Bencana

1167 Words
Tidak terasa air mata putri Adora menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya agar tidak terlihat oleh Asoka. Meskipun begitu, Asoka tetap saja menyadari jika putri Adora sedang menangis. Asoka merenggangkan pelukan mereka dan menatap putri Adora dengan tatapan dalam. Air mata putri Adora kembali menetes, dan kali ini ia hanya membiarkannya saja. “Bagaimana kau bisa bertahan dan mewujudkan apa yang kau inginkan jika hatimu lemah seperti ini, putri Adora? jangan menangis,” ucap Asoka sambil menghapus air mata putri Adora dengan lembut. “Aku…aku ingin…” “Tidak, jangan dilanjutkan, kuatkan hatimu dan pergilah,” ucap Asoka menahan kegetiran perasaannya. Putri Adora menatap Asoka lalu berbalik dan masuk ke dalam kereta. Kereta kuda mulai bergerak menjauh meninggalkan Asoka yang berdiri mematung. Putri Adora pergi dengan membawa separuh perasaannya Asoka. Kini ia merasa sangat kosong dan hampa, tapi kehidupan tidak berhenti sampai di sini, ia harus lebih fokus lagi untuk menyelesaikan masalah kastil dan persiapan perang. Ia harus melupakan masalah kehidupan romantisnya dengan putri. Asoka menghela nafas dalam lalu meninggalkan tempat itu. *** Asyaq berlari mengejar seorang gadis cantik, sedangkan wanita itu terus saja berlari sambil sesekali menoleh ke belakang dan melempar senyum manis ke arahnya. Asyaq yang mulai gemas semakin mempercepat langkahnya, tapi anehnya, semakin ia mempercepat larinya, jarak mereka akan semakin jauh. Padahal lari gadis itu tidak secepat larinya. Tapi entah kenapa, ia sulit sekali menggapinya. Ia terus berusaha berlari dan terus berlari tapi wanita itu hanya semakin jauh sampai akhirnya Asyaq lelah dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. “Hah…hah…hah…!!” nafas Asyaq tersengal. Ia tampak sangat lelah. Keringatnya bercucuran, dan ia pun tertidur. Di dalam tidurnya ia kembali melihat gadis itu tersenyum ke arahnya tapi seketika awan hitam muncul dan sosok makhluk langsung menangkapnya. Asyaq terkejut bukan main, ia berusaha menolong gadis itu tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak. Semakin ia berusaha menggerakkan tubuhnya semakin kaku tubuhnya. “Asyaq tolong aku…!” suara gadis itu terdengar semakin memilukan, makhluk itu akhirnya membawanya pergi menjauh dan menghilang dalam kegelapan malam. “Ah…hah…!!” Asoka tersentak. Ia membuka mata dan menyadari dirinya berada di dalam kamarnya. langsung bangkit dan duduk di sisi ranjang. Ia bingung, apakah tadi itu nyata atau hanya mimpi. Keringatnya bercucuran. Ia beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi. Ia menatap wajah di depan cermin dan langsung membasuhnya. Asyaq kembali memikirkan mimpi anehnya. “Siapa gadis itu? kenapa aku merasa sangat sesak saat melihatnya?” gumannya. Asyaq mengguyur tubuhnya di bawah derasnya air shower, tubuh kekar dan berotot terlihat jelas bagai lukisan dewa yunani yang sangat sempurna. Rambutnya yang sedikit panjang dan hitam menyentuh pundaknya, semakin membuatnya mempesona. Ia terus aja memikirkan mimpinya anehnya itu, siapa ia dan bagaimana bisa ia memimpikan seorang gadis yang tidak ia kenal sama sekali? Asyaq keluar dari kamar mandi dan berpakaian, sebelum meninggalkan kamar. Ia pergi ke hutan tempat para prajurit berlatih. Mengelilingi kawasan sekitar dan kembali ke pos penjagaan. Ia duduk menatap ke arah para prajurit, sudah beberapa minggu ini ia tidak pernah lagi mengunjungi Nilam. Entah bagiamana nasib bocah itu. Pikirannya kembali melayang dan mengingat mimpinya. Entah kenapa ia terus terusik dengan mimpi itu, baru pertama kali ia mengalami mimpi seperti itu. Ia masih bisa mengingat wajah gadis itu, senyum manis dan tatapan matanya yang teduh. Siapa dia? “Tuan Asyaq…!” terdengar seruan dari salah satu prajurit. “Iya, ada apa?” tanyanya. Seorang pria berlari ke arahnya, di tangannya memegang sebuah kartu yang berbentuk sebuah undangan. “Saya bermaksud mengundang Anda di pesta ulang tahun anak kami, Tuan. Anak kami berumur 6 tahun. Dia ingin sekali melihat anda secara langsung. Karena saya banyak mengarang cerita sebelum tidur untuknya tentang kehebatan Anda sehingga anak saya itu jadi mengagumi Anda. Dia merengek meminta agar Tuan diundang. Saya harap, Tuan mau datang,” ucap prajurit itu sambil menyerahkan undangan itu kepada Asyaq. “Oh, terima kasih undangannya. Kalau tidak ada hal yang mendesak saya akan usahakan untuk datang, ya?” ucap Asyaq sambil menerima undangan itu. “Eh, satu lagi tuan,” prajurit itu menyodorkan sebuah buku tulis yang bergambar boneka kepada Asyaq. “Tolong tandatangani buku tulis anak saya, Tuan. Ia menginginkan hadiah ulang tahunnya itu adalah tanda tangannya Anda,” ucap prajurit itu. “Ah, baiklah,” ucap Asyaq lalu memberikan beberapa tanda tangannya di buku itu. “Ini sudah cukup?” tanya Asyaq. “Iya, Tuan. Terima kasih, putriku pasti akan sangat senang,” ucap pria itu lalu membungkuk hormat. “Tidak masalah, sampaikan salamku pada putrimu itu. Katakan padanya kalau dia we anak hebat,” ucap Asyaq. “Baik, Tuan. Terim kasih,” ucap prajurit itu lalu meninggalkan tempat itu. Asyaq menghela nafas dalam, ia menatap kartu undang berwarna merah di tangannya lalu membukanya. Ia berpikir sejenak lalu bergumam. “Aku rasa di tanggal ini waktuku luang, lebih baik aku datang memenuhi undangannya.” *** Nayya terlihat sedang fokus dengan laptopnya. Jika sedang luang, ia selalu menghabiskan waktunya untuk menulis cerita-cerita dari hasil imajinasinya. Dan sekarang, cerita yang ia buat adalah kisah nyata yang terjadi dalam hidupnya. Ia sengaja menulis apa pun untuk ia kenang. Detik demi detik waktu yang berlalu sejak bertemu dengan Riftan, adalah saat yang sangat berharga dalam hidupnya. Ia ingin waktu terus berlalu dan kebersamaannya dengan Riftan akan terus selamanya. Di tengah-tengah ia berkhayal dan tersenyum sendiri membayangkan hal yang menyenangkan, pintu diketuk. “Iya? Siapa?!” tanya Nayya berseru. “Ini aku,” jawab seseorang di balik pintu. “Sonia? apa itu kau?” “Iya, boleh aku masuk?” Nayya beranjak dari duduknya dan bergegas ke arah pintu lalu membukanya. Pintu terbuka dan Sonia berdiri canggung tersenyum di hadapannya. Nayya tersenyum menyambutnya. “Aku tidak mengganggu, kan?” tanya Sonia. Nayya menggeleng. “Masuklah,” ucapnya. Sonia pun masuk dan duduk di sofa. “Aku tadi melihat Riftan sedang keluar mengunjungi hutan di wilayah barat , jadi aku pikir kau sendirian di kamar, makanya aku berani datang ke sini,” Ucap Sonia. “Loh, kenapa harus menunggu Riftan pergi, sih? Kamar Rifan, kan bukan di sini. jadi kau bebas datang, kok,”sanggah Nayya. “Tidak, Nayya. Situasinya tidak seperti dulu lagi. Sekarang aku punya batasan yang tidak boleh di langgar. Apalagi menyangkut bos Riftan. Meskipun kau adalah sahabatku, tapi kau adalah pasangan jiwa Riftan dimana, Riftan adalah atasanku. Jadi, aku tidak boleh seenaknya masuk ke dalam kamar atau menemuimu tanpa seizinnya Riftan. kau mengerti?” Sonia menjelaskan. “Ah, kau terlalu kaku, Sonia.’” ledek Nayya/ “Kau ini…!” mereka pun tertawa dan melanjutkan berbincang. “DDUUUAAARRRR…..!!!!” tiba-tiba terdengar sebuah ledakan. Keduanya terkejut. Suaranya sangat dekat dari tempat mereka. Sonia langsung berlari ke arah pintu. Ia berniat mengintip untuk memastikan apa yang terjadi tapi tiba-tiba sesosok bayangan hitam munul di hadapan mereka. Seorang pria berhoodi hitam dengan wajah tertutup. Nayya dan Sonia terkejut bukan main. Sonia baru akan berlari ke arah Nayya, pria itu sudah menghampirinya dan menghilang bersama Nayya begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD