Meminta untuk berubah

1086 Words
Mata tajam Asoka bagai panah yang menembus jantung putri Adora, tapi bukan sakit yang ia rasakan, melainkan gemuruh yang debaran d**a yang menggema memenuhi relung hatinya. Keduanya saling bertatapan seakan mengutarakan bahasa kalbu yang hanya mereka saja yang tahu. “Kenapa kau ada di sini?” tanya Asoka dengan suara dingin. “Ah, ma-maaf…” ucap putri Adora terbata. “Seharusnya kau tidak di sini pada saat aku sedang tertidur, karena aku bisa saja melakukan hal yang tidak pernah kau bayangkan, putri Adora,” ucap Asoka, tanpa disangka ia langsung melabuhkan ciumannya ke mulut putri Adora yang terbuka. Mengulumnya dengan sedikit kasar dan penuh gairah. Putri Adora hanya tertegun, tapi seiring dengan gerakan bibir Asoka yang lembut menghanyutkan, ia pun membalas ciumannya dengan menghisap bibir Asoka dengan penuh perasaan. Keduanya terhanyut dalam kehangatan ciuman pagi yang menggairahkan. Tangan Asoka mulai meraba tubuh putri Adora membuatnya mendesah. Mendengar desahan putri Adora, Asoka seakan tersadar. Ia menghentikan gerakannya dan bangkit dari tubuh putri Adora. “Maaf, aku hilang kendali. Pagi-pagi begini pria biasanya mengalami reaksi natural pada tubuhnya. Maaf jika kau merasa keberatan,” ucap Asoka lalu bangkit dari kasur berjalan menuju kamar mandi. Putri Adora masih berusaha menormalkan debaran di dadanya. Kenapa ia merasa Asoka tampak sangat berbeda kali ini? Asoka terlihat seperti pria perkasa dan ia sangat berbeda dengan dirinya saat awal-awal mereka melakukan kontak fisik. Keluguannya dulu seakan tertelan dengan tatapan tajamnya yang dingin, tapi justru itulah yang membuatnya semakin mempesona. Dibandingkan dengan ia yang dulu, pria lugu yang takut-takut saat bersentuhan dengannya, Asoka terlihat seperti pria dewasa yang sangat berpengalaman, tahu bagaimana menempatkan perasaan dan sikap sesuai tempatnya. Hal itu membuat putri Adora semakin kagum dan menyukainya. Tak lama kemudian, Asoka keluar dari kamar mandi dan masih mendapati putri Adora berada di atas ranjangnya. “Loh, kenapa kau masih di sini?” tanya Asoka. Ia hanya menggunakan kaos tipis dan celana pendek, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang atletis, namun dengan cepat ia meraih jubah besarnya lalu menutupi tubuh indahnya itu. “Ah, iya. A- aku baru mau keluar kok,” ucap putri Adora lalu buru-buru turun dari ranjang dan melangkah keluar. Tapi, langkahnya tertahan karena tangan Asoka yang menggenggam tangannya. “Tunggu, putri…” ucap Asoka. Putri Adora membeku, dadanya kembali bergemuruh. “Aku masih penasaran, kenapa kau tiba-tiba masuk ke dalam kamarku seperti tadi. Padahal kau tidak pernah sekalipun melakukan itu sebelumnya,” tanya Asoka. “Itu karena aku ingin melihatmu, tuan Asoka…! Seminggu ini kau bahkan tidak pernah menyapaku dan memperlihatkan dirimu. Kau tidak tahu kan bagaimana perasaanku jika tidak melihatmu selama itu? kau pria yang sama sekali tidak peka!” ucap putri Adora lalu melepas tangannya dari pegangan tangan Asoka dan berlari keluar kamar. “Putri, tunggu…!” Putri Adora masih bisa mendengar suara teriakan Asoka yang memanggil namanya tapi ia tidak ingin peduli. Ia terus saja berlari karena malu. Sudah berulang kali ia mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada Asoka, akan tetapi pria itu sekalipun tidak pernah membalas dengan ungkapan perasaan yang sama. Ia bagai batu keras yang tak akan hancur walau berungkali ia tempa dengan palu. Sehingga terkadang putri Adora merasa jika lagi-lagi cintanya kembali bertepuk sebelah tangan. Ia baru berhenti berlari saat berada di sebuah taman yang sepi, hanya ada hamparan rumput hijau dan beberapa pohon dan bunga-bunga indah yang sedang bermekaran. Air matanya meleleh, sebenarnya apa yang ia inginkan? Ia pernah kembali ke istana dan mencoba hidup tanpa Asoka, tapi ia benar-benar tidak sanggup bertahan tanpa melihat pria itu. Ia bahkan rela berbohong kepada ayahnya jika hubungannya dengan Riftan baik-baik saja. Sepertinya sudah saatnya ia harus jujur kepada sang ayah tentang perasaan yang ia rasakan sebenarnya. Ia tidak sanggup membohongi ayahnya lebih lama lagi. “Tapi bagiamana jika tuan Asoka tidak memiliki perasaan padaku? apakah aku harus menanggung rasa sakit untuk kedua kalinya? Apa yang harus aku lakukan?” gumannya sedih. Dari jauh, Asoka hanya bisa menatapnya dengan perasaan gamang. Asoka hanya menghela nafas dalam. Jika saja putri Adora tahu bertapa menggebunya perasaan yang ia rasakan untuknya saat ini. Tapi ia harus tetap menahannya karena kutukan hidupnya yang tidak bisa membuat ia dan putri Adora bersatu. Ia harus memtahkan kutukan itu terlebih dahulu jika ingin kehidupan pasangan jiwanya lama. Ia tidak ingin kejadian waktu itu terulang lagi. *** Riftan terlihat kembali di sibukkan dengan rutinitas dan pekerjaannya. Jika di kastil ia adalah seorang tuan besar yang disegani karena karisma dan cara ia memerintah para prajurit dan bawahannya, di luar kastil pun demikian adanya. Misalnya saja di kantor. penampilannya jika berada di luar kastil sangat berbeda. Ia menjelma menjadi seorang pria super tampan yang berjas rapi dengan rambut yang di sisir dan diikat di rapi ke belakang. Ia tampan begitu mempesona. Sudah beberapa hari ia tidak bertegur sapa dengan Nayya karena gadis itu terus menerus menjauhinya. Sudah berulang kali Riftan berusaha membujuk Nayya untuk tidak membahas masalah kehidupan abadi bersamanya karena untuk mencapai itu, Nayya harus menjadi seorang vampir dulu, dan hal itu yang sama sekali Riftan tidak inginkan. Namun, Nayya bersikeras pada kemauannya. Akhirnya Riftan tidak pernah lagi berusaha karena dirinya memang tidak akan pernah mau mengubah hidup Nayya bagai di neraka seperti dirinya. Pagi itu ia bersiap untuk ke kantor seperti biasa, mobil super mewah miliknya sudah siap mengantar ke tempat tujuan. Hari ini adalah pembukaan cabang ke seratus perusahaan otomotif terbesar miliknya yang ada di Negara itu. Hari ini juga akan diadakan meeting penting dengan petinggi-petinggi perusahaan miliknya dan juga dengan para investor besar untuk membahas proyek kerja sama mereka kedepannya. Ketika Riftan keluar dari kamar, Nayya juga tanpa sengaja lewat di depan ke kamarnya menuju taman samping. Tapi, begitu melihat Riftan, Nayya memutar arah dan berjalan menjauh. “Nayya…” panggil Riftan sambil mengejarnya. Ia menangkap pergelangan tangan kecil Nayya dan menahan langkahnya. “Sampai kapan kau akan merajuk terus seperti ini?” Nayya menatapnya dengan dingin. “Sampai kau bersedia mengubahku menjadi vampir,” ucap Nayya dengan tegas. “Kau sudah gila..” tolak Riftan. “Apa? kau bilang aku gila? Memang apa salahnya kalau aku menjadi vampir? Aku ingin terus bersamamu selamanya, apa keinginan itu termasuk keinginan orang gila?” bantah Nayya emosi. “Bukan itu maksudku, kau tidak bisa berubah menjadi makhluk penghisap darah. Aku tidak ingin kau tersiksa.” Riftan mencoba menjelaskan alasannya . “Aku tidak peduli, Riftan. Yang aku inginkan hanya hidup bersamamu selamanya, bukan menua dan mati meninggalkanmu.” “Tapi itu tidak sesederhana yang kau pikirkan, Nayya, cobalah untuk mengerti.” “Tidak…!” tolak Nayya dengan tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD