Keinginan

1149 Words
“Nayya…!” Riftan memanggil Nayya tapi tidak ada jawaban. Ia kemudian mencari di kamar mandi namun tidak menemukan siapa-siapa di sana. Pikirannya mulai kacau. Bagaimana kalau ia tiba-tiba diculik lagi dan dibawa pergi? Riftan tidak bisa berpikir jernih, kejadian uang lalu masih melekat kuat dalam ingatannya. Ia belum bisa sepenuhnya menghilangkan trauma kehilangan Nayya. Ia pun segera keluar dari kamarnya dan berlari menuju kamar Nayya. Dengan penuh harap Riftan membuka pintu kamar dan benar saja, ia melihat Nayya sedang duduk termenung memandangi taman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga indah. Kakinya dibiarkan terendam di sungai kecil yang mengalir. Riftan menatapnya tanpa kedip, hatinya sangat bahagia melihat pasangan jiwanya sudah bisa duduk dan menikmati sekitarnya. “Nayya…” panggil Riftan dengan pelan. Nayya menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Ia tersenyum sebentar lalu kembali memandangi bunga-bunga cantik itu. Riftan merangkul pundak Nayya dan mencium keningnya. “Aku senang sekali kau akhirnya bisa kembali,” ucap Riftan. “Aku juga senang bisa berada di kamarku lagi dan melihat keindahan ini, aku takut sekali tidak bisa menemuimu lagi. Aku bahkan belum percaya semua ini. Riftan, aku tidak ingin berpisah denganmu lagi,” ucap Nayya sambil membalas pelukan Riftan. “Iya, kita tidak akan berpisah lagi. aku tidak akan membiarkanmu celaka lagi. Semua sudah berakhir, kita akan hidup berdua sampai kau puas,” ucap Riftan sambil menatap lembut wajah Nayya yang memerah. Mendengar itu, kening Nayya berkerut. “Sampai aku puas?” “Iya, kita akan hidup bahagia bersama sampai kau merasa puas,” ucap Riftan mengulang ucapannya. “Memangnya kau tahu aku akan puas bersama denganmu? dan bagaimana kau tahu aku akan merasa bahagia hanya dengan hidup berdua denganmu saja?” ucap Nayya. Riftan terdiam, ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan Nayya. “Riftan, bagaimana kau tahu, jawab aku…!” tuntut Nayya. Hari ini ia akan memastikan kehidupan masa depannya bersama Riftan. Ia tidak ingin mati menua dan meninggalkan Riftan sendiri lalu membiarkan jiwanya mengembara dan menunggu selama ratusan tahun lagi untuk bertemu dengan Riftan. Tidak, ia sudah mendapatkan cinta sucinya kembali, ia tidak ingin berpisah lagi. Namun Riftan masih tidak bersuara. “Selama ini aku mengembara mencari keberadaan tubuh yang akan menerima jiwaku menyatu dengan jiwanya untuk menemuimu. Dan setelah mendapatkan tubuh dan jiwa ini, aku kembali bisa merasakan cintamu yang begitu besar. Bagaimana bisa aku membiarkan tubuh ini pergi begitu saja dan hanya hidup bersamamu dalam waktu singkat? Aku tidak akan kehilangan itu lagi, aku akan tetap merasakan hidup selama-lamanya bersamamu. Itu janjiku Riftan…!” Nayya berdiri dari duduknya dan meninggalkan Riftan yang masih terdiam membisu. “Adelia… kau rupanya sudah kembali…” gumannya. Seminggu berlalu setelah perang, semuanya kembali berjalan seperti biasa. Kehidupan para vampir terus berlanjut. Mereka melakukan tugas masing-masing seperti biasa. Menjaga kondisi kota dan daerah sekitarnya agar tetapi aman dan bebas dari para vampir liar yang mencoba memangsa manusia. Putri Adora keluar dari kamar dan berjalan menuju sebuah pintu. pintu itu ternyata mengarah ke ruang bawah tanah. Ia terus berjalan menuju penjara tempat singa Vandelmor ditahan. Sesampainya di sana, ia melihat singa itu sedang menikmati daging yang disediakan khusus untuknya. Akan tetapi, begitu ia melihat kehadiran putri Adora, singa itu mengaum keras. Putri Adora hanya menyeringai melihat reaksi penolakan singa itu. “Kau tidak perlu marah seperti itu, kau pikir kenapa aku memperlakukanmu sangat istimewa, itu karena aku membutuhkan darahmu. Jadi diamlah,” ucap putri Adora lalu meminta penjaga untuk membuka pintu penjara itu. Putri Adora mengarahkan tangannya ke kepala sang singa, seketika, singa itu tertunduk pasrah. “Seharusnya kau seperti ini saja tanpa aku paksa. Karena kita akan terus bekerja sama selamanya, kau tahu?” ucap putri Adora. Matanya memerah dan taringnya memanjang, detik kemudian ia sudah menancapkan taring panjangnya ke leher singa itu. setelah beberapa lama, putri Adora melepas gigitannya sambil tersenyum puas. “Terima kasih, istirahatlah. Tunggu aku minggu berikutnya,” ucap putri Adora lalu meninggalkan tempat itu. Di tempat lain pada saat yang sama, Gonzales merasakan sakit yang teramat sangat di bagian lehernya. Ia tahu kalau singa miliknya sudah menjadi sumber makanan. Ia bisa merasakan bagiamana darah Vandelmor terhisap kuat dan membuat singanya itu tidak berdaya. Mata Gonzales memerah menahan amarah dan geram, harus sampai kapan ia tersiksa seperti ini? siapa yang akan menolongnya keluar dari penjara ini dan menyelamatkan Vandelmor? Tubuhnya menggigil menahan sakit. “Vandelmor…. Vandelmor….” Gumannya lirih. Putri Adora bejalan dengan penuh semangat menuju kamar Asoka, Sesampainya di depan pintu, ia mengangkat tangannya siap untuk mengetuk tapi, ia tiba-tiba merasa ragu. Apakah pantas ia mengetuk pintu kamar seorang pria? tapi kan pria itu adalah orang yang ia sukai, meskipun ia belum pernah mendengar ucapan pasti yang terlontar dari Asoka mengenai perasaanya itu. Tapi ia yakin jika Asoka juga memiliki perasan yang sama dengannya. Sudah seminggu ini pula, Asoka tidak pernah menampakkan wujud di hadapannya. Sangat wajar kalau dirinya merasa perlu untuk melihatnya. Sedangkan jika ia harus menunggu Asoka untuk mengunjunginya di kamar, itu sangat mustahil. Pria itu sangat dingin untuk menunjukkan perasannya. Untuk itulah ia yang harus berinisiatif. “Tok..tok…” akhirnya pintu kamar ia ketuk perlahan. Ia menunggu beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Ia kembali mengetuk pintu. Lagi-lagi tidak ada jawaban. “Kenapa pintunya tidak dibuka? Apa tidak ada orang di dalam?” gumannya sedikit kesal. Lama ia berdiri termangu di depan pintu. “Aku masuk saja untuk memastikan sendiri,” gumanya lagi. Ceklek…! “Apa? pintunya ternyata tidak terkunci, tapi kenapa ia tidak membukanya? Pasti ia tidak mau diganggu. Tapi aku harus mengganggunya kali ini.” Putri Adora mengoceh. Ia perlahan membuka lebar pintu itu dan masuk ke dalam sebelum menutup pintu kembali. Ia berjalan pelan sambil melihat sekeliling. Ia baru kali ini lancang memasuki kamar Asoka. Sebenarnya ia juga sedikit tegang. Putri Adora menatap sekeliling sampai matanya tertuju pada sosok yang sedang terlelap di ranjang. Ia menghampirinya dan berdiri di sisi ranjang menatap sosok tampan yang tertidur itu. Putri Adora tersenyum. “Pantas saja kau tidak membuka pintu, kau tertidur seperti bayi.” Guman putri Adora sambil duduk di atas ranjang di samping Asoka yang masih tertidur. Ia tampak sangat lelap tidurnya. Putri Adora menatapnya tanpa kedip, pria di depannya ini memang tidak setampan Riftan, tapi wajahnya cukup membuat jantungnya kembali berdegup tidak karuan saat ia menatapnya seperti ini. Jantungnya seakan berfungsi ke kembali memompa darah yang terasa hangat mengalir keseluruh tubuhnya dan menghangatkan hatinya. Tangan putri Adora terulur menyentuh hidung mancung Asoka lalu berkerak turun ke bibir, ia mengelusnya dengan lembut. Bibir itu terasa kenyal, ia jadi mengingat bagiamana bibir ini begitu lembut menciumnya saat itu. Wajah putri Adora memerah. “Jika aku menciumnya sedikit saja, tuan Asoka tidak akan bangun, kan?” gumamnya sambil tersenyum. Putri Adora menelan ludahnya gugup, ia pun perlahan menundukkan wajahnya. Tapi pada saat ia hendak menyentuh bibir Asoka, tubuhnya seketika sudah berada di bawah tubuh Asoka. Pria itu menatapnya dengan sangat tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD