Persiapan Perang

1307 Words
Sonia hanya terpaku di tempatnya menatap ke arah bekas menghilangnya Nayya dan pria misterius itu dengan tatapan nanar. Lama baru ia bisa mengumpulkan kesadaran akibat syok. Ia tersentak lalu jatuh tersungkur ke lantai dengan d**a yang terasa sesak. “Na…Nayya… Nayya.. hah..ha…! tuan Riftan, tuan Asoka, A..Asyaq… tuan Riftaaaaan….!” Sonia dengan cepat keluar dari kamar dan berlari menuju tempat kemungkinan orang-orang yang ia sebut tadi berada. Tapi ia baru ingat kalau orang-orang itu ternyata tidak berada di kastil. Ia lagi-lagi terkejut saat melihat beberapa penjaga tergeletak tak sadarkan diri di pos penjagaan mereka. Ia juga baru sadar kalau pengawal yang berjaga tidak jauh dari kamar Nayya yang terlihat masih berjaga saat ia masuk ke dalam kamar Nayya juga sudah lemas tak bergerak. “A..apa yang terjadi di sini? kenapa seperti ini? Re…no. Reno…a..aku aku harus memberitahu Reno sekarang.” Dengan suara gemetar ia berlari sejauh beberapa kilo untuk sampai ke tempat tinggal mereka. Meskipun masih berada di dalam kawasan kastil, tapi jaraknya lumayan jauh. Di sana juga merupakan tempat tinggal para prajurit bersama keluarga mereka. Tanpa mengenal leleh, Sonia terus berlari menuju tempat tinggalnya. “Reno…!!!” teriakannya memekik membuat Reno yang sedang bersemedi di dalam kamarnya tersentak kaget. Ia pun beranjak dari tempatnya dan melompat keluar dari kamar. Dari jauh ia melihat Sonia yang berlari, Reno dengan cepat keluar untuk menyambutnya. “Ada apa, Sonia. Kenapa kau berlari sampai ngos-ngosan seperti ini?” tanya Reno bingung. “Reno… Nayya…, Nayya…hiks..hiks…!” Sonia tidak melanjutkan kata-katanya karena tertahan oleh isak tangisnya. Itu membuat Reno bertambah bingung mau dan tegang. “Nayya kenapa..?!” “Nayya… Nayya di culik, hiks…hiks.. huu..” tangis Sonia akhirnya pecah. Tubuhnya masih bergetar karena syok. “Nayya di culik?! Riftan sudah tahu, kan?” Sonia menggeleng, “Riftan dan kedua sahabatnya tidak ada di kastil, dan…dan semua pengawal yang menjaga kastil tidak sadarkan diri,” ucap Sonia terbata. “Apa…?!” Reno tidak kalah syoknya. Tapi nalarnya dengan cepat bekerja. “Tenang dulu, Nayya memiliki tanda yang bisa memudahkan Riftan untuk menemukannya. Yang harus kita lakukan adalah menyampaikan ini dengan segera. “I…iya, kita harus cepat, Reno. Aku takut Nayya kenapa-kenapa.” “Iya, ayo bergegas.” Reno pun memegang pinggang Sonia dan membawanya melompat dan melayang. Tangan Reno begitu kokoh merangkul pinggang Sonia. Meskipun ia meras tubuh Sonia sedikit berbeda dari biasanya tapi ia tidak memperdulikannya karena saat ini ia sedang fokus kepada masalah yang terjadi. Di tempat lain, Riftan masih terlihat sedang melihat jalannya latihan. Para prajurit yang melihatnya jadi bertambah semangat. Tidak ada masalah yang terjadi. Ia tersenyum puas. Berarti sebentar lagi mereka akan benar-benar siap untuk berperang. Ia kembali berkeliling dengan langkah tegap memperlihatkan ketegasan dan aura kekuatan kepada para prajuritnya. Ia berdiri di hadapan ratusan prajuritnya dan menatap mereka dengan tajam. “Kekuatan dari keyakinan adalah akar dari semua energi yang terdapat dalam tubuh kita. Ciptakan keyakinan itu munculkan kekuatan kalian sendiri. Ilmu yang kalian miliki hanyalah penunjang karena kekuatan yang sebenarnya ada di dalam hati. Peperangan sudah di depan mata, kalian jangan sekali pun berpikir untuk menganggap enteng lawan, atau beranggapan kalau kalian bisa mengalahkan mereka karena jumlah mereka jauh lebih banyak dari pada kalian, kesombongan dan menganggap diri lebih hebat justru akan menciptakan kelemahan baru dalam diri. Selalu ingat strategi perang yang sudah kalian pelajari dan gunakan pada saat dibutuhkan. Lakukan yang terbaik. Tidak ada batasan di dalam peperangan, kalian bisa membunuh musuh sebanyak yang kalian inginkan. Hancurkan dan lenyapkan siapapun yang menghadang, peperangan ini harus kita menangkan untuk kelangsungan hidup abadi…!” Itulah pidato penyemangat dari Riftan kepada para prajuritnya, memberikan suntikan energi berupa semangat agar mereka selalu berusaha untuk menang melawan musuh. “Siap, Tuan…!!” para prajurit dengan semangat kompak menjawab. Tampak jelas raut wajah mereka penuh ambisi dan semangat untuk segera menuntaskan dan memenangkan peperangan. Riftan lagi-lagi tersenyum puas, tapi tiba-tiba dadanya terasa sakit. Instingnya langsung tertuju pada Nayya yang pastinya berada dalam bahaya. Di saat yang sama, Sonia dan Reno pun tiba dengan wajah tegang. Mereka menunduk dan menceritakan jika Nayya telah di culik. Semua orang yang ada di tempat itu terlihat tegang, Riftan langsung menghubungi kedua sahabatnya melalui telepati, yang sekarang berada di tempat yang berbeda. Riftan kembai ke kastil dan Reno beserta Sonia pun mengikutinya. Riftan terbang dengan kecepatan tinggi menuju kastil dan terkejut melihat seluruh pengawal yang sedang berjaga tergeletak tidak sadarkan diri. Musuhnya ternyata tahu waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya. Wajah Riftan menggelap menahan emosi, lagi-lagi ia membuat kekasihnya berada di dalam bahaya. Asoka dan Asyaq pun tiba dan terkejut melihat apa yang sedang terjadi. “Asoka, kita tidak perlu menunggu lama lagi, karena mereka sudah berani bermain api denganku secara terang-terangan. Mereka akan aku bakar dan membiarkan terpanggang dengan sangat menderita. Siapkan semuanya dan kita serang mereka,” ucap Riftan dengan wajah menggelap menahan emosi. Matanya berubah merah menandakan emosinya siap meledak. Asoka yang juga masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi hanya bisa mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Ia tahu jika sahabatnya itu sebentar lagi akan meledak dan ia tidak mau mengambil resiko terkena ledakan amarah yang sangat berbahaya itu. Asyaq terlihat hanya terpaku di tempatnya, matanya menatap fokus ke lantai dan melangkah seperti ada sesuatu yang ia ingin pastikan. Ia kemudian membungkuk dan memungut sesuatu. Ia memungut sesuatu dari lantai dan menatapnya dengan seksama. Sebuah bulatan kecil berbentuk kelereng yang di dalamnya terdapat bulatan kecil berwarna hijau. “Tuan Riftan, ini … seperti milik Zeirones. Hanya dia yang memiliki biji peledak seperti ini, asap dari peledak ini akan membuat semua orang tertidur selama 24 jam. Aku rasa jawaban dari terkaparnya semua penjaga karena akibat dari ledakan benda ini. Asyaq kemudian melempar benda kecil itu jauh ke tanah lapang yang ada di bagian sebelah utara kastil. dan benar saja, sebuah ledakan besar terjadi di sana. Untungnya tidak ada siapapun di sana sehingga tidak ada yang terluka. “Dia yang menculik Nayya dan aku sangat yakin ini semua ada hubungannya dengan Gonzales,” ucap Asyaq. “Ini berarti Gonzales selama ini mengetahui pergerakan kita dan apa saja yang kita lakukan. Ia tahu saat kita bertiga tidak berada di kastil barulah ia menjalankan aksinya. Ada penyusup di dalam kastil ini,” ucap Asoka. “Semua itu sudah tidak penting lagi, ini adalah saatnya kita melancarkan serangan terhadap mereka. Aku tidak akan mneei mereka waktu lagi, Kalian persiapkan semuanya, aku akan masuk ke tempat mereka dan membuat kekacauan dari dalam,” ucap Riftan lalu melompat meninggalkan mereka berdua. “Kau lihat? Jika kepalanya sudah dipenuhi oleh emosi, dia akan selalu bertindak terburu-buru,” gerutu Asoka. “Aku akan menyiapkan logistic para vampir, para serigala tinggal menunggu perintah. Mereka sudah siap,” ucap Asyaq lalu melompat pergi. “Hah… kalian sama saja,” Asoka kembali menggerutu. “Kenapa kau tampak gelisah?” Asoka terkejut saat tiba-tiba mendengar suara wanita atau lebih tepatnya suara putri Adora yang menggema di telinganya. Ia menatap sekelilingnya tapi tidak melihat satu orang pun. “Putri Adora? kau bisa bertelepati denganku?” tanyanya heran. “Iya, aku bisa.” Suara kembali terdengar. “Apa? aku tidak percaya. Tapi maaf aku tidak bisa menemanimu bicara banyak, di sini sedang genting karena Nayya di culik dan peperangan akan segera di mulai,” ucap Asoka. “Tunggu dulu tuan Asoka, aku ingin membantu, aku pernah berada di dalam wilayah Gonzales, aku tahu sedikit banyak tempat persembunyian dan bagian-bagian rahasia mereka. Setidaknya aku bisa sedikit membantu dengan itu,” ucap putri Adora. “Benarkah? Baiklah kalau begitu. Kau bisa bersiap dan datanglah ke sini. Aku akan mengirim utusan untuk menjemputmu,”ucap Aska. “Tidak perlu tuan Asoka, karena aku sudah berada di kastil ini, tepatnya di belakangmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD