?” Tanya perempuan itu lagi.
“Enggak juga, ada keperluan aja kesini, hehehe.”
“Eh, lu dulu jarang masuk ‘kan? Gimana nasibnya sekarang? Apa jangan-jangan lu kesini mau ketemu Pak Dekan ya?”
“Eng… gak gitu.”
“Gak papa yaelahhh, gue juga dulu deketin kepala prodi buat bisa magang di instansi pemerintah. Tapi lu berani banget sih deketin Pak Dekan.”
“Gak gitu loh.”
“Baguslah lu sadar kapasitas, nantinya lu mau minta Pak dekan magang dimana?”
Paulina bahkan tidak diberi jeda bicara, baru dirinya akan membuka mulut sudah lebih didahului oleh Jagapati yang turun dari podium. “Iya, nanti saya bantu arahkan dia.”
Yang membuat perempuan itu langsung kaget. “Pak,” sapanya.
Sementara Jagapathi focus pada Paulina memberikan laptop yang sudah selesai dipakai. “Kita langsung pulang.”
“Loh, Paulina jadi asistennya bapak atau gimana ini?”
“Iya, dia asistennya saya. Kami permisi ya. Kamu magang yang benar disini. Jangan mengecewakan saya.”
Paulina sedikit kaget dengan pengakuan Jagapathi, bukankah mereka sepakat tidak mengatakan hal ini pada siapapun? Dan sekarang dengan mudahnya mengatakan dirinya adalah asistennya. Paulina langsung mempertanyakan hal itu begitu mereka masuk ke dalam mobil. “Bapak? Itu temen saya yang lumayan ember bocor loh, Pak. Nanti orang-orang pada tahu kalau saya jadi asisten mendadaknya bapak.”
“Gak papa, nanti kedepannya juga saya bakalan ajak kamu ke acara kampus.”
Paulina kaget. “Gak papa emangnya?”
“Emangnya kenapa? Lagian kamu gak bakalan bikin kehebohan disana ‘kan?” tanya Jagapathi menyamankan diri dalam mobil, dia bersandar dan memberi isyarat sang supir untuk bergerak. “Lagi penebusan dosa ‘kan? Mereka taunya kan Cuma asisten aja.”
“Benar sih,” gumam Paulina sambil menatap keluar jendela. Dia sungguh lapar, sambil ada beban pikiran baru juga. Kalau dirinya jadi asisten pribadi dekan, yang dia khawatirkan bukan pandangan mereka sih, tapi kapasitas otaknya.
Saat lampu merah, Paulina menatap gerai Ice Cream yang begitu penuh. Dan tiba-tiba saja Jagapathi berucap, “Terkait masalah kuliah kamu, saya lagi pikirkan cara untuk membuat semuanya efektive. Kemungkinan kamu akan magang dulu, baru nanti akan menyusul kelas. Jadi ada jeda waktu buat kamu menghafal.”
“Iya, saya ikut sama bapak aja.”
“Saya lagi cari sekretaris pengganti, selama belum ada ya kamu aja dulu sekalian pastiin perban saya tetap aman gak kayak tadi pagi.”
“Uh, pagi tadi… saya kaget ada di atas Kasur bapak soalnya.”
“Jangan salahin saya,” ucap Jagapathi ketus, padahal Paulina belum melanjutkan ucapannya. “Kamu tidur disana, kemudian ngelantur sambil menangis manggil Mama kamu, jadilah saya peluk kamu dan kamu malah kebablasan sampe pagi.”
Paulina menoleh, dia memimpikan Mamanya sambil menangis? Cukup memalukan. “Maaf, Pak.”
“Kita ke kedai ice cream itu, Mang,” ucap Jagapathi pada sang sopir alih-alih menjawab Paulina. Sebagai asisten ya Paulina hanya ikut saja kemana Jagapathi melangkah termasuk ke kedai ice cream. Tapi dari arah kedai ice cream itu Paulina malah melihat dengan jelas toko mode yang menjadi langganannya bersama Layla. Sayangnya dia tidak bisa membeli apapun sebab uangnya tidak ada.
“Paulina? Kamu denger gak saya panggil?”
“Huh? Maaf, Pak. Gimana?”
“Ck, gimana sih kamu. Tadi liatin kedai ini terus, sekarang liatin toko baju. Jadi maunya kemana?”
“Hah? Gimana, Pak?”
“Gak jadi,” jawabnya dingin.
Paulina yang kebingungan itu mengikuti saja Jagapathi yang melangkah di depannya.
***
TRING!
Paulina dengan cepat memeriksa notifikasi pesan, dan alangkah kagetnya dia mendapatkan transfer dari luar negara sejumlah 20 juta. Tidak diragukan lagi ini pasti dari Papanya, membuat Paulina langsung melompat seketika! “Yeayyyyy!” dia berteriak sangat senang. Paulina pun langsung mengirimkan pesan pada sang Papa, mengatakan terima kasih kemudian menutup room chat untuk lebih banyak menghabiskan waktu di aplikasi belanja online.
“Apa gak papa ya? Eh, tanya Pak Dekan dulu gak sih? Hmmm… dia lagi apa ya?”
Paulina pun keluar dari kamar. Setelah pulang dari seminar, Jagapathi memutuskan langsung ke apartemen saja dan istirahat, dia memang mengambil cuti sebab kejahatan yang membuat tubuhnya belum terlalu vit. Tapi tetap saja seorang Jagapathi adalah manusia yang enggan diam tidak berguna, jadi akan dia lakukan apapun yang setidaknya memberikannya kegiatan yang mendorong bagi kampus.
Masih ada waktu sampai jam makan malam, Paulina bisa leluasa untuk belanja online. “Bapak?” panggilnya di depan pintu kamar Jagapathi.
Namun Paulina malah mendengar suara dari perpustakaan, jadi dia segera melangkah kesana dimana pintu sedikit terbuka. “Gak dulu, Prab. Nanti dia masuk awal bulan aja, dua minggu sis aini gue mau ajak si pulu-pulu keluar kota buat dinas.”
“Bro? udah tertarik sama dia?”
“Gak ya! Dia bukan type gue, mana otaknya lemot banget. Dia gue ajak biar bisa belajar, mana mau gue sama bocah ingusan kayak dia. Dia masih belum keasah otaknya, belum belajar banyak dari gue, jadi jadiin asisten sementara aja.”
“Yakin nih?”
“Ngapa sih, Prab? Tuh anak kepalanya dekil, kumal, karatan. Gue pengen bikin dia sesuai standar universitas.”
Paulina yang mendnegarkan itu bukannya marah, malah terharu sebab akan ditolong menaikan IQ. Saat Jagapathi selesai menelpon dan berbalik, pria itu kaget. “Sejak kapan kamu disana?”
“Um, lima menit yang lalu kayaknya, Pak. Hehehe, saya gak nguping kok. Saya mau tanya, boleh gak kirim paket ke apartemen ini?”
“Boleh.”
“Okey, Pak. Makasih banyak! Makan malamnya masih nanti ‘kan? Saya mau rebahan dulu di kamar. Sekali lagi makasih ya, Pak. Duh! Tali BH gue lepas,” gumamnya pada kalimat terakhir, tapi mampu didengar Jagapathi dan membuat pria itu langsung menggelengkan kepala sambil membuat expresi heran.
Drrttt drtttt…
Astaga, Jagapathi segera mengangkat panggilan lagi. “Hallo?”
“Jaga, tadi Paulina kirim pesan ke saya bilang dia dapet uang 20 juta. Saya gak ngasih, kamu bukan?”
Jagapathi diam sejenak. “Iya-in aja, bilang bapak yang kasih itu, gak usah kasih tau.”
“Kenapa?”
“Anaknya berisik, saya gak suka sama dia.”