Perpisahan

1200 Words
“Apa benar aku tidak akan hamil, anakmu?” tanya Nayya. Ada sedikit rasa gamang yang menyeruak dalam sanubarinya saat Riftan mengatakan hal tersebut. Entah kenapa ia tidak suka Riftan mengatakan jika ia tidak akan hamil anaknya. Menyadari fakta berbahaya yang kemungkinan akan terjadi di kemudian hari jika menginginkan seorang anak keturunan dari vampir. Tapi kenapa ucapan Riftan dan keinginan untuk tidak memiliki keturunan, justru menjadikan hatinya resah? “Iya, jadi tidak perlu takut, ya?” ucap Riftan meyakinkan. Nayya hanya terdiam, ia tampak sedikit tidak bersemangat. “Loh, kau kenapa? Kau memikirkan sahabatmu, itu?” tanya Riftan saat menyadari jika Nayya tampak resah. “Riftan, apa kau berencana untuk tidak memiliki anak selamanya?” tanya Nayya. Riftan menatap Nayya dengan tatapan menyelidik. “Kenapa kau menanyakan hal itu?” “Tidak, aku hanya ingin tahu saja,” jawab Nayya. “Aku hanya ingin hidup bersamamu hingga batas usiamu, Nayya. Aku ingin memberikan seluruh kebahagiaan dunia ini. Setelah aku membereskan Gonzales, kita akan hidup berdua hingga kau menua,” ucap Riftan. “Apa? menua? Jadi maksudmu aku akan menua dan kau masih tetap tampan seperti ini?!” protes Nayya. “Iya, memangnya mau bagaimana lagi? usia manusia kan terbatas dan semakin lama mereka akan mengalami penuaan. Berbeda dengan kami yang sudah bermutasi menjadi makhluk yang terus menerus beregenerasi sehingga akan tetap seperti ini dan hidup selamanya.” Riftan menjelaskan panjang lebar tanpa menyadari jika Nayya sudah kesal. “Tapi aku tidak mau tua! Aku mau terus bersamamu selamanya…!” ucap Nayya. “Sini…” Riftan memeluk Nayya dengan erat. “Kita akan menikmati hidup dan berbahagia bersama, jadi tidak ada yang perlu kau risaukan, mengerti? Aku rasa pembahasan ini sudah berakhir dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Sebaiknya kau tidur. Ini sudah sangat larut. Aku akan menemanimu di sini,” ucap Riftan mengakhiri perdebatan mereka yang selalu tidak pernah ada habisnya. Riftan mengelus lembut kepala Nayya hingga ia tertidur. Ia menghela nafas dalam, ia jadi memikirkan akan seperti apa jika suatu saat Nayya menginginkan anak. Ia curiga kalau Nayya punya niat untuk memiliki keturunan. Bagi vampir yang ingin memiliki keturunan, ia akan mencari seorang manusia untuk mengandung keturunannya. Setelah anak itu lahir, wanita itu akan mati. Para vampir wanita tidak bisa mengandung karena semua organ reproduksinya sudah mati. Sehingga jika mereka ingin memiliki keturunan, mereka melakukan cara tersebut. Akan tetapi, bagi Riftan, Nayya bukan seorang manusia yang hanya bisa mengandung dan melahirkan keturunannya lalu mati, ia adalah wanita yang sangat Riftan cintai. Wanita yang menjadi sumber kekuatannya. Ia tidak akan menjadi lebih kuat seperti sekarang jika tidak ada Nayya di sisinya. Dan jika Nayya tiada, jiwanya juga akan hilang. Nayya adalah hidupnya, bagaimana ia bisa melenyapkan hidupnya sendiri hanya karena menginginkan seorang keturunan? Riftan bangkit lalu berjalan menuju meja kerjanya. Membuka laptop dan mulai bekerja. Pagi harinya, Nayya terbangun tanpa melihat Riftan di sisinya. Ia bangkit dan mengusap wajahnya. Merenggangkan tubuhnya sebentar lalu beranjak ke kamar mandi. Tak lama berselang, ia keluar dengan wajah yang basah. Mengeringkan wajahnya dengan handuk lembut lalu berjalan menuju meja rias. Ia menatap wajahnya yang sedikit pucat, ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Riftan kemarin malam. Apakah Riftan berencana membiarkannya menua sampai akhirnya ia meninggal? Ini terdengar tidak adil. Ia tidak ingin berpisah dengan Riftan, ia ingin terus selamanya berada di sisi Riftan. Tapi mereka selalu saja berakhir dengan perdebatan sengit jika pembahasan mereka menyangkut masalah itu. “Aku harus melakukan sesuatu agar aku bisa hamil seperti Sonia, aku ingin menjadi vampir agar bisa terus bersama dengan Riftan selamanya,” gumannya dengan penuh keyakinan. *** Putri Adora terlihat bersedih karena ia mendengar kalau Kudra masih di dalam tahanan dan disiksa sedemikan rupa hingga purnama berikutnya. Itu hukuman yang sangat tidak masuk akal. Terlebih Kudra di hukum bukan karena kesalahan yang ia perbuat, melainkan ketidaksabaran putri Adora saat itu. Jika saja ia tetap menunggu Kudra sampai pengawalnya itu kembali, Kudra tidak akan mendapatkan ketidakadilan seperti ini. Memikirkan semua itu membuatnya semakin merasa bersalah dan tidak tenang. Ia harus melakukan sesuatu agar Kudra bisa dilepaskan dari hukumannya. Putri Adora melangkah menuju pintu dan membukanya, tapi ia terkejut saat Asoka sudah berada di hadapannya. Semenjak kejadian itu, hubungan mereka semakin dekat. Asoka tidak pernah sungkan lagi dengannya, meskipun masih terlihat malu-malu saat putri Adora berada di dekatnya. Begitupun dengan dirinya, putri Adora tidak merasa malu lagi jika ia menginginkan Asoka meskipun ia harus dengan alasan penyembuhan. Akan tetapi untuk masalah Kudra, Asoka masih bersikap tegas meskipun putri Adora sudah memohon padanya untuk melepaskan Kundra. “Putri Mau ke mana?” tanya Asoka. “Oh, a..aku sebenarnya ingin menemui tuan Riftan,” ucap putri Adora. “Untuk apa?” tanya Asoka. “Aku… ah aku ingin meminta padanya untuk membebaskan Kudra, karena dia tidak bersalah, itu semua salahku,” ucap putri Adora. “Putri, sudah aku katakan, alasan kenapa ia sekarang ia berada di dalam tahanan dan menerima hukuman itu adalah karena ia bersalah. Jika kau bilang itu semua salahmu, memang benar. Karena permintaanmu, kalian bisa keluar dari kastil dan kau tahu apa kesalahan terbesarnya? Yaitu menuruti kemauanmu dan tidak bisa bersikap tegas di hadapanmu. Jika kineja setiap pengawal seperti itu, maka kastil ini tidak akan pernah aman. Ini juga merupakan contoh untuk setiap pengawal dan prajurit di kastil. Mereka akan dihukum sesuai dengan aturan kastil,” ucap Asoka. “Tapi tuan Asoka, setidaknya beri dia keringanan,” putri Adora masih berusaha meminta kemurahan hati Asoka untuk Kudra. “Tidak! Sebaiknya kau lupakan niatmu itu dan kembalilah ke kamar. Bukankah kau akan kembali ke istana besok?” dragon cepat Asoka menolak. “Kau sepertinya sudah tidak sabar aku meninggalkan kastil ini,” ucap putri Adora memasang wajah sedih. “Ti…tidak! Bukan itu maksudku?” Asoka jadi tergagap ia merasa serba salah telah mengatakan hal demikian. “Kalau tidak, lalu apa? kau selalu saja mengingatkanku dengan istana. Apa kau sama sekali tidak mau aku tinggal lebih lama lagi di sini?” “Bu..bukan putri, jangan salah paham begitu. Bukankah kau yang bilang sendiri jika besok kau akan pergi. Aku hanya mengingatkanmu saja agar kau melupakan niatmu untuk membebaskan Kudra.” Riftan menjelaskan. Putri Adora hanya bisa menghela nafas panjang. Tanpa merespon ucapan Asoka lagi, ia membalik badannya dan masuk ke dalam kamar. *** Putri Adora terlihat sudah bersiap untuk meninggalkan kastil, kereta kuda yang akan mengantarnya sampai ke istana sudah menunggu. Pelayan sudah mengemas tas segala keperluan putri Adora dan menyimpannya di atas kereta. Asoka berdiri di dapan putri Adora sambil menatapnya merapikan syal. Wajah Asoka tampak sendu, tapi ia berusaha agar kesedihannya tidak tampak. “Aku pergi dulu, tuan Asoka. Terima kasih atas semua hal berharga yang kau berikan kepadaku. “Sama-sama putri, semoga sampai dengan selamat,” jawab Asoka. “Tuan Asoka?” panggil putri Adora. “Iya?” “Bolehkan aku memelukmu lagi?” tanya sang putri. “….” Asoka hanya terdiam, putri Adora yang menunggu sepertinya harus menelan pil kekecewaan karena Asoka sepertinya menolak permintaanya. Tapi saat ia hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam kereta, Asoka tiba-tiba memeluknya dari belakang dengan sangat erat. “Berbahagialah, putri,” ucapnya lirih. Putri Adora membalik tubuhnya sehingga ia bisa menatap Asoka. “Terima kasih, tuan Asoka,” ucapnya lalu kembali memeluk Asoka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD