Menjadi Teman

1132 Words
“Paman kenapa mau main dengan anak kecil seperti, Nilam?” pertanyaan Nilam membuat Asyaq membeku untuk beberapa saat. Benar juga, kenapa ia mau repot-repot main dengan bocah? Bukankah selama ini ia tidak menyukai makhluk nakal itu? “Aaa, karena paman berpikir kalau main dengan Nilam pasti akan sangat seru. Bagiamana, apa kamu setuju bermain dengan paman saja?” tanya Asyaq. “Emm… terus bagaimana dengan Yuda. Aku sudah berjanji untuk main dengannya besok,” ucap Nilam sedikit murung. Asyaq menatap Nilam, kenapa ia jadi menekan Nilam sekarang? Apa yang salah kalau mereka bermain? Mereka hanya anak-anak dan pasti taunya hanya bermain. Kenapa kau malah melarang Nilam untuk bermain dan menawarkan dirimu yang super sibuk itu untuk menemaninya? Kau pasti sudah kehilangan akal. Berkali-kali Asyaq mengingatkan dirinya. “Nilam mau janji kalau besok adalah hari terakhir Nilam bermain dengan… e…Yuda?” tanya Riftan. “Kalau Paman mau menemaniku bermain di sini setiap hari, aku mau berjanji,” balas Nilam. Asyaq tersenyum. “Iya, baiklah. Paman mau menemanimu bermain di sini setiap sore,” ucap Asyaq. “Hore…!” Nilam meloncat kegirangan. Asyaq hanya menatapnya sambil tersenyum senang. Ia sadar kalau ada yang tidak beres dengan dirinya tapi ia malah menikmatinya. “Oh ya, Paman. Tolong pegang tanganku.” Tiba-tiba Nilam mengulurkan tangannya ke arah Asyaq. “Apa?” Asyaq sedikit terkejut. “Pegang…!” ulang Nilam. “Di pegang, seperti ini?” Asyaq memegang tangan Nilam. Tangan mungil kecil itu berada dalam genggamannya. Hangat. “Di dalam mimpiku, Paman sering menggenggam tanganku seperti ini. Tapi, rasanya tanganku tidak sekecil ini. Tanganku besar dan terlihat pas di tangan Paman. Aku senang sekali, Paman,” ucap Nilam dengan polosnya. Mendengar itu, wajah Asyaq jadi memerah. Anak kecil ini melihat dirinya yang dewasa dalam mimpi? Apakah suatu saat nanti ….” Asyaq menggeleng, mengusir pikiran aneh yang muncul tiba-tiba. “Paman juga senang, Nilam. Paman ingin menjadi teman Nilam sampai seterusnya, apakah Nilam mau berteman dengan Paman?” “Iya,” ucap Nilam sambil mengangguk. “Jadi, mulai sekarang kita berteman, ya?” ucap Asyaq. “Iya, Paman adalah temanku,” ucap Nilam dengan antusias. “Paman, aku mau cepat besar agar tanganku bisa pas dengan tangan, Paman. Aku juga ingin memeluk, Paman seperti ini.” Tiba-tiba Nilam memeluk Asyaq, bocah itu memeluk erat leher Asyaq, membuat pria itu tertegun. Kedekatan mereka membuat darahnya memanas mengakibatkan warna hitam kornea matanya berubah menjadi merah. “Ni..Nilam, kenapa kau tiba-tiba memeluk Paman?” tegur Asyaq. Ia terkejut, sekuat tenaga ia menormalkan perasannya, ia tidak mau Nilam melihat perubahan warna matanya. “Karena aku senang, Paman. Aku mau memeluk Paman, dan mencium, Paman di sini,” kali ini Asyaq syok karena tidak disangka bocah itu menyentuh bibirnya. Dengan refleks Asyaq mencekal tangan Nilam. “Jangan, kau masih sangat kecil. Tidak boleh bertingkah seperti ini dengan orang dewasa,” Asyaq menatap Nilam dengan tatapan serius dan sedikit tajam. “Apa Paman marah?” “Tidak, hanya saja, Paman tidak begitu suka kalau Nilam bertingkah seperti ini kepada paman. Kita bermain saja, ya. Nilam mau mainan apa? besok paman bawakan.” Asyaq berusaha membujuk anak kecil itu. Wajah murung Nilam berubah ceria. “Benarkah, Paman?!” Asyaq mengangguk. “Hmm, aku mau boneka beruang putih yang sangat besar,” ucap Nilam. “Boneka beruang putih besar?” “Iya, aku mau boneka itu,” “Baiklah, aku akan membelinya di toko dan membawakanmu kemari,” ucap Asyaq. “Yeah…! Terim kasih, Paman!!” Nilam dengan refleks kembali memeluk Asyaq. “Paman sangat baik. Aku suka menjadi teman Paman!” ucap Nilam. “Iya, sama-sama.” Asyaq tidak bisa membiarkan tubuhnya berdekatan dengan Nilam, sehingga ia pun langsung melepas pelukan Nilam dari tubuhnya, tapi bocah itu tidak mau melepasnya. “Nilam, Paman bilang apa dengan tingkahmu terhadap orang dewasa?” Asyaq mengingatkan. “Tapi aku tidak pernah begini pada orang dewasa, sebelumnya, kok. Aku hanya begini sama Paman saja. Sekarang, aku mau di gendong paman. Tolong bawa aku pulang,” ucap Nilam sambil mengeratkan pelukannya di leher Asyaq. “Baiklah, tapi kau lepas dulu leherku, aku susah bernapas, kau memelukku terlalu keras.” “Tidak! Aku suka paman. Mulai sekarang paman adalah temanku. Yeay…!! Ayo bawa aku ke rumah…!” bukannya melepas pelukannya, Nilam malah semakin mengeratkan tangannya ke leher Asyaq. Asyaq tersenyum dan membawa Nilam melompat jauh. Hanya sekali lompatan saja, mereka sudah berada di depan pintu rumah Nilam. “Wah, Paman hebat. Jago melompat! ah, aku semakin suka paman kalau begini,” ucap Nilam sambil melepas pelukannya dan melompat dari gendongan Asyaq. Hampir saja Nilam terjatuh]h, untung Asyaq dengan sigap kembali menangkap tubuh mungilnya. “Kau memang nakal,Nilam. Kalau jatuh dan berdarah bagiamana?” tegur Asyaq khawatir. “Aku tidak akan jatuh, kan ada paman yang selalu menolongku mulai sekarang,” ucap Nilam dengan senyum polosnya. Asyaq hanya menggeleng mendengar jawaban Nilam. “Paman, aku masuk dulu, ya. jangan lupa besok. Aku tunggu di tempat tadi, “ ucapnya lalu melangkah masuk ke dalam. Asyaq hanya bisa menggeleng melihat tingkah Nilam yang mulai akrab padanya. Meskipun demikian, Asyaq senang dan sangat menikmatinya. Hatinya bahagia, ia bahkan tidak sabar menunggu hari esok untuk bertemu Nilam. Ia melompat ke atas pohon, berdiri menatap sekeliling. Ia masih mendengar sayup-sayup suara Nilam yang tertawa bersama saudara-saudaranya. Setelah mengawasi seluruh lokasi, ia pun berpindah tempat, melopat dari satu pohon ke pohon yang lain, dan lenyap di kerimbunan hutan. *** Riftan sudah bersiap untuk menghadiri malam ritual penguncian jiwanya dengan jiwa putri Adora. Ia terlihat gelisah. Ia menunggu Asoka sejak tadi tapi belum ia juga keluar dari kamar. Setelah beberapa lama, Asoka pun muncul dengan membawa sesuatu di tangannya. “Kenapa kau lama sekali? kita selesaikan saja malam ini dengan cepat lalu pulang. Aku ingin mengakhirinya sesegera mungkin” ucap Riftan dengan tidak sabar. “Hah… kau pikir ini hanya sebatas ritual biasa? Ingat kan, kalau jiwamu perlu tameng untuk menangkis kekuatan ikatan suci? Kau harus minuman ini dulu, separuhnya sisakan padaku,” ucap Asoka sambil menyerahkan botol yang ada di tangannya. “Apa ini?” Riftan menatap lekat botol berwarna hijau terang itu. “Sudah, minum saja. Itu adalah cairan yang aku siapkan untuk membentengi jiwamu dari ikatan suci itu. Separuhnya untukku agar jiwaku terbuka untuk menerima pantulan kekuatan ikatan suci,” ucap Asyaq menjelaskan. Riftan menatap Asoka. “Apakah kau yakin akan melakukan ini dan mengorbankan jiwamu?” ucap Riftan. “Jadi kau mau jiwamu saja yang terikat penuh oleh putri mahkota agar kau tidak bisa lepas lagi dengannya dan membiarkan Nayya mati?” ucap Asoka. “Tidak!” ucap Riftan dengan cepat. “Kalau begitu, minumlah,” Riftan pun langsung meminum cairan itu lalu menyerahkan kembali kepada Asoka. Asoka menatap botol itu sejenak lalu meminumnya sampai habis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD